Resonansi Semesta

Malaika Farida
Chapter #4

Liar

Lutut kanan Digg menekan dada Titus, mencegahnya untuk bangkit. Napas tersengal dicekik oleh kemarahannya sendiri.

'Aku tidak akan mengampuninya.'

Society telah membuat hidup keluarga, klannya, tersuruk-suruk dalam penderitaan. Mengabdi untuk janji-janji palsu. Hanya dianggap alas kaki yang patut diinjak. Sebesar apapun kepatuhan mereka tidak akan sedikitpun membuat derajat meningkat.


Bbbuhhgg ....

Satu lagi bogem Digg mendarat diwajah Titus yang putih dan halus. Keluarga society yang mendapat perawatan setiap saat. Kulit selicin permukaan porselen. Berbeda dengan Digg, tangan kapalan, wajah dipenuhi bercak, pola dari sengatan matahari. Wajah Titus menampilkan seringai yang jelas-jelas mengejek Digg. 


Sisi lain diri Digg terus memperingatkan bahwa ia ditakdirkan menjadi intan bukan sekedar batu granit. Harus ditempa sangat keras untuk itu.

Dendam tidak pernah menjanjikan kepuasan, hanya memperpanjang kekerasan. Sensasi puasnya tidak akan bertahan lebih lama dari kecepatan mata berkedip.

Tetapi Digg tidak rela, klannya membusuk dalam penderitaan yang diciptakan society. Tidak harus setara, hanya bisa saling menghormati dengan cara yang layak, sudah cukup. 

"Ayo pecundang!" Titus tertawa meludahkan darah ke samping. Lalu mendorong Digg hingga terjengkang.


Tubuh mereka berbalur lumpur dan darah. Pasukan dari masing-masing kelompok terkapar. Ini duel antara dua pemimpin yang jadi suguhan terakhir.

'Aku tidak akan kalah.' Digg terus merapal dalam hati. Pipi ibunya yang cekung melintas dalam benak. Tubuhnya seramping tombak. Wanita berambut hitam legam itu memiliki senyum lembut. Senyum sesosok yang sudah sangat hafal tipu daya kehidupan. Sayang, ia disambangi kematian terlalu cepat. 


Seandainya Julian tidak bercerita, Digg tidak akan pernah tahu jika rahim ibunya membusuk. Wanita itu rela meremukkan mahkotanya demi sebotol kecil antibiotik untuk Digg kecil. Laki-laki dengan kulit kecoklatan dan rambut ikal itu terlahir dengan fisik yang lemah. Memiliki antibodi yang lemah. Mungkin virus memang sudah merongrongnya sejak mampu melihat sinar dunia. Seakan serangan influenzapun mampu mengundang malaikat maut. Ia sempat berpikir ajal ibunya adalah peringatan juga untuknya. Tinggal menghitung tetesan detik.


Tetapi Julian, salah seorang pelanggan ibu Digg memungut bocah itu, membuatnya terlahir untuk yang kedua kali.

"Kami memaksa jantungmu berdetak kembali." Sambut Julian saat Digg pertama membuka mata. Saat menoleh dan menatap pantualan dirinya dicermin samping ranjang Digg melompat berdiri dan meraba tubuhnya. Julian terkekeh puas.


"Kamu suka?"


"Apa yang terjadi?"


"Karya seni."

Dari sosok pendek nan mengenaskan, Digg berubah menjadi tinggi dan kekar. Otot-otot tercetak jelas dalam busana yang melekat. Satu-satunya yang tidak berubah adalah wajahnya. Meskipun begitu sosoknya tetap tampak proporsional.

"Pembedahan kecil. Untuk memperkuat tulang dan menambah daya renggang urat dan sarafmu."


"Untuk apa?" Yang bocah itu ingat ia terlelap dalam beberapa jam, ditemani mimpi yang berloncatan.


"Menyusupkanmu ke Institut." Julian tersenyum jail lalu meninggalkan Digg sendirian. Si keriting kembali menelusurkan jari ke badan, sosoknya benar-benar bertransformasi.


Julian adalah seorang freak yang terlahir dari keluarga elit. Warisan orang tuanya dihamburkan untuk semua kegilaan. Muak dengan klan atas yang biadab, ia memilih menciptakan dunianya sendiri.

Digg mungkin sekarang putranya. Atau memang begitulah ia menyebut boneka pahatannya.


...

Saat mencari tumpuan untuk berdiri, sebuah tendangan melesat ke wajah Digg. Ia merasakan hidungnya patah dan mengucurkan darah.

Pertarungan tidak akan berakhir sampai salah satu dari mereka pergi ke alam baka. Segalanya harus tuntas. Jika seorang kesatria tidak akan menyerang lawan yang tidak berdaya. Di medan ini tidak berlaku. Lenyapkan lawanmu, jangan sampai dia punya kesempatan untuk menyentuhmu lagi.


Titus menjulang di atas Digg yang telentang. Putra jajaran society itu memiliki tinggi sekitar dua meter, kulit putih dan keliatan ototnya lebih mirip karena suntikan hormon.

"Bagaimana?" Seringai Titus membuat bocah keriting itu mendidih. 

Julian tidak melahirkan ia untuk sebuah kekalahan. Harga kesempatan kedua terlalu mahal.


Digg mengayunkan kapak hingga menembus pelipis kiri Titus. Raksasa itu tidak langsung roboh. Dia seperti patung beton yang kokoh, konon Titus memiliki analgesik alami. Meskipun fisiknya remuk namun tidak sedikitpun meringis sakit. Kekokohan fisiknya membantunya memulihkan tenaga dengan cepat.


Titus menyabetkan pedang dan Digg melompat mundur. Matahari tidak mampu menggeser awan hitam yang akan segera mencurahkan tangis. Simulasi sempurna.


Julian menyusupkan Digg ke Institut. Tempat yang tidak mampu dijangkau klan rendahan. Harus ada kepala baru untuk sebuah perubahan. Seseorang yang bebas dari doktrin awal.

Digg harus berjuang, dia harus merebut salah satu kursi di society. Menegakkan keadilan. Mengangkat derajat kaumnya. Sekarang ia adalah ujung tombak.


"Masih belum menyerah juga?" Air hujan membasuh mereka. Sedikit melunturkan kotoran yang mengerak hampir satu bulan dalam belantara untuk saling menunjukkan dominasi. Akal kalah oleh kekerasan. Diplomasi bukan sebuah jalan. Pedang, kapak, panah adalah bahasa terdepan.


"Tidak akan!" Digg menerjang kembali menghantam kepala Titus. Kali ini merobek pelipis kiri hingga rahang. Harga yang agaknya pantas untuk sepotong telinga kiri.

Laki-laki dengan dendam yang membara itu mendopak lawannya tepat di jantung. Si raksasa berdebum ke lumpur.


Suara yang datang hilang timbul. Mungkin tepuk tangan. Latar hutan dengan pepohonan lebat dan langit mendung kini berubah menjadi sebuah ruangan berbentuk kubus dengan ornamen warna biru. Simulasi berakhir pada tim medis menyerbu untuk membantu mereka yang terluka.

Lihat selengkapnya