Restu Bumi

Rayhan Khalid
Chapter #2

2

Satu semester telah berlalu begitu saja dan seluruh rangkaian dalam kaderisasi di jurusanku resmi berakhir. Tibalah saatnya para mahasiswa untuk mendaftar masuk menjadi bagian dari organisasi himpunan jurusan. Aku sendiri memutuskan untuk tidak terlibat sedikitpun dengan urusan yang berhubungan dengan kampus dan mempertimbangkan bekerja paruh waktu agar mendapat sedikit pemasukan untuk membeli barang yang aku butuhkan.

Ternyata mencari pekerjaan tidak semudah yang dibayangkan. Beberapa tempat yang aku datangi bilang bahwa mereka hanya mau menerima orang yang mau bekerja waktu penuh dan aku bisa dibilang belum kompeten dengan hanya gelar sekolah menengah atas tanpa pengalaman bekerja sedikitpun.

Hingga ketika aku hampir menyerah dengan keadaan, akhirnya pada detik terakhir seseorang memberikanku kesempatan untuk menjaga toko musik yang terletak cukup jauh dari tempat tinggalku. Persyaratannya cukup sederhana, dia hanya bertanya apakah aku bisa bermain alat musik dan aku disuruh untuk menunjukkan kelihaianku.

Kebetulan, aku telah mempelajari cara bermain gitar secara otodidak. Mempelajari musik adalah suatu yang tidak terlalu sulit buatku. Aku bukanlah seseorang yang jenius dalam musik atau sempurna dalam nada, tapi ketika aku memang ingin mempelajari sesuatu, aku pasti belajar dari dasar teorinya.

Pada kasus ini, aku belajar dari skala. Skala yang paling umum sering ditemui adalah skala major, yang terdiri dari tujuh nada. Singkatnya, apabila aku memulai dari tangga nada C, maka aku akan memainkan ada C, D, E, F, G, A, dan B secara berulang-ulang. Hal itu mencakup jangkauan oktaf tinggi atau menurun ke oktaf rendah, menciptakan perasaan kontinuitas dan ekspansi. Dengan konsep yang sama, aku bisa memahami cara kerja skala lain.

Nama pemilik toko musik tersebut adalah Om Perkasa. Dia bilang aku bisa mulai bekerja mulai minggu depan. Ketika aku masih heran mengapa dia dengan gampang mempekerjakanku, dia menjelaskan bahwa dia percaya bahwa seseorang yang bisa bermusik tidak akan merendahkan dirinya untuk merusak reputasi toko yang dia miliki, apalagi mencuri.

Aku bilang bahwa aku hanya bisa bermain gitar dan belum pernah menyentuh alat musik lain. Dia bilang bahwa pemain biola dan piano tidak akan menghabiskan waktunya membeli alat musik di toko murahan miliknya, jadi dia merasa bahwa pelanggan utamanya adalah orang-orang yang bermain instrumen gitar. Karena gitar adalah alat musik yang paling mudah untuk disimpan, dimainkan, dan dibawa kemana-mana. Dengan ini, aku resmi menjadi penjaga toko musik paruh waktu di daerah Monjali.

Bukan bermaksud meremehkan, tapi bagiku menjadi penjaga toko adalah pekerjaan yang cukup mudah. Tidak banyak yang perlu dilakukan di dalam ruangan enam kali delapan. Aku hanya perlu untuk mengawasi toko, mencatat setiap transaksi, dan memastikan toko dalam keadaan rapih dan bersih di setiap akhir pekan dari sore menjelang malam. Bayarannya lumayan dan cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Aku sudah berhenti merokok cukup lama dan jarang mengkonsumsi minuman beralkohol, sehingga sisanya bisa aku tabung untuk dana kuliah.

Salah satu pelanggan mengunjungi tokoku yang sedang melantukan lagu-lagu Dave Koz atau Kenny G yang membuat suasana tokoku mirip dengan salah satu toko buku terbesar di Indonesia. Perempuan tersebut berdandan ala goth. Dipakainya sepatu boot hitam tinggi, rok pendek hitam, dan kaos hitam dengan potongan crop top. Bahkan eyeliner dan lipstik, semuanya serba hitam.

Dia langsung menuju ke alat musik gitar yang tergantung rapih di dinding. Aku berdiri di dekatnya, mengikuti prosedur sebagai penjaga toko yang baik dan benar. Dilihatnya gitar-gitar secara teliti dan mendalam setiap bagian dari gitar tersebut hingga sepuluh menit lamanya. Tampaknya dia menggumam sesuatu seperti mengambil kesimpulan. Dari caranya dia memegang gitar, terlihat jelas bahwa dia bukan seorang yang terbiasa memetik alat tersebut.

“Ini berapaan?” tanyanya, sambil memegang salah satu gitar yang dia ambil dari pajangan

“Sekitar tiga juta, Mbak,” jawabku.

“Kalau yang ini?”

“Sebentar, biar saya cek dulu,” kataku sambil mengecek label harga yang tercantum di gitar tersebut. “Kalau yang itu, satu juta delapan ratus.”

“Apa bedanya ini dengan yang lain? Kalau mereka semua kelihatan sama, berarti aku cuma perlu membeli barang yang termurah, kan?”

“Boleh aja mba, tapi saya sarankan beli sesuai kebutuhan Mbaknya. Izinkan saya bantu menjelaskan ya. Kalau yang sedang mbak pegang itu terbuat dari kayu mahogani. Sekilas memang terlihat sama dari kejauhan, tapi apabila dilihat secara mendalam, material, pola, dan warna yang terukir di atas kayu tersebut jauh berbeda. Nantinya, faktor-faktor tersebut bakal berpengaruh terhadap suara yang dihasilkan. Selain itu, merk juga sangat berpengaruh dengan harga jualnya.”

“Kamu bisa kasih contoh perbedaan suaranya tidak?” pintanya.

Kuambil gitar dari pangkuannya dan setelah memastikan nadanya tepat, aku mulai memetik gitar untuk memainkan Arpeggio.

“Bentar-bentar, bukan itu yang pingin kudengar. Coba, kamu bisa tidak memainkan lagu-lagu post-punk?”

Post-punk?’ bisikku dalam hati. Kukira dia akan meminta diriku untuk memainkan lagu-lagu alternative rock emo berdasarkan penampilannya.

Aku berhenti sejenak untuk memikirkan lagu apa yang harus kubawakan. Akhirnya, aku memutuskan untuk melantukan petikan gitar dari lagu-lagu melankolis The Smiths seperti ‘William It Was Really Nothing’ dan dari Siouxsie and the Banshees seperti ‘Dear Prudence’

“Aku tidak nyangka kalau kamu tahu banyak tentang post-punk. Kukira kamu hanyalah seorang pekerja kolot yang tidak tau apa-apa mengenai musik.” puji wanita tersebut sambil bertepuk tangan kecil sebagai bentuk apresiasi.

“Terima kasih,” ujarku.

“Lupakan aja tentang gitar itu. Bagaimana kalau kamu bergabung dengan bandku dan menggantikan perannya?” ajaknya untuk bergabung.

“Maaf, gimana, Mbak?” tanyaku untuk memastikan maksud dan tujuannya.

“Sebenarnya, salah satu personel bandku dengan sengaja membanting gitarnya sendiri saat kami pentas. Aku tahu dia sedang dipengaruhi oleh alkohol, tapi bagiku kelakuannya yang semena-mena ini sudah seringkali terjadi dan tidak bisa diterima lagi. Entah mengapa, aku masih berada di sini untuk membelikan gitar baru untuknya hanya agar dia tetap mau bertahan. Aku menyedihkan sekali ya?”

“Saya sedikit keberatan sih Mbak. Soalnya saya, hanya akan menjadi beban mengingat bahwa saya belum pernah bergabung dengan band manapun, apalagi berpengalaman untuk bermain musik bersama,” tolakku dengan halus.

“Tidak usah khawatir tentang hal itu. Band kami juga baru saja terbentuk beberapa bulan yang lalu, dan dengan kelihaian kamu bermain gitar, aku yakin band kita akan cepat terkenal. Oh, satu lagi. Kami selalu membagi bayaran manggung sama rata.”

“Tapi seperti yang kamu lihat, saya sibuk mengurusi toko dan tidak punya waktu banyak.”

“Tidak usah terlalu kaku kalau sedang bicara denganku. Kayaknya, selisih umur kita tidak jauh berbeda kok. Kami selalu pentas setelah jam dua belas malam, jadi kalau kamu mau mencari alasan untuk menolak, terus terang saja. Aku akan meninggalkan nomor teleponku disini, barangkali kamu akan berubah pikiran.”

“Kita lihat nanti,” kataku.

Aku merasa tidak enak untuk menolak tawarannya. Mengambil kesempatan untuk menjadi gitar di sebuah band beraliran post-punk memanglah tidak terlalu buruk, namun kendati demikian, aku tidak boleh mengambil terlalu banyak kegiatan yang akan mengganggu waktu istirahatku. Paling-paling, dua atau tiga hari mendatang wanita itu akan lupa denganku.

 Wanita itu menulis nomor telfonnya di atas nota toko dan pergi keluar toko. Tidak ada pelanggan lagi yang datang setelahnya. Aku duduk dibalik etalase kaca yang berisikan senar, pick, dan barang-barang lainnya. Jam menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit, menandakan bahwa shiftku akan berakhir empat puluh lima menit lagi. Saat waktu berakhir, aku tidak lupa memastikan bahwa semua barang berada di tepatnya dan seluruh lampu ku matikan sebelum akhirnya aku menutup garasi toko dan menggemboknya.

Aku membawa kunci cadanganku sendiri sehingga aku tidak perlu untuk mengembalikannya ke pemilik toko. Tokonya terletak dekat dengan ring road, sehingga aku hanya perlu berjalan sekitar tiga puluh menit sebelum sampai di rumah. Jalanan yang aku lewati dipenuhi oleh orang-orang, entah itu bercengkrama di warung kopi atau angkringan. Dengan pikiran kosong, aku berjalan di tengah-tengah keramaian.

Sesampainya di kos, aku berpas-pasan dengan salah satu tetanggaku yang tinggal beberapa ruangan dari kamarku. Dia berjalan melewatiku dengan sampah makanan yang terbungkus dengan plastik merah. Aku belum sempat memperkenalkan diriku padanya karena dia selalu sibuk berada di kamarnya. Dia adalah laki-laki pendek berbadan tambun dan berkacamata dengan potongan rambut Jackie Chan. Aku hanya bertemu dengannya beberapa kali ketika dia sedang pergi ke toilet atau mengambil makanan dari jasa pesanan antar. Jadi, bisa disimpulkan bahwa dia adalah seorang hikikomori.

Hikikomori adalah ungkapan dari jepang yang merujuk pada mereka yang menarik diri dari kehidupan sosial dan mengalami kesulitan untuk mendirikan sebuah ikatan dengan orang lain. Mereka menghabiskan hampir seluruh hidupnya menyendiri di dalam kamar mereka. Aku tidak keberatan tinggal di bawah atap yang sama dengan mereka. Yang jadi permasalahan adalah aku sering mendengarkan suara-suara berisik di tengah malam. Terkadang dia tertawa terbahak-bahak, berteriak, dan yang paling aneh adalah ketika aku harus mendengar dia mendesah, yang menyebabkan tidur tenangku terganggu.

Terbangun di tengah malam adalah hal yang paling mengerikan. Aku akan terbangun dengan kaos yang sudah basah, keringat mengucur tak henti-hentinya, terutama pada bagian belakang, diperparah dengan tenggorokan yang kering, detak jantung yang berdegup kencang, dan kening yang berdenyut-denyut yang menandakan panas dalam. Aku harus memaksa diriku untuk bangun dan meneguk segelas air putih, mengganti pakaianku, dan membasuh wajahku untuk menghilangkan rasa pusingku. Aku akan tetap terjaga sepanjang malam; kepalaku akan terisi oleh pikiran-pikiran yang tak berujung sampai pagi hari menjelang dan sinar matahari yang menyilaukan menembus gordenku.

Di pagi hari berikutnya, dia akan menjemur bantal kesayangannya, yang bergambar tokoh anime perempuan yang biasa disebut waifu. di bawah terik matahari. Di sana, terlihat jelas, terdapat noda kuning tersebar di bagian bawah bantal. Kurasa itu sudah cukup jelas tanpa harus aku bahas lebih jauh.

Ya ampun, betapa irinya aku terhadap mereka! Aku ingin menjadi seperti mereka yang dianggap sebagai orang aneh. Mereka menikmati hidup di dalam dunia mereka, isekai mereka sendiri sebagai bentuk pelampiasan dari kejamnya dunia. Terlepas dari stereotip yang ditujukan kepada mereka, mereka pada hakikatnya bahagia menjadi diri mereka sendiri. Mereka mampu melanjutkan hidup dengan ‘obat-obatan modern’ meresap ke dalam otak mereka. Dengan kata lain, sebuah bunuh diri filosofis untuk menghindari keabsurdan. Bunuh diri fisik juga bukan merupakan suatu pilihan. Aku tidak takut akan kematian. Aku telah mati di dalam. Ketika para umat manusia berperang dan para dewa sibuk merancang dan menipu sana sini, aku terjebak di kaki gunung di Tartarus. Di depanku, terdapat sebuah batu besar berdiri kokoh seperti benteng troya, yang terbuat dari kerikil masalah hidupku yang aku tidak hiraukan. Aku bahkan tidak dapat menggerakkan setitikpun batu tersebut.

Wahai Sisyphusku tersayang, kau yang dengan cerdik menipu para dewa hanya untuk berakhir dihukum dengan abadi ini. Pernahkah sekalipun kamu berpikir untuk mengelabui dirimu sendiri ke dalam kebahagiaan yang fana? Berpura-pura untuk menerima bahwa hidup pada dasarnya adalah absurd yang meninggalkan begitu banyak pertanyaan tak terjawab.

Oh, Camus, menemukan arti hidup seseorang tidak semudah menggelindingkan bongkahan batu besar. Mungkin orang-orang super Nietzche, dengan tekad kuatnya, dapat mengukir jalur yang bermakna di dalam rute yang tidak berujung? Haruskah aku menjadi lebih stoik dan praktis seperti mantan kaisar Roma? Atau haruskah aku tidur di jalanan seperti Diogenes?

Atau haruskah aku menyerah pada kenyataan bahwa sebenarnya hidup ditentukan oleh aktivitas biologis di dalam organ-organku yang menyebabkan aku memberikan sinyal melalui saraf ke dalam otakku, yang nantinya akan menghempaskan hormon yang akan membuatku merasakan sesuatu seperti rasa sakit, atau bahkan lebih kecil dari itu seperti molekul-molekul atom yang berinteraksi tanpa sadar yang membuat kita percaya kita bisa memilih dan menentukan sesuatu dalam ilusi kesadaran? Hal-hal yang kita rasakan melalui panca indra kita, emosi yang kita rasakan di dalam hati kita, hanyalah sebuah produk samping dari dunia material. Kita, pada mulanya, tidak pernah memilih untuk diri kita sendiri.

 

*

 

Ini adalah hari minggu pagi yang cerah, hari yang membuatku bersemangat untuk membersihkan kamarku dan berolahraga Pertama-tama, aku mulai merendam baju kotorku yang sudah menumpuk di keranjang cucian dengan deterjen. Hal ini mengingatku pada pelajaran kimia organik yang aku hadiri pada hari kamis lalu. Bagian hidrofilik pada surfaktan tersebut akan memecah dan menghilangkan kotoran, sebelum akhirnya bagian hidrofobiknya akan membawa kotoran tersebut dengan air yang mengalir. Sambil menunggu deterjenku melakukan pekerjaannya, aku menyapu lantai dibawah ranjang dan mejaku sebelum aku mengepelnya. Setelah itu, aku lanjut dengan menggosok pakaianku dengan tangan kosong dan menjemurnya di bawah terik matahari.

Karena pekerjaan semuanya hampir selesai, Aku mengganti pakaian tidurku dengan pakaian olahragaku, bersiap untuk lari santai dengan jarak menengah. Untuk menghindari cedera, aku mulai melakukan pemanasan dengan menarik seluruh otot pada tubuhku, dimulai dari bagian atas seperti leher dan pundak, dan dilanjuti dengan bagian bawah seperti paha dan hamstring. Aku bisa merasakan darahku mulai terpompa ke seluruh tubuhku. Setelah badanku terasa cukup ringan, aku beranjak pergi dengan kecepatan stabil mengambil jalur ke Tugu Golong Gilig, salah satu bangunan bersejarah ikonik di kota Jogjakarta sebagai titik tengah. Keringat mulai bertaburan di kulitku dan segera menguap dengan cepat ketika aku sudah sampai di tengah kota. Di sana terdapat banyak komunitas pelari dan pesepeda dengan baju seragam mereka, mulai dari anak kecil hingga orang yang sudah sepuh.

Tinggal setengah perjalanan lagi sebelum aku bisa sampai ke rumah ketika rintik hujan mulai jatuh satu per satu. Dengan tenaga yang masih tersisa dan kecepatan yang aku tempuh saat ini, mustahil rasanya untuk sampai di rumah dan menyempati untuk menyelamatkan pakaian yang sedang aku jemur. Tidak ada yang bisa ku lakukan selain mengikhlaskan pakaian tersebut dan kembali mencucinya esok hari. Akhirnya hujan deras turun dan aku berlari dari yang semulanya merasa sesak dengan rasa panas, kini aku harus menahan dingin yang muncul tiba-tiba.

Aku sampai di rumah dalam keadaan basah, dan ketika aku ingin mengambil jemuranku yang telah basah, ajaibnya benda itu tidak ada di sana. Dibingungkan oleh hilangnya pakaianku, aku kembali ke kamarku dan menemukan keranjang laundri yang penuh dengan pakaian kering yang baru saja aku jemur. Seseorang pasti diam-diam dengan baik hati mengangkat jemuran yang aku tinggalkan. Orang yang paling dekat denganku di tempat ini hanyalah Restu, tapi aku yakin dia bukanlah juru selamat tersebut. Restu masih harus mengikuti ospek jurusannya yang bergulir selama setahun penuh dan sedang tidak ada berada di kamarnya. Lalu aku ingat satu orang yang selalu menjemur barang pribadinya di setiap akhir pekan, lekas aku pergi ke depan pintu kamarnya dan mulai mengetuk.

“Permisi,” panggilku dari luar ruangan.

Tidak ada jawaban, tetapi aku bisa mendengar jejak langkah seseorang di dalam. Aku kembali mengetuk, menunggu beberapa saat, and ketika aku hendak pergi, kunci pintu kamar itu berdenting dan pintunya terbuka. Seorang pria dengan setelan jas hitam keluar dari kamar. Pemandangan cukup aneh melihat pakaian semahal itu dipakai di tempat yang mirip dengan kandang babi.

“Ah, Gomen. Aku sedang... mengurusi sesuatu, jadi aku tidak mendengarmu,” ujarnya.

“Tidak apa-apa. Maaf mengganggu, aku ingin berterimakasih karena kamu telah mengangkat jemuranku.”

“Daijobu, sebagai seorang tetangga kita harus saling menolong. Aku lupa memperkenalkan diri. Hajimemashite, namaku Kenta. Itu bukan nama kelahiranku, melainkan nama virtualku. Namun, karena orang-orang terdekatku memanggilku begitu, aku jadi terbiasa. Yoroshiku onegaishimasu.”

Kenta membungkukkan badannya membentuk sudut sembilan puluh derajat. Aku merasa seperti Kaisar Hirohito di hadapannya. Tuhan memberkati hidungku, karena bau semerbak badannya setara dengan orang yang belum mandi selama satu minggu.

“Panggil saja aku Rakha,” jawabku.

“Rakha-chan? Chotto matte. Rakha kun? Ano... Rakha-san?”

Aku menghela nafas karena tingkahnya yang berlebihan. “Bisakah kau berhenti dengan hal-hal yang berbau jejepangan? Jangan tersinggung, tapi aku cukup muak mendengarnya.”

“Maafkan aku,” katanya dengan nada kecewa.

“Baiklah, terserah. Maaf aku bersikap tidak sopan terhadap orang yang sudah menyelamatkan jemuranku. Oh ya, jika ada hal yang bisa kulakukan untukmu, bilang saja. Anggap saja ini bentuk terimakasih dan balas budiku.”

“Sebenarnya ada sesuatu yang bisa kau lakukan... Tapi kurasa kau tidak akan mau.”

“Apa itu?” tanyaku penasaran.

“Lupakan saja. Permintaanku sedikit berat dan tidak mudah untuk dilakukan.”

“Ayolah, berhenti berkelakuan seperti anak gadis. Katakan saja.”

Kenta menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya yang gempal. “Minggu depan, aku berencana untuk berkencan dengan seseorang di sebuah restoran mewah. Itu akan menjadi pertemuan pertama kita, dan dia bilang bahwa akan lebih baik apabila masing-masing dari kami membawa seorang teman. Dia bilang, dirinya belum yakin sepenuhnya denganku dan masih merasa gugup apabila harus bertemu empat mata. Tapi apa boleh buat, soalnya hubungan kami ini masih seumur jagung.”

“Memangnya sebelumnya kalian tidak saling mengenal satu sama lain? Di mana kau mengenal wanita itu? Lewat game online?”

Kali ini dia mengeluarkan ponsel yang disimpan di saku jasnya dan menunjukkan sebuah aplikasi kencan. Dia menggulirkan layar ponselnya dari atas kebawah dan aku cukup kaget dengan fakta bahwa banyak sekali wanita yang cocok dengannya. Aku lega bahwa dia bukanlah seorang pedofilia yang mengincar anak di bawah umur. Ketika aku melihat foto profil dirinya, aku tau alasan mengapa dia sangat populer.

“Siapa foto yang kau pajang. Itu jelas bukan dirimu. Lihatlah, kau tidak sekurus dan seberotot itu. Kalau mereka tahu siapa dirimu sebenarnya, kau bisa saja dilaporkan ke polisi atas kasus pemalsuan identitas,” ejekku sambil sedikit bergurau.

“Urusai! Aku sempat menjadi anggota fitness beberapa tahun silam. Dan aku tidak berusaha untuk menipu siapapun. Pria tampan di situ adalah aku.”

“Baiklah, pria tampan. Sekarang, perempuan beruntung mana yang mendapat kesempatan untuk kencan denganmu?”

Kenta menutup aplikasi kencan tersebut dan berganti ke jendela Instagram. Mereka telah mengikuti satu sama lain.

“Apa kau yakin ini bukanlah penipuan. Ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan,” kataku ragu. Aku tidak bermaksud untuk meremehkannya, tapi perempuan itu punya hampir sepuluh ribu pengikut di akunnya.

“Tidak mungkin. Dia telah mengirimkan beberapa fotonya sedang beraktivitas.

“Bisa saja dia menggunakan foto orang lain bukan?”

“Benar, tapi aku mempercayainya. Bagaimana?”

“Baiklah. Jangan lupa untuk ingatkan aku sehari sebelumnya,” kataku, menyetujui permintaanya.

“Hontou ni?” tanya Kenta, wajahnya memerah seperti babi. Kali ini aku menghalanginya untuk membungkuk untuk kedua kalinya. Tidak ada salahnya aku menerima ajakannya, lagipula aku memang penasaran dengan rasanya makanan yang dimasak oleh seorang koki bintang lima.

 

*

 

Lihat selengkapnya