Viny menarik piringnya ke arah David. Abai akan tatapan suster Lilian yang tajam. Tidak ada yang boleh mengobrol di ruang makan. Semua anak tunduk pada hidangan makan malam yang tidak menggugah selera sama sekali. Masakan itu sudah dihidangkan dari kemarin malam dan cuma dipanaskan kembali. Dengan malas mereka menyorongkan makanan ke mulut, ditelan dengan setengah hati.
Viny menendang tulang kering David, "Daging busukmu sudah berubah jadi spesies?"
"Akan aku tunjukkan padamu." Jawab David dengan senyum misterius. Hidangan makan malam meluncur ke kerongkongan tanpa ragu.
"Kamu tidak mau?" David melirik piring adiknya yang belum tersentuh. Viny buru-buru melindungi jatah makannya. David selalu bilang 'tidak perlu dirasakan, kita makan untuk bertahan hidup bukan untuk kemewahan dan memanjakan lidah.' Hidup di panti asuhan tidak banyak pilihan. Ada yang menampung dan mau memberi makan seharusnya sudah bersyukur.
Tetapi namanya hati tetap saja bergejolak. Ada saja kalanya menuntut segala hal terbaik.
"Cepat habiskan! Kita pergi pukul sebelas."
Viny makan tanpa dikunyah tetapi didorong dengan air.
.....
David berhenti tanpa peringatan sehingga, Viny menubruknya dari belakang.
"Ikan buntal, yang benar dong!"
Tidak peduli tatapan kesal adiknya. David justru pamer dua cacat otot di pipi.
"Kamu benar-benar menciptakan spesies?" Tanya Viny dengan nada berbisik. Sadar jika suaranya sekeras tadi mungkin mereka bisa ketahuan keluyuran hampir tengah malam dan berakhir dengan hukuman cambuk. Cambuk hal biasa di sini ketika seorang anak dicap pembangkag maka bilur-bilur akan jadi tato terkeren.
"Spesies dan habitat. Dunianya." Kata David bangga.
Idiot. Viny curiga laboratorium telah membuat sebagian otak David menyusut. Seandainya loncatan elektron yang bertubrukan dengan unsur organik dapat menghasilkan spesies. Manusia tidak perlu kawin, mereka bisa memungut bayi yang berceceran akibat badai.
"Kamu harus lihat sendiri," kata David menarik pergelangan Viny. Bocah perempuan kurus itu hampir tersungkur karena tiba-tiba ditarik.
***
Markas David ada di halaman belakang yang terpisah halaman luas dengan bangunan utama panti. Dulunya bangunan itu merupakan gudang tetapi sekarang tidak terpakai lagi. Beratap rendah, jamur tumbuh menyelimuti dinding-dinding dalam pola abstrak. Jangan bayangkan laboratorium steril dengan fasilitas lengkap. Isinya hanya gundukan sampah yang dimanfaatkan ulang. Yah ... seperti komputer di sisi kiri ruang, waktu itu David memungutnya dari tong sampah sepulang sekolah. Dia harus mengendap-endap suapaya tidak kepergok suster. Dan entah bagaimana lagi benda itu sekarang berfungsi. Toples-toples kaca yang ditutup kertas berjajar di atas meja. Berisi ulat dengan berbagai tahapan metamorfosis. Ada juga kumbang beraneka genus.
Viny memungut bangkai kodok gepeng di sebelah mikroskop.
"Dav?" Ia benar-benar tidak sabar.
"Nah!" David menarik kain putih semu coklat karena terlalu banyak ditempeli debu. Dibaliknya ada sebuah mesin. Memiliki tiga kaki besi lalu puncaknya seperti galon air namun sepertinya terbuat dari kaca, di mulut galon ada sebuah bola berwarna hijau.
"Ini untuk apa?"
"Ke sini!"
Mulut Viny menganga, dari mana David mendapat akuarium sebesar itu tanpa diketahui siapapun? Bahkan Viny yang selalu setia menguntit kakaknya itu tidak tahu apapun. Dan yang lebih mencengangkan lagi di dalam aquarium ada Giant pacific octopus. Gurita dengan panjang kira-kira tujuh meter.
"Bag ... bagai ... mana?"
"Tidak penting. Bantu aku mendorongnya!" Jawab David disertai senyum jail.
Viny berdiri di sisi David, matanya masih belum lepas dari kakaknya. Berharap jawaban logis.
"Kita akan jadikan bangkai ini sebagai peliharaan kita."
Untung saja aquarium itu ditopang rangka besi dengan roda. Jadi dua bersaudara itu tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga.
"Agak kiri," komando David, "Cukup! Sempurna!"
Kini aquarium dan mesin aneh tadi berdiri bersisian. David perlu memanjat tangga untuk membuka gembok aquarium.
"Apa rencananya?"
"Aliran listrik dan zat organik. Gurita ini pasti bangun." Saat penutup aquarium digeser bau etanol menyeruak dalam udara yang apek. Etanol digunakan supaya bangkai gurita tetap utuh.
"Mundur!" David menguras larutan etanol dengan sambungan pipa kecil yang dialirkan ke luar gudang. Rencananya benar-benar matang. Saat aquarium sudah kering gurita yang tadinya seperti berenang sekarang tergolek tak berdaya. Lalu David pergi ke arah komputer, mengetikkan beberapa kode keprogam yang ia buat. Viny hanya bisa menunggu sambil berharap ini tidak akan jadi bencana besar. Ia menahan napas saat cahaya biru terpancar dari bola unjung galon. Tepat mengenai kepala gurita, hewan malang itu menggelepar.
Terdengar David terus mengucapakan kata-kata semangat untuk diri sendiri.
Setelah tiga ratus enam puluh detik yang terasa sangat panjang akhirnya cahaya itu padam. David beralih dari kursinya dan menuju gurita hasil percobaannya. Belum ada tanda-tanda hewan itu hidup. Ia kembali memeriksa catatan, apakah semua sudah akurat?
"Seharusnya ini berhasil."
"Awas!" Viny menarik lengan David. Di belakangnya gurita raksasa bergerak. Perlahan mengangkat tubuh. Bertumpu pada kaki-kakinya.
"Whooa ..." teriak David takjub pada maha karya yang akhirnya bergerak. "Kita telah membuat lompatan, Vin. Dia hidup."
Viny tidak mampu menjawab. Hatinya diliputi kengerian. Ia rasa gurita raksasa bukan hewan jinak. Mereka berdua bisa jadi santapan pertama setelah tidur panjang si gurita.
Bbbraakkk ...
Gurita itu merangkak. Tubuhnya yang besar memporak-porakdakan laboratorium David. Belum lagi gerakan kakinya yang liar, semua yang dilewati remuk tidak berbentuk. Bahkan sampai menjebolkan atap.
"Lari Dav! Ayo!" David enggan bergerak. Mimpi besarnya akhirnya berubah nyata. Badai kegembiraan menerbangkan angannya.
"David!" Bentak Viny menyentak lengan David untuk lari. Tetapi bocah laki-laki itu masih terpaku ke belakang. Tidak peduli adiknya kesusahan menyeret tubuh gembulnya.
"Ada apa ini?" Suster Lilian mencegat mereka di halaman belakang. Di belakang suster Lilian ada anak panti yang lain mengekor dengan wajah ngantuk. Ada yang memeluk boneka tidur, menguap dan merapatkan selimut.