Aku sampai di kediaman Duta Besar Belanda lima belas menit lebih telat dari jam yang tertera di undangan. Kultur Belanda memang sangat terkenal on time, tetapi ini Ouagadougou orang-orang baru akan mulai berdatangan tiga puluh menit dari jam acara resmi, dan aku datang lima belas menit lebih awal dari jam orang lokal. Masih bisa dikategorikan terlalu awal.
Ini bukan undangan resepsi diplomatik pertamaku, tetapi ini pertama kalinya aku mendapatkan undangan dari Kedutaan Belanda untuk merayakan King’s Day. Hari kelahiran Kings or Queens di Belanda adalah perayaan nasional, dan tentu saja kedutaan mereka di seluruh dunia juga merayakannya.
Little black dress agak formal yang aku kenakan, mudah-mudahan tidak akan terlihat terlalu berlebihan. Aku tidak tahu persis apa yang akan orang-orang kenakan, di kartu undangan hanya tertulis ‘smart’ sebagai dress code. Kekhawatiranku berkurang ketika melihat seorang wanita berkulit gelap mengenakan dress seksi berwarna merah. I am good. Totally super duper good.
Wangi sereh dari obat anti nyamuk yang aku semprotkan ke bagian kulitku yang terbuka tercium lamat-lamat, bercampur dengan aroma parfum yang aku kenakan menghasilkan bau yang sangat aneh. Biarkan saja, lebih baik berbau aneh daripada setelah ini aku terkena malaria akibat gigitan nyamuk. It’s an outdoor evening function, di mana nyamuk malaria sedang giat-giatnya memburu mangsa, mengajak seluruh keluarga, bahkan tetangga satu kampung untuk menyerang para manusia dan setahuku, nyamuk malaria tidak pandang bulu, aku harus memastikan diriku well protected.
Pandanganku menyapu sekeliling, mencari wajah yang mungkin aku kenal. Derita datang ke suatu acara sendirian, selalu kikuk untuk mencari lawan bicara, dan aku bukanlah seorang yang sangat sosial.
“Halo.” Suara seseorang mencabut perhatianku dari kerumunan massa, aku mencari sosok si pemilik suara itu, menemukan seorang lelaki jangkung berdiri tidak jauh dariku. Yang pertama menarik perhatianku adalah brewoknya. His killer brewok. Kalau saja ada sebutan seperti itu.
“Hai,” balasku. Suaraku terdengar lebih tinggi dari yang aku mau, campuran antara antusias bertemu dengan seseorang yang aku kenal dan daya sihir brewoknya.
Dia tersenyum, berjalan menghampiriku. “Sepertinya, Ouagadougou benar-benar kecil, kita selalu bertemu di mana-mana.”
Aku tertawa menanggapinya. Ini pertemuan ketiga kami, dalam rentang waktu kurang dari dua minggu. Mungkin kota ini benar-benar terlalu kecil.
“Atau, kamu sengaja mengikutiku ke mana-mana.” Dia tertawa menghadapi candaku.
“You look …,¨ dia menyapukan pandangan ke arahku, dari atas sampai ke bawah. ¨Nice.”
Amazing. Gorgeous. Beautiful. Apa kek, bukan sekedar … nice. “Thanks,” jawabku.
“Gimana tangan kamu?”
Aku memperlihatkan tanganku yang sekarang hanya berbalut plester kecil. “Berkat perawatan dokter/Direktur organisasi internasional.”
“Hampir dokter,” katanya mengoreksi. “Kamu, datang sendiri?”