Anak-anak dikelas memanggilnya Mister Zz. Sebenarnya namanya Zami tetapi sebutan Mister Zz lebih karena dia hobi tidur di kelas. Tidak pernah peduli gurunya siapa, kepala Zami akan tetap menempel di meja. Kalaupun diusir ke koridor tidak berarti apa-apa untuknya. Dia akan mengeluarkan ponsel dan bermain game di luar. Padahal dia punya cukup energi untuk berkonsentrasi pada game tetapi sangat tidak berminat di kelas. Di kelas dia itu cuma angin lalu tidak ada yang terlalu peduli dengan kehadirannya, pun sebaliknya. Zami juga tidak tertarik terlibat dengan siapapun. Kata Eve si gadis centil yang roknya kekecilan itu Zami adalah makhluk dengan dua sel saraf. Satu untuk bernapas dan yang lain untuk berdiri. Sangat tidak bisa diandalkan, hampir tidak berguna. Padahal gadis itu bisa dibilang otaknya juga tidak genap. Tidak tahu malu dan hanya mengandalkan kemolekan fisik.
Mister Zz adalah teman sebangku Nina. Nina adalah gadis kutu buku, hampir tidak punya teman. Kalaupun ada yang mendekat palingan ingin menyalin PR atau meminta bantuan saat ujian. Mereka bisa dibilang pasangan klop. Mereka duduk di deret ketiga dari depan pojok kanan kelas. Zami duduk di kursi yang menempel dengan tembok. Di sana Zami leluasa tidur, lebih tepatnya dia memang tidak punya etika. Mendengkur keterampilannya yang nomor satu.
Kadang Nina juga iseng bertanya padanya seperti ,'kenapa tidur di jam pak Pur?' Guru fisika favorit semua anak. Dia selalu berhasil membuat kami berimajinasi bebas. Bukan sekedar menghitung dalam rumus kaku. Kami diajak terlibat dalam percobaan kecil yang aplikasinya dalam hidup sungguh ajaib. Dan dia akan menjawab dengan mengedikkan bahu. Nina pikir anak itu tidak pernah gosok gigi hingga terlalu sungkan bicara dengan siapapun. Atau dia punya gigi palsu dari emas dan khawatir membuat orang lain iri. Dia antara dua orang pendiam harus ada yang mengalah dan memulai percakapan. Tetapi toh selalu hanya satu arah. Nina belum pernah mendapat jawaban.
Hampir dua semester mereka jadi teman sebangku. Dia tidak sekalipun Zami merespon pertanyaan Nina. Sebenarnya terserah. Lagipula Nina juga tidak terlalu tertarik mencampuri urusan orang. Dia lebih tertarik mengobrol dengan seseorang yang mau saling menghormati. Tetapi kadang memang orang misterius seperti Zami sangat mengusik untuk diusut.
....
Pagi ini Zami tiba-tiba jadi beken. Seantero sekolah membahas dirinya.
Namanya muncul diberbagai headline news. 'Seorang remaja membunuh ayah tirinya dengan pistol air.'
Pertama mendengarnya Nina tertawa seru sampai hampir terjungkal. Tentu saja sebelum jarum panjang menyentuh angka enam dan jarum pendek di angka tujuh si Eve dan geng gosipnya sudah mejeng di depan kelas, bergosip soal Zami dengan menggebu.
'Pistol air? Siapa yang tidak waras di sini?' Nina menyeka sudut matanya yang berembun karena tertawa terlalu seru. Lalu melenggang masuk kelas.
....
Malam hari berita itu muncul lagi. Masalahnya di sini pistol air itu diisi oleh asam prussat. Dalam gambaran tersadis Nina mungkin Zami menembak ayahnya dengan air cabe level dua puluh. Mirip mie yang sedang naik daun itu. Yang sekali kamu mencoba langsung jadi penghuni toilet karena diare. Sayangnya dia salah besar.
Pasti Zami penggemar novel kriminal hingga dalam dirinya tumbuh jadi psikopat.
Menurut salah satu koran harian langganan keluarga Nina, Zami menyerang ayahnya kemarin siang, antara pukul dua.
Diawali dengan cekcok.
Keduanya memang sudah lama berseteru. Ayah tiri pemabuk yang suka menyiksa ibu Zami.
Mungkin bocah itu ada diambang kesabaran sampai menghabisi nyawa ayahnya.
Disana ditulis Zami tidak menjawab satupun pertanyaan dari polisi. 'Sudah tabiatnya,' batin Nina.
....
Anehnya beberapa kali dengan sengaja Nina pergi mengunjungi teman sebangkunya yang mendekam di balik jeruji besi. Membawakan makanan yang dibeli dengan uang saku. Tidak peduli Zami tak acuh akan kedatangannya. Saat Nina menyodorkan bingkisan itu ia hanya akan menggesernya tanpa mengucapkan apapun.
Nina pikir dia butuh seorang teman. Pendengar yang baik. Jadi aku terus mengunjunginya. Agak konyol Nina menempatkan Zami seperti tokoh utama dalam novel-novel favoritnya. Seseorang yang merasa terasing dan justru menarik diri untuk semakin tenggelam dalam kesendirian.
Hingga suatu hari Zami mau membuka suara. Entah itu tepat kunjungan Nina yang keberapa. Anak perempuan itu juga sedikit kaget menyadari betapa sabarnya ia menunggu Zami akhirnya mau berbicara. Bisa karena Zami bosan melihat wajah Nina dan berharap dia tidak lagi datang. Atau Zami memang butuh membuat hatinya lega.
Siang itu Nina mampir dari pulang sekolah. Mengenakan baju olahraga yang celananya kedodoran. Membawa dua potong kue bertabur gula halus dengan isi coklat yang meleleh dari toko langganan ibunya. Kali ini Zami melahap makan siang di depan Nina. Sesekali melirik tamunya yang itu-itu saja dan wajahnya datar seperti biasa. Nina sedikit berharap Zami akan memuji kue itu enak, Hahaha....
Biasanya lelehan coklat itu mampu mengusir perasaan buruk. Mungkin itu hanya berlaku bagi kaum hawa. Nina tidak bisa berharap akan berlaku pada Mister Zz.
"Itu hanya pembelaan." Mulai Zami melirik Nina.
Nina harus menjaga sikap, supaya tidak terlalu kentara kalau dia penasaran. "Dia brengsek!" Ada kilatan di mata Zami. "Betapa manusia hanya peduli sakit fisik. Padahal sakit psikis juga butuh empati."
Nina diam memandangi ekspresi wajah Zami. Bocah perempuan itu tidak ingin sedikitpun melanggar wilayah orang lain. Biarkan dia mencurahkan dan menyimpan bagian yang dimau. Daerah yang selama ini tidak boleh disinggung oleh siapapun.
Zami dan ayah tirinya tidak pernah cocok. Ibunya menikah dengan lelaki itu enam bulan lalu. Lelaki parasit. Menempel pada ibunya dan mengeruk keuntungan. Ibu Zami adalah perempuan yang tidak percaya bisa hidup tanpa seorang pria. Padahal ia cukup mandiri dalam memenuhi kebutuhan. Dia seorang koki dan memiliki satu kedai soto. Cukup untuk menopang hidup berdua dengan putranya. Namun ia selalu bilang jika tanpa seorang pria disisinya hatinya akan berkarat. Zami pikir wanita ibunya memang ditakdirkan untuk tidak menikah. Ibunya telah menikah tiga kali dan selalu kandas. Ayah biologis Zami meninggalkan mereka saat Zami kelas dua sekolah dasar. Pergi mengejar sekolah spesialis dan tidak pernah pulang. Ayah keduanya pria manis yang murah kasih sayang. Malangnya lelaki itu dipanggil Tuhan lebih cepat. Meninggal karena mobilnya ditubruk truk di depan stasiun pengisian bahan bakar.