Aku memegang pundaknya. Mencoba menahan geraman yang keluar dari mulutku. Siaaaal, aku tidak suka ini, tusukan jarum diiringi dengan benang yang menelusup ke dalam kulitku yang bolong. Semua dilakukan tanpa anestesi. Apa yang sudah masuk ke otakmu Alina Paramitha. Aku meremas pundaknya lebih keras, berharap cengkraman kuat yang aku lakukan akan mengurangi sakit yang aku rasakan. Tidak berhasil. Siaaaal.
“Done!” katanya.
Aku mengatur napas satu-satu. Dalam hati bersumpah tidak ingin mengulangi perbuatan bodoh ini. Mungkin mulai sekarang, aku akan memakai sarung tangan ke mana-mana, untuk meminimalisasi resiko.
“Hanya tiga jahitan,” lanjutnya. Aku memberikan tatapan beringas ke arahnya, tiga jahitan tanpa anestesi. Aku bukan Natasha Romanoff atau siapa, yang bisa menahan sakit akibat kaki terpelintir dan masih bisa berjalan normal.
Dia tersenyum melihat tatapan laserku. “Sorry,” katanya. Membersihkan bercak darah di sekitar jahitan. Dia mengambil betadine, memberikan beberapa tetes ke lukaku lalu membalutnya dengan perban. “Supaya tidak berdarah. Besok pagi perban harus diganti, kamu punya ini di rumah?”
Perban atau betadine? Sepertinya hanya ada paracetamol di kotak obatku dan aku tidak yakin apakah belum kadaluarsa. “Aku, nanti bisa mampir ke apotik.”
Dia menggelengkan kepalanya samar, mungkin menyadari betapa menyedihkannya persediaan P3K milikku. “Kamu bisa membawa ini pulang. Aku masih mempunyai stok yang cukup.”
Lalu aku tersadar, salah satu tanganku masih berada di pundaknya, mencengkeram dengan kekuatan maksimal, aku melakukannya selama dia menjahit tanganku dan anehnya dia seperti tidak merasakan sama sekali. Dengan fokus tingkat tinggi dia merawat lukaku.
“Sorry.” Aku menarik tanganku dari pundaknya. “Aku nggak sadar. Aku pikir … .” Aku tidak tahu apa yang tadi aku pikirkan. “Sorry.”
William memandang tanganku yang sudah beralih ke atas pahaku dari pundaknya. “Nggak papa. Aku pikir akan bisa mengurangi rasa sakitmu, walaupun ... pheeww. Mungkin ada tanda lima jarimu di sana.”
Aku tertawa getir. Tidak lucu, mencelakai seseorang yang telah menolongku. “Sorry,” kataku sekali lagi. “Aku benar-benar tidak sengaja.”
Dia meneliti wajahku, hatiku berdesir ketika kedua pasang mata kami bersitatap. “You look like dead. I will make you some tea.”
I was almost dead, ketika mata kami bertemu. Dua bola zaitun itu sangat berbahaya bagi kesehatan jantungku.
William merapikan kotak emergency-nya, mengumpulkan handuk yang berdarah-darah dan jarum jahit, memasukkannya ke dalam kantong plastik. Aku baru tersadar dia memakai sarung tangan selama merawat lukaku. Is he a doctor or what?
Dia kembali dengan dua cangkir teh di tangannya. Mengulurkan salah satunya kepadaku dan dia duduk disebelahku.
“Do you want some honey?”
Aku menggeleng. Aku tidak pernah memasukkan apa-apa ke dalam teh, supaya bisa lebih menikmati rasanya.
“I think you need some sugar in your body.” Dia tetap mengulurkan botol madu ke arahku. Aku meraihnya, memberikan beberapa tetes ke dalam teh milikku. Lalu aku menuangkan madu ke dalam sendok, menyuapkannya ke dalam mulutku. William tertawa renyah melihat kelakuanku.
“What? You said I need some sugar.”
Dia mengangguk, senyum lebar masih tersungging di bibirnya.
“Dari mana kamu belajar itu semua?” tanyaku.
“Belajar apa?”