Restu Bumi

Rayhan Khalid
Chapter #1

1

Seseorang pernah bilang padaku bahwa, pada dasarnya, hidup adalah seperti bermain poker. Bak sebuah labirin yang dipenuhi oleh probabilitas yang tak terbatas, takdir hidupmu akan terbentuk dari jalan keluar yang kamu pilih. Flop, turn, dan river adalah hal-hal tak terduga yang harus kamu perhitungkan. Segalanya bisa terjadi di atas meja.

Begitu terdaftar sebagai pemain aktif, kamu tidak akan pernah bisa meninggalkan permainan begitu saja. Melipat kartu setiap giliran juga bukan merupakan solusi. Chip yang ada di genggamanmu adalah bom yang bisa meledak kapan saja. Jika diabaikan, kematian tak mungkin bisa dihindari. Terlebih lagi, jika salah memotong kabel, alih-alih menyelamatkan­mu, kamu justru akan menjemput ajalmu sendiri. Satu-satunya cara untuk menghindari kekalahan adalah dengan terus bermain sampai permainan usai dan keluar sebagai pemenang. Kedengarannya sangat tidak adil, bukan?

Esensi dari permainan ini adalah kamu harus mencari tahu bagaimana cara memainkan kartu yang dibagikan oleh bandar dan menempatkan taruhanmu dengan bijak. Tidak ada yang namanya keberuntungan murni atau nasib buruk. Ini bukan semata-mata tentang mendapatkan kartu dengan nilai tinggi, melainkan bagaimana kamu menentukan nasibmu dengan tanganmu sendiri. Beberapa orang terlahir dengan sepasang kartu as namun masih kalah dengan two pair, sementara yang lainnya berhasil mendapatkan flush hanya dengan dua dan tujuh sekop. Para pecundang mengeluh, sementara pemenang menerima kekalahan.

Pada suatu ketika, di ambang kematian, aku meme­nangkan permainan dengan pengorbanan yang mendalam. Bukan uang yang aku hamburkan, tapi mereka yang bernyawa. Orang-orang datang dan pergi, tetapi perasaan dan memori tetap abadi. Kapan pun aku bersusah payah mencoba untuk mengingat kembali masa yang hilang itu, lembaran-lembaran bertahtakan tinta kenangan tersebut segera memudar tanpa jejak. Justru, ketika aku sedang memikirkan hal lain yang tidak berhubungan sama sekali dengan peristiwa tersebut, mereka kembali sebagai kepingan puzzle yang membentuk satu gambaran nyata.

Ini terjadi sudah sangat, sangat lama. Tahun, bulan, hari, jam, menit, dan detik tidak bisa dijadikan tolak ukur kapan peristiwa itu benar-benar berlangsung. Saking lamanya, ingatan yang aku simpan rapat-rapat di dalam bagian otak yang dikenal sebagai hippocampus percaya bahwa ini hanyalah sebuah film yang aku tonton secara retrospektif, memutar ulang adegan-adegan dari masa lalu yang jauh seolah-olah ini bukan kehidupan yang aku jalani untuk pertama kalinya.

Aku masih muda dan naif, selayaknya remaja sebayaku pada waktu itu. Kehidupan tidaklah mudah dan sulit dipahami. Mungkin iya, atau mungkin sebagai seorang yang baru saja menginjak usia tujuh belas tahun, aku belum cukup kuat dan dewasa untuk menghadapi semua masalahku.

Aku berbuat sesuka hati dan membuat pilihan yang tergesa-gesa. Aku bahkan tidak tahu apakah yang aku lakukan itu benar atau salah. Aku tidak memiliki keberanian untuk bersikap jujur terhadap diriku sendiri dan orang lain. Aku berpura-pura untuk menjadi seseorang yang bukan jati diriku. Aku berbohong dan berusaha untuk meyakinkan diriku bahwa apa yang aku lakukan adalah sesuatu yang benar. Aku melukai mereka, aku melukai dirinya, dan tentu saja aku melukai diriku sendiri.

Orang-orang juga berbuat yang sama terhadapku, tapi sejujurnya, aku tidak peduli. Tidak penting siapa yang melukaiku karena tidak ada yang akan menolongku kecuali diriku sendiri. Menjadi dewasa adalah dengan bertanggung jawab terhadap perasaanku sendiri. Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah aku dan suara di kepalaku. Aku harap aku bisa menyelamatkanmu waktu itu.

Ingatanku membawaku kembali pada pertengahan tahun 2017. Aku baru saja terbangun dari tidur siang yang panjang. Dengan mataku yang masih tertutup, telingaku lah yang pertama kali menangkap suara tetes hujan yang memukul-mukul jendela di sampingku. Hal kedua yang kusadari adalah tubuhku terasa mati rasa karena berada dalam posisi yang sama selama berjam-jam, belum lagi udara dingin yang membuatku menggigil hingga nafasku nampak jelas keberadaannya. Entah bagaimana, mereka dengan sengaja meninggalkan AC menyala saat hujan deras di luar. Untungnya, aku sudah mengenakan jaket sebelum tertidur.

Dinginnya udara membuat perutku yang sejak berangkat belum terisi apa-apa bergejolak, jadi aku mengambil camilan dari tas yang kutaruh di kursi kosong di sebelahku. Sepotong roti dengan selai kacang dan selai stroberi aku rasa cukup untuk mengisi perut yang kosong.

Bis yang aku tumpangi terus bergoyang-goyang, terutama saat melewati jalan yang berlubang, membuatku merasa mual. Orang-orang berkata bahwa menaiki bis adalah pengalaman yang melelahkan. Perkiraan waktu tiba terkadang susah untuk diprediksi karena faktor seperti lalu lintas. Hal itu juga tidak sangat aman berdasarkan angka kecelakaan bis yang sangat tinggi. Sebagian besar dari mereka dimiliki oleh perusahaan swasta, yang cenderung mengabaikan prosedur keselamatan dan sering kali curang dalam inspeksi.

Terlepas dari fakta bahwa bis yang kutumpangi beroperasi dalam keadaan buruk, aku merasa tidak keberatan. Ini bukan disebabkan karena aku terbiasa naik bis. Aku bahkan sangat jarang naik bis, paling tidak hanya setahun sekali. Alasannya cukup sederhana; aku tidak ingin kehilangan memoriku dengan mendiang ibuku yang telah aku simpan baik-baik selama sepuluh tahun belakangan ini.

Kenangan itu berlangsung saat aku berusia belum genap tujuh tahun. Hari itu adalah hari selasa dan pada hari itu aku seharusnya sedang berada di sekolah, mengerjakan soal matematika mengenai pecahan dan himpunan, memakan makan siangku, yaitu mie goreng instan tanpa bumbu pedas yang sudah benyek dan bergumpal mengikuti wadah kotak makan siangku, yang selalu disiapkan oleh ibuku saat aku masih tertidur pulas. Aku akan mengakhiri hari dengan bermain bola plastik di lapangan kosong di samping rumah sakit yang nantinya akan dibangun lahan parkir dan pulang kerumah dengan badan yang penuh dengan tanah and helai rumput.

“Kamu tidak usah berangkat sekolah hari ini. Kemasi pakaianmu, kita akan pergi ke rumah bibi.” kata ibu ketika aku sudah siap dengan seragamku.

“Tapi, Bu...”

Aku memanyunkan bibirku sebagai bentuk kemarahan dan protes terhadap keputusannya yang mendadak. Anehnya, ibu yang biasanya mengomel, kali ini tidak berkata apa-apa dan memilih untuk diam terpaku. Ini sangat jarang terjadi, dan ketika hal ini terjadi, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku menyadari kesalahanku, meminta maaf padanya, dan pergi ke kamarku untuk mengemasi barangku. Setelah selesai, aku duduk manis di kasur orang tuaku dan menunggu ibu selesai menelepon. Letih menyertainya setelah dia berbicara tak karuan sepanjang hari di ponselnya. Suaranya parau dan air matanya berlinang.

“Emoh, sakjane sing salah ki udu aku. Bojoku ora tau mulih. Kudu piye maneh?”

Walaupun tidak pernah belajar bahasa jawa secara langsung, entah mengapa aku bisa mengerti sepatah dua patah kata yang kudengar.

“Saiki ngene wae, nek misale awakmu ana ning posisiku, emange kowe kuwat?”

Aku berusaha mengajak ibu bicara, tapi dia tidak menghiraukanku dan mengisyaratkan dengan jarinya kepadaku agar aku diam sebentar.

“Aku wis mumet, dik. Ketoke, wis wayahe pedot.”

Dia akhirnya menutup ponsel lipatnya, menarik nafas panjang, dan menutup wajahnya dengan kedua tengan. Hal itu berselang selama beberapa menit sebelum dia menghampiriku, mengusap lembut rambut ikalku, dan dengan air mata berlinang di pipinya, dia berkata betapa bangga dirinya akan diriku.

Aku bertanya pada ibuku apakah ayah akan menyusul kami, dan dia tidak menjawab tidak. Ayah sedang berada dalam perjalanan bisnis dan selalu seperti itu sepanjang tahun. Dia hanya pulang dua kali dalam setahun selama satu atau dua minggu. Kesibukannya mengambil waktu berharganya sampai-sampai dia lupa bahwa di rumah ada seorang istri dan anak yang menunggu kehadirannya.

Saking jarangnya ayah pulang ke rumah, aku lebih mengingat wajah pria lain yang sering berkunjung pada saat ayah tidak ada di rumah. Kepalanya berbentuk telur sempurna dengan garis rambut yang sudah mundur pada bagian depan dahinya. Ibu bilang bahwa laki-laki tersebut merupakan rekan bisnis ayah dan dia disini untuk mendiskusikan tentang perusahaan mereka. Aku tidak mengerti mengapa ibu memperlakukanku sebagai anak kecil yang tidak tahu menahu tentang suatu hal. Tentu saja aku tahu siapa dia dan apa yang mereka lakukan di belakang ayahku. Aku memang belum dewasa, tapi bukan berarti aku bodoh. Pakaian yang dikenakan secara tergesa-gesa dan keringat yang mengucur deras di dahi mereka adalah pemandangan yang tidak pernah aku lewatkan setiap akhir pekan.

Meskipun begitu, aku tidak pernah mengadukan ini kepada ayah. Aku tidak menyalahkan ayah yang tidak pernah pulang untuk mengajarkanku apa artinya untuk menjadi seorang pria ataupun ibu yang selalu mencekokiku dengan makanan instan dan cepat saji. Wajar mereka berbuat salah, toh ini kehidupan pertama mereka sebagai manusia, sebagai sepasang suami istri, dan juga sebagai orang tua. Aku memilih untuk tidak ikut campur dan menyerahkan urusan ini kepada mereka.

Aku dan ibu memesan taksi untuk pergi ke terminal bis. Kami langsung menaiki bis setibanya disana. Bis yang kami tumpangi berangkat setelah pintunya tertutup. Suara mesin yang berderu-deru dan jeritan rem angin mengisi keheningan. Semua yang berada di bis saat itu diam termenung, memikirkan urusannya masing-masing. Seperti anak kecil pada umumnya, rasa penasaran dan lonjakan energi yang tiada habisnya membuatku mondar-mandir di lorong dan bermain dengan imajinasiku. Perlahan-lahan, pemandangan pencakar langit berubah menjadi hamparan sawah sepanjang mata memandang. Akhirnya, aku bosan dan mencoba untuk tertidur, tapi gagal dengan sia-sia.

Jam bergulir dan langit mulai mengenakan tudungnya, menggulung seluruh cahaya di sepanjang ufuk timur dan barat. Lampu jalan yang berada diantara jalan dua arah samar-samar menelanjangi topeng yang dikenakan oleh ibu. Matanya tertutup semenjak bis berangkat, namun hatinya menangis meratapi masalah yang dia coba untuk sembunyikan. Aku mencoba sebisaku untuk tidak membuatnya jengkel dengan sifat kekanak-kanakanku.

Ketika rasa kantuk menguasai diriku, ibu yang sedari tadi bungkam tiba-tiba, memutuskan untuk bicara. Matanya tenggelam pada memori di masa lampau. Sudah jelas bukan padaku dia bicara, melainkan pada dirinya sendiri. Dia mulai membahas mengenai kakek yang melarangnya menikah dengan ayah hanya karena pada tubuh ayah mengalir darah keturunan sumatra. Lalu bagaimana mereka memutuskan untuk tinggal bersama tanpa sepengetahuan kedua pihak keluarga dan aku terlahir sebagai ‘anak haram’ Baru kali ini aku melihat ibu bersedih sedalam ini. Satu hal yang aku sadari adalah dia nyatanya sama hanyalah manusia biasa, sama halnya perempuan lain yang halus perasaannya dan mudah menangis.

Kami tiba di rumah bibi keesokan harinya dan aku ditinggal oleh ibu di sana selama berhari-hari. Setelah sekian lama tinggal di rumah bibi, bermain-main, dan bolos sekolah, aku akhirnya diberitahu oleh bibi bahwa kedua orangtuaku memutuskan untuk berpisah. Dia tidak memberitahu penyebabnya tapi aku sudah cukup bisa menerka apa yang terjadi. Semula yang aku kira disini hanyalah tempat singgah sementara, namun dua minggu berubah menjadi selamanya.

Hidup setelah perceraian kedua orangtua sebenarnya tidak jauh berbeda ketika mereka bersama, hanya saja sekarang ibu juga jarang di rumah karena dirinya harus bekerja siang malam untuk membayar biaya sekolahku. Entah mengapa ibu tidak sudi menerima uang sepeserpun yang diwajibkan oleh pengadilan bagi ayah untuk menafkahiku. Padahal, itu lebih dari cukup untuk membesarkanku tanpa perlu bersusah payah mencari uang tambahan.

Ayah juga tidak pernah mengunjungiku. Ibu bilang dia kembali menikah dengan sekretaris pribadinya. Aku tidak mempermasalahkan hal tersebut, namun ibu sepertinya belum bisa menerima kenyataan bahwa mantan suaminya telah menemukan pengganti dirinya. Pria simpanan ibu pun tidak pernah kembali ke rumah. Aku rasa dia segan dengan keberadaan bibi di rumah dan mereka memutuskan untuk melakukannya di luar sana atau mungkin saja dia sudah kehilangan fetisnya menggauli istri orang lain, mengingat ibu sudah resmi menjadi janda.

Tidak lama berselang, ibuku meninggal tepat satu tahun setelah perceraiannya dengan ayah. Kata-kata yang sempat dia ucapkan padaku sebelum menghembuskan nafas terakhirnya adalah agar aku menjadi anak yang rajin dan saleh. Ayahku hadir di pemakaman ibu untuk memberikan penghormatan terakhir, dan di situlah menandakan tanggal kepergian kedua orang tuaku untuk selamanya.

Dengan kematian saudara perempuannya, bibi mengambil peran sebagai ibu angkat untuk membesarkanku. Bibi sendiri sudah bercerai dengan mantan suaminya beberapa tahun silam dan belum memiliki anak. Terlepas dari fakta bahwa aku bukanlah keturunannya, bibi tetap memberikan usaha terbaiknya untuk mendukungku secara emosional, memenuhi kebutuhanku, memberiku ruang saat aku membutuhkannya, dan mencintaiku tanpa syarat. Lama kelamaan, aku terbiasa dengan kehadirannya dan mulai menganggapnya sebagai orang tuaku sendiri.

Hal itu terus berlangsung hingga tiba saatnya aku lulus dari sekolah menengah atas. Sejatinya, aku tidak tertarik dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan berencana untuk bekerja hanya sebagai buruh, pegawai toko, atau apapun itu selama aku berpenghasilan cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Tapi, salah satu guruku yang menaruh simpati padaku, waktu itu datang ke rumah dan meyakinkan bibi bahwa aku memiliki potensi dan lebih sekedar mampu untuk untuk mengenyam pahitnya dinamika perkuliahan untuk mencicipi kehidupan yang lebih manis. Aku mencoba membujuknya agar aku dibiarkan tinggal dan menjaga dirinya, tapi keputusannya bulat dan imannya tidak bisa digoyahkan.

Bulan Juni lalu, aku tidak menyangka bahwa hasil pengumuman menyatakan aku lulus sebagai mahasiswa teknik di salah satu perguruan tinggi negeri di Jogjakarta. Aku hanya mengikuti saran dari guruku dan benar-benar tidak tahu apa-apa mengenai kota ini selain makanan khasnya, yaitu gudeg, dan tempat wisata seperti Candi Borobudur, yang kemudian aku tahu bahwa artefak bersejarah tersebut tidak pernah masuk ke dalam delapan keajaiban dunia dan terletak di kota Magelang. Aku tidak mengenal siapapun di kota ini, dan tidak ada yang mengenalku. Kota ini akan menjadi bagian dari hidupku, dan kuharap semuanya baik-baik saja.

 

*

 

Setelah hampir delapan jam aku berada di kendaraan raksasa tersebut, aku akhirnya tiba di pelataran kos, tempat di mana aku akan tinggal selama empat tahun ke depan. Aku tidak berencana untuk menunda perolehan gelar sarjana teknikku karena biaya untuk membayar uang kuliah, sewa kamar, dan kebutuhan bulanan seluruhnya kudapatkan dari tabungan yang ibu kumpulkan semasa dia masih bekerja.

Beasiswa dari pemerintah maupun swasta bukan juga merupakan opsi. Syarat-syarat yang mereka ajukan menempatkanku pada posisi yang rancu. Pertama-tama, keadaan ekonomi keluargaku bukan termasuk golongan tajir melintir yang bisa membeli apa pun dengan uang ataupun miskin melarat hingga nyaris tidak memiliki apa-apa. Faktanya, aku dan bibiku cukup mampu membayar tagihan rumah dan kami makan hampir tiga hari sekali, tapi dengan catatan kami tidak dapat memanjakan diri dengan sekedar tamasya di hari pekan dan menghabiskan sisa waktu di rumah. Bahkan, apabila aku mencoba untuk menjelaskan kondisi sebenarnya, itu hanya akan membuat mereka curiga. Kedua, hal yang serupa terjadi dengan prestasiku di sekolah. Aku termasuk siswa yang biasa-biasa saja semasa sekolah menengah atas. Nilai yang kudapatkan tidak begitu memukau karena aku tidak mempedulikan pelajaran di luar pengetahuan alam, namun juga tidak terlalu memalukan karena aku berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai diatas kriteria ketuntasan minimal.

Belum lagi, aku tidak mengikuti ekstrakulikuler apapun selain pramuka karena itu diwajibkan oleh pihak sekolah sehingga raihan yang aku dapatkan selama di bangku sekolah kosong melompong, apalagi layak di mata para penilai beasiswa. Lagipula, di luar sana masih banyak orang yang lebih layak untuk menerima bantuan ini dan aku tidak menyukai gagasan berhutang pada siapapun dalam bentuk apapun.

Gedung ini, yang berlokasi tidak jauh dari Kali Code, sudah berusia setidaknya tiga puluh tahun jika dilihat dari cat bangunan yang memudar dan mengelupas akibat sengatan sinar matahari serta derasnya hujan yang tiada hentinya. Aku terbayang akan berapa banyaknya mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya disini dan apa yang mereka lakukan sekarang. Tempat ini pasti dipenuhi dengan kenangan, baik yang manis maupun pahit.

Lihat selengkapnya