Ok, Lina. Act normal. Stop fidgeting! Ini hanya rapat biasa seperti yang sering kamu lakukan di kantor kamu. You can do this. Memimpin rapat ini. Piece of cake.
Masalahnya ini bukan rapat biasa. Ini adalah rapat tentang proyek dengan dana 300 juta dollar sumbangan dari pemerintah Belanda dan pemerintah Jerman untuk Forced Displacement Crisis. Atau yang lebih gampangnya bisa disebut sebagai pengungsi. Lebih spesifik lagi pengungsi dari kontinen Afrika, berikut negara-negara SAHEL (Sahel adalah wilayah di Afrika yang meliputi negara-negara di sekitar gurun Sahara sampai ke Sudan bagian utara).
Proyek yang bernama Young Lead ini dipercayakan ke organisasi tempatku bekerja setelah kegigihan organisasi kami, melobi pemerintah kedua negara tersebut. Aku bersama dengan tim di kantor Jenewa menghabiskan masa hampir satu tahun untuk menggodok proposal program untuk diajukan ke kedua negara tersebut. Kami menggandeng dua organisasi besar dunia lainnya untuk menangani proyek ini, dengan organisasi kami sebagai lead-nya dan aku sebagai project manager.
Aku, Alina Paramitha, wanita berumur 28 tahun dari Indonesia, mengurusi dana 300 juta dollar untuk pengungsi dari Afrika yang menginginkan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak di Eropa.
Sounds cool right? I know. I feel cool.
Sudah lebih dari enam bulan, aku menyebut Burkina Faso, salah satu negara di bagian Afrika barat ini sebagai rumahku. Setelah proyek Young Lead mendapat persetujuan dari negara donatur, aku pindah dari kantor pusat organisasi kami yang bermarkas di Jenewa ke kantor regional kami di Afrika yang berada di negara ini. Tidak akan lucu kalau sebuah proyek untuk Afrika tetapi ditangani oleh orang-orang yang duduk di benua lain. Aku sangat bersemangat, ini adalah pekerjaan terbesarku saat ini, apalagi ini adalah kali pertama aku tinggal benua Afrika. Sesuatu yang mungkin tidak banyak dialami oleh orang-orang seumuranku.
I didn’t know what to expect ketika pertama kali menjejakkan kaki di negara ini. Sure aku punya beberapa kolega yang berasal dari Afrika, atau keturunan Afrika, tetapi to actually live in Africa is totally different game. Yang aku temukan kemudian adalah sangat-sangat diluar dugaanku, walaupun jujur, aku tidak tahu harus menduga apa sebelumnya. Maksudku, aku belum pernah menjejakkan kaki di Afrika. Aku pernah pergi ke Mesir untuk urusan pekerjaan, tetapi Mesir lebih masuk kategori Arab State daripada Afrika, belum lagi orang-orang di sana lebih suka disebut sebagai arab daripada Afrika. Jadi aku menobatkan, ini adalah kali pertama aku menjejakkan kaki di Afrika. The true Africa.
Ternyata, orang-orang di negara ini sangat sopan dan ramah, kesopanan yang membuat orang Solo, kota tempat Papa dan Mama dilahirkan menjadi terlihat sangat cemen. Tebaran senyum terlihat di mana-mana, dari seorang satpam sampai orang yang mengendarai Lamborghini. Jangan salah, banyak mobil mahal berseliweran di sini walaupun jalanan penuh dengan lubang. They are polite, and they are helpful. Rasa was-was yang sebelumnya ada di dalam hatiku, langsung lenyap, tidak ada yang perlu aku takutkan di sini.
Proyek kami akan berfokus ke kaum muda dan anak-anak yang merupakan 60% populasi benua ini. Memastikan mereka untuk bisa mendapatkan pendidikan terutama untuk anak-anak rawan mengungsi, menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk inklusi sosial dan ekonomi. Tujuannya untuk mengurangi pergerakan pengungsi dengan menciptakan kondisi ekonomi yang memadai di negara-negara asal. Pada intinya, supaya mereka tidak berebut lagi untuk bermigrasi ke Eropa dan itu hanya bisa tercipta ketika mereka bisa mendapatkan masa depan di negara asal mereka masing-masing.
Aku mendengarkan pemaparan Nora, wanita jangkung berambut pirang dari organisasi rekanan kami tentang akses pendidikan untuk children on the move. Kaum muda yang menginginkan untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik namun terbatas oleh edukasi, sesuatu yang sangat umum di negara-negara kontinen ini. Program-program school to work menjadi fokus kami untuk mencegah kaum muda benua ini lari ke negara-negara Eropa.
Meeting hari ini bertempat di organisasi milik Nora, aku langsung menyetujuinya, simply karena kantornya berada di tengah kota, sedangkan kantor kami berada di wilayah pemukiman yang agak jauh dari dua organisasi rekanan lainnya. Dan tentu saja, pilihan restoran di area ini lebih bervariasi. Aku orang Indonesia, makan selalu menjadi salah satu fokus utama untuk memutuskan sesuatu. Seperti kata pepatah, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Bisa meeting dan aku tidak harus dihadapkan pada pilihan aloko (pisang tanduk goreng yang diiris tipis-tipis) dan athieke untuk menu makan siang (baca: achike; terbuat dari singkong, hampir mirip seperti tiwul dari jawa tengah tetapi tidak manis).
Ketukan samar terdengar membuat Nora menghentikan aktivitasnya, pandangan kami semua tertuju ke pintu yang sekarang terdorong terbuka. Perhatianku tercabut dari slide di dinding ke sosok tinggi dalam balutan suit warna abu-abu yang sekarang sedang berdiri di ambang pintu.
“Selamat siang semuanya. Maaf saya terlambat, meeting saya sebelum ini ternyata lebih panjang dari perkiraan,” kata lelaki berjas abu-abu tersebut, dengan aksen Inggris yang cukup kentara. Aku menoleh ke arah Nora untuk mencari tahu siapa gerangan lelaki ini. Setahuku, semua tim Nora hadir di ruangan ini, dan aku sudah mengenali mereka semuanya.
Nora berdiri menyambut lelaki berjas abu-abu. “Untuk yang belum tahu, kenalkan ini Direktur organisasi kami, William Van Harley.”