"Pikirkan ini Dokter!"
Debra memghempaskan punggung ke kursi memijit pelipis untuk mengurangi migrain yang menyerangnya. Sebutir flunarizine yang baru saja lolos dari kerongkongan belum juga bereaksi.
"Mereka itu gangren." Darius mencondongkan tubuh, tanpa lelah mencoba mempengarungi salah satu direktur rumah sakit terkemuka di Cusshet. Begitu berhasil membujuk wanita muda ini semua pasti akan mengekor di belakang.
Debra tahu berapa beban yang ditanggung negara untuk wabah ini. Jika ia tidak mengambil keputusan sekarang keadaan bisa jadi lebih buruk. Lebih banyak dana terkuras sia-sia. Tetapi hati nuraninya juga masih waras, tidak mungkin mengumpankan seseorang yang masih bernapas kepada mesin.
"Lagipula, kita tidak benar-benar memusnahkan mereka."
Debra tahu ini hanya perubahan energi. Krisis benar-benar mencekik umat manusia. Wabah dan kelangkaan bahan bakar datang bersamaan. Belum ada solusi sehat yang diciptakan. Jadi satu-satunya pilihan adalah mengumpankan mereka yang sakit ke mesin penggiling.
Penyakit imunitas menjangkit lebih dari separuh populasi kota. Hidup segan mati tak mau begitulah gambaran mereka.
"Tolong pikirkan baik-baik, Dokter. Saya permisi." Darius membungkuk hormat sebelum meninggalkan ruang kerja Debra. Melenggang pergi dengan optimesme besar. Kepala wanita itu rasanya seperti hendak terbelah. Berdenyut tak keruan.
Dibanding harus memilih Debra lebih suka menulis esai jawaban. Namun kali ia harus memilih. Bahkan Laboratorium belum juga memberi kabar soal penelitian mereka.
...
"Selamat sore!" Natha menjabat tangan Debra dengan tegas. Melepaskan kacamatanya.
Pasti wanita ini akan menagih tenggat lagi.
Pertempuran tiada akhir. Tidak ada celah yang tidak dimanfaatkan. Berkejaran dengan waktu demi sebuah keunggulan.
Natha sudah bekerja siang dan malam namun seolah tidak cukup. Musuhnya terlalu licin memanfaatkan celah. Otot-otot wajah Natha terlalu tegang berhari-hari mengintip dibalik mikroskop.
Ia dan beberapa teman yang mengurung diri di laboratorium adalah tumpuan masa depan. Pahlawan yang berjuang dibalik layar.
"Bagaimana perkembangan vaksin baru?" Debra berkeliling laboratorium. Memastikan tim Natha benar-benar bekerja. Kucuran dananya tidak boleh disia-siakan seperserpun.
"Masih belum ada perkembangan, Dok." Kata Natha takut-takut. Dia kenal betul ,direktur ini tidak pernah mau mengenal kata gagal atau menyerah.
"Berapa lama lagi?" Debra menyimpan lengan dipunggung melongok kerja setiap staf.
"Kami masih belum bisa mamastikan?" Melihat tatapan Debra yang runcing Natha buru-buru menambahkan. "Segera. Pasti segera."
"Cepatlah jika kamu memang berniat bisa menyelamatkan generasimu." Debra mengintruksikan seorang staf agar bergeser, berganti ia mengintip ke mikroskop. "Waktu berpacu terlalu cepat, memojokkan kita."
....
Kasih sayang yang menyesatkan. Awalnya semua pikir ini revolusi yang baik ketika masyarakat melek obat. Tetapi tetap saja penyimpangan menyertai segala hal. Overload antibiotik. Ketika kampanye digalakkan, penyimpanan meluas tidak terhindarkan. Orang tua mencekoki anak-anak mereka tanpa rasa bersalah. Sediikit-sedikit antibiotik, dikira menyembuhkan padahal justru mencelakakan.
Dan tibalah kita pada bencana superbugs. Rasannya hampir pantas jika di sini para praktisi kesehatan dihadiahi hukuman gantung. Sebelum abad ke dua puluh seorang dokter akan dianggap gagal jika seseorang jatuh sakit. Karena tugas sebenarnya seorang dokter bukan menyembuhkan tetapi memberikan edukasi pada masyarakat supaya dapat melakukan upaya-upaya penyembuhan penyakit. Lebih tepatnya semua praktisi kesehatan. Dan obat, itu bukan untuk menghilangkan suatu penyakit. Fungsi yang utama hanya mengurangi rasa sakit.
Debra berdiri mengamati seseorang yang dikurung dalam bilik kaca. Itu Indira, ibunya yang menderita autoimun kronis. Tidak boleh bersentuhan dengan siapapun. Segala yang berhubungan dengannya harus steril.
Penyalahgunanaan obat di generasi lalu telah menimpakan beban berat pada keturunannya. Hanya orang-orang dengan kantong tebal yang memperoleh jaminan lebih baik. Mereka yang sehat juga harus terus-menerus meningkatkan perlindungan diri.
Debra menempelkan jemari di dinding kaca. Meresapi dingin yang tersalurkan. Indira sedang terlelap di atas ranjang tengah ruang. Debra memperhtikan irama napas ibunya. Ada sedikit lega hinggap di dadanya.
Kunjungan ke rumah markas Darius mampir di ingatan Debra saat memperhatikan Indira. Cepat atau lambat giliran itu akan tiba.
Baru di bingkai pintu Debra sudah menahan mual. Darius berjalan di depan dengan gaya seorang pemandu wisata. Perut melilit dan sebuah rasa dipangkal tenggorokan mendesak supaya dilontarkan. Bau anyir bertumpuk dengan apeknya ruang.
Paviliun ini tampak tidak pernah dibersihkan, lumut bebas membentuk pola begitupun laba-laba bisa menjahit sarang sesuka hati. Cahaya dari bohlam menyala redup. Ventilasi telah banyak yang malfungsi. Bisa dibilang paviliun rumah ini ruang rahasia, misi rahasia. Rahasia umum tepatnya.
Akhir bagi orang-orang lemah.
Debra mendengar suara gelegak air mendidih dalam tabung kaca setinggi dua meter. Seorang wanita berumur pertengahan tiga puluhan baru saja ditenggelamkan di sana. Seperti biasa, wanita yang dipungut dari tempat karantina. Masih tersisa bekas kecantikan ditubuhnya yang kering. Infeksi telah menggerogoti tubuhnya hingga tulang. Pasti ibunya akan menangis bila dapat melihat putrinya dari langit.
Rasa mual semakin menggilitik Debra. Tubuh wanita itu meliuk sebelum lumat digiling dalam blender raksasa.