RESTRAINT

Asoka Biru
Chapter #2

2. The Blood and the Needle

Aku memandang deretan buah segar di lorong buah dan sayuran di salah satu supermarket yang terletak tidak jauh dari apartemenku. Hari sabtu adalah hari yang tepat untuk berbelanja, tidak seperti di Jakarta dengan stok buah dan sayuran segar yang terganti hampir setiap hari, di Ouagadougou (baca: wagadugu) Ibu kota negara ini, mereka hanya akan restock dua kali seminggu. Atau hanya satu kali? Entahlah, aku kurang jelas. Lagi pula aku hanya pergi ke supermarket satu kali seminggu, setiap hari sabtu, dan bisa dipastikan jajaran sayur mayur dan buah-buahan selalu tampak segar.

Aku tidak suka memasak, tetapi setelah bermukim di luar negeri, membuatku mau tidak mau harus melakukannya. Ketika tidak ada tukang nasi goreng keliling disaat aku teramat sangat menginginkannya dan tanpa warteg di pengkolan yang siap mengisi perut setiap saat, jadilah aku harus berusaha. Memasak, sekaligus mengobati rasa kangen terhadap Indonesia, apalagi di negara ini aku tidak bisa mendapatkan indomie yang ngomong-ngomong tinggal tersisa tiga bungkus lagi di lemari dapurku. Sangat menyedihkan. Bagaimana aku akan bisa mengobati craving terhadap msg yang memabukkan itu?

Gunungan okra hijau segar berada di depanku. Aku mengamatinya, tanpa tahu bagaimana cara memasak sayur yang juga disebut lady finger ini. Why is it called lady finger? Aku melirik jemariku, jelas-jelas berbeda dengan tumpukan okra ini. Tanganku beralih ke kotak penuh zucchini berwarna hijau muda, ini lebih familiar buatku, mungkin aku akan bisa membuat tumisan atau entah apalah. Aku mulai meraih zucchini satu persatu, memasukkannya ke dalam kantung kecil eco friendly yang selalu aku bawa-bawa setiap pergi berbelanja.

Tiba-tiba aku merasakan sesuatu … atau seseorang, aku tidak tahu persis mana yang benar. Satu hal yang pasti adalah, apapun yang menimpaku saat ini berbobot sangat berat. Gigantic berat untuk diterima oleh tubuhku yang tidak seberapa tinggi. Oleng membuatku menggapai apa saja yang akan bisa untuk menyelamatkan tubuhku berciuman dengan dinginnya lantai. Tetapi tubrukan itu begitu keras, apapun yang aku lakukan tidak akan mampu menahan tubuhku. Aku memejamkan mata, bersiap untuk mengucapkan salam ke lantai di bawahku, tetapi itu tidak pernah terjadi. Aku tidak jatuh, sebuah lengan kuat menahan tubuhku, melawan daya tarik gravitasi bumi, lengan yang juga melingkar di pinggangku.

“Alina,” kata sebuah suara. Suara yang sepertinya cukup familiar. Aku membuka kedua mataku, menemukan dua bola berwarna zaitun sedang memandangku dengan khawatir. “You, ok?”

Me, ok? Maybe. Or not, karena tiba-tiba aku merasa susah bernapas. “H-hai,” kataku. Lalu aku tersadar bahwa lengan yang melingkar di pinggangku adalah miliknya. Milik William Van Harley, direktur organisasi rekanan kami. Maksudku kantorku. Bos-nya Nora!

Je suis désolé, mademoiselle (Saya minta maaf, nona).” Aku tidak menghiraukan suara laki-laki lain yang berkali-kali minta maaf, karena fokusku saat ini tertuju ke kedua mata zaitun itu. Dan brewoknya. Sialan, brewok itu lagi.

Dia meneliti wajahku, lalu turun ke tempat lain di tubuhku. Aku tidak tahu ke mana, karena saat ini kedua mataku masih terpaku dengan wajahnya. Ke brewoknya.

“Kamu berdarah.”

“Hah?” Aku tidak tahu apa yang dia katakan.

Kedua matanya kembali ke wajahku. “Tangan kamu. Berdarah.” Aku mengikuti arah pandangnya yang kini tertuju ke tempat lain, ke tanganku, yang masih mencengkram kotak zucchini yang terbuat dari besi, dan sialnya cukup runcing di ujung. Aku melihat darah yang merembes, beberapa tetesannya sudah mengolam di lantai. Warna merah yang gelap.

Darah. Tidak. Aku tidak suka baunya. Aku tidak suka melihatnya. Pandanganku kembali ke wajahnya. “Aku … aku … ti—”

Gelap. Hanya itu setelahnya.

*

“Alina. Wake up. Alina.”

Sebuah suara memanggilku. Tidak ada yang pernah memanggilku dengan nama Alina sebelumnya. Selalu Lina, dan di sini aku adalah Mademoiselle Paramitha yang selalu membuatku terbayang dengan penari burlesque dari Moulin Rouge.

“Alina.” Suara itu lagi. Aku suka suara itu. Terdengar sangat merdu. Ada kekhawatiran di lirih suaranya. Aku membuka mata, yang pertama aku temukan adalah bibir berwarna merah stroberi, dikelilingi oleh brewok berwarna gelap. Aku tahu siapa pemilik suara itu. 

Aku mencoba bangkit dari posisiku saat ini, tapi rasa pening membuatku kembali menghempaskan kepala di posisi sebelumnya.

Lihat selengkapnya