Restu Bumi

Rayhan Khalid
Chapter #3

3

Libur panjang telah tiba. Setelah aku mengantar Restu pulang, aku menghabiskan waktu liburanku dengan bekerja paruh waktu dan berlatih bersama band Lexi di rumahnya. Mereka memanggil diri mereka “The Customers”. Nama ini mereka putuskan berdasarkan fakta bahwa dua dari empat anggota band mereka bekerja di bagian layanan pelanggan. Aku menelpon Lexi jumat pagi dan dia menjemputku dengan motor cafe racer miliknya pada malam hari.

Semua anggota band telah menunggu di ruang tamu dengan berbagai jenis rokok dan minuman keras yang tergeletak di atas meja, tipikal pemain musik pada umumnya. Salah satu dari mereka berdiri menyapaku. Dia adalah seorang laki-laki jangkung yang sedikit bungkuk dan dengan kaki O. Namanya Jensen dan dia adalah pemain alat musik bass. Satu lagi, pria gemuk yang sibuk dengan memainkan stik drumnya, biasa dipanggil Marco. Jensen tak henti-hentinya bertanya mengenai diriku. Dia bertanya musik apa yang sering kudengarkan, apa minuman keras favoritku, apakah aku sudah memiliki pacar, dan banyak hal tidak penting lainnya yang tidak kuingat.

Setelah itu, kami berempat pergi ke studio musik yang terletak di belakang rumah Lexi. Jensen mulai memutar kaset rekaman yang mereka buat beberapa bulan yang lalu. Aku dengan cepat mengulik notasi yang dimainkan oleh gitaris sebelumnya dan kami melakukan beberapa percobaan untuk memainkan lagu dengan tempo yang tepat. Lexi bilang, apabila aku merasa kurang cocok dengan melodi asli lagu tersebut, aku diperbolehkan untuk menggantinya, dan aku melakukannya. Mereka tampak suka dengan apa yang kuubah, terutama Jensen yang terus memanggilku maestro. Kami terus berlatih selama dua kali dalam seminggu hingga hari yang ditunggu telah tiba.

Band kami dijadwalkan untuk tampil pukul sembilan malam di panggung yang didirikan di belakang gedung Jogja National Museum. Kami berempat sepakat untuk tiba berkumpul jam tujuh, tetapi aku datang dua jam lebih awal untuk menghindari keterlambatan.

Selain acara musik, sebuah pameran juga sedang diadakan di dalam gedung tersebut. Tiket masuknya tidak berbayar, sehingga aku menyempatkan diri untuk berkunjung. Puluhan lukisan dari berbagai seniman telah terpampang di dinding lorong ketika aku masuk ke dalam gedung. Mayoritas yang dipamerkan merupakan karya kontemporer yang bereksperimen dengan konsep, material, dan teknologi terkini.

Banyak orang di dunia maya yang mencemooh aliran ini dengan berkata bahwa karya modern merupakan sebuah lelucon. Padahal, yang mereka maksud bukanlah merupakan karya modern melainkan karya kontemporer. Mereka tidak mengerti perbedaan dua hal tersebut, belum lagi perkembangan karya seni dari zaman Renaissance hingga seakrang. Mereka menilai karya realisme yang menyerupai wujud asli kehidupan nyata adalah puncak dari seni dan menganggap yang lainnya adalah sampah. Aku sangat heran dengan orang-orang tersebut. Dengan pemahaman sedangkal ini, mereka masih memiliki keberanian untuk mengkritik karya seni. ‘Benar-benar lucu,’ pikirku

Aku masih punya banyak waktu untuk menikmati karya-karya yang mereka tuangkan dalam lukisan mereka. Lukisan adalah salah satu sarana untuk berekspresi dan sebagai bentuk dari kemajuan peradaban. Menurutku pribadi, melukis dan menulis memiliki hakikat yang sama. Beberapa kata memiliki makna yang serupa, tapi kenyataannya mereka sedikit berbeda. Memilih kata-kata yang sesuai pada kalimat yang tepat akan menghasilkan prosa yang indah. Sama halnya dengan menulis, memilih warna yang sesuai pada gradasi yang tepat akan menghasilkan lukisan yang indah.

Salah satu lukisan berukuran raksasa menarik perhatianku. Manusia-manusia liliput hitam putih yang mewakili bidak catur itu sedang bertarung satu sama lain di atas papan. Kelihaian sang pencipta untuk menggambarkan perang sebagai permainan catur adalah hal yang luar biasa. Bidak-bidak catur itu mempresentasikan kita, orang-orang biasa. Kita terlibat di dalam konflik dan pertikaian atas nama sesuatu yang kita percayai. Kita mengayunkan pedang dan menumpahkan darah satu sama lain tanpa menyadari bahwa kita dikendalikan oleh kekuatan yang lebih besar di atas kita.

Aku akhirnya mencapai ujung lorong yang berada di lantai tiga. Setelah tidak ada lagi yang dipamerkan, aku beranjak keluar dari gedung dan berakhir di dekat podium tempat para tamu undangan untuk tampil. Orang-orang berkumpul mengelilingi panggung dan ikut bernyanyi. Jason Ranti dengan gitarnya sedang bercerita di depan sana dengan lagunya yang berjudul ‘Variasi Pink’ Asap rokok penonton yang mengebul ke udara turut menambah khidmatnya suasana. Saat aku sedang diam termenung, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Orang itu adalah Lexi. Dia berdandan serba hitam, sama persis dengan keadaannya waktu aku pertama kali bertemu dengannya.

“Tak kusangka seseorang dari band sudah datang mendahuluiku,” katanya.

“Memangnya kenapa?” tanyaku.

“Aku cukup kaget. Biasanya, mereka selalu telat dan datang lima belas menit sebelum pertunjukkan.”

“Terus, apakah kamu sebagai ketua tidak pernah menegur mereka?”

“Selalu, sampai pada akhirnya aku lelah sendiri. Mereka sangat susah diatur, apa boleh buat. Setidaknya mereka datang, ya kan?”

“Benar juga.”

Lexi mengajakku untuk menjauh dari panggung yang menggelegar agar kami berdua bisa berbicara lebih jelas.

“Masih tersisa dua penampilan lagi sebelum giliran kita. Apa kamu merasa gugup?” tanya Lexi.

“Sedikit.”

“Itu hal biasa. Saat kakimu sudah menginjakkan panggung di atas sana, adrenalin akan mengambil alih dan kamu akan melupakan segalanya.”

Akhirnya, kami kedatangan dua personel yang sudah ditunggu-tunggu. Kami berempat tidak membawa apa-apa selain pakaian yang kami kenakan. Semua peserta yang akan tampil kecuali tamu undangan tidak diizinkan membawa alat musik pribadi dengan alasan untuk menghemat waktu. Tidak ada yang berbicara sama sekali di belakang panggung. Aku rasa masing-masing dari kami sibuk mengumpulkan keberanian untuk berada di depan orang banyak.

Giliran kami tiba, dan Lexi segera naik ke atas panggung dan merebut mikrofon dari peserta sebelumnya untuk menyapa penonton. Peserta tersebut terlihat cukup kesal dengan perlakuan kurang ajar Lexi, namun kurasa dia tidak mempedulikannya sedikit pun. Melihat dia berinteraksi dengan penonton, aku tidak menyangka dia dengan mudah menguasai panggung. Auranya berbeda dengan ketika dia di bawah sana. Rasanya, aku seperti melihat dua orang yang berbeda.

Setelah merasa seluruh alat musik layak untuk dimainkan, kami mulai membawakan lagu pertama kami yang berjudul ‘Long Ago’. Lagu tersebut bercerita tentang seseorang ditimpa masalah setelah gagal menikah dengan tunangannya. Walaupun sebagian besar penonton tidak mengetahui liriknya, mereka tetap bersorak untuk memeriahkan suasana. Pada bagian reff, mereka menyanyikan baris yang berbunyi ‘Love your problems and they will probably leave you too.”

Ketika lagu pertama berakhir dan Lexi sedang berinteraksi dengan para penonton, seseorang muncul dari keramaian dan naik ke atas panggung. Dari pandangan mata Lexi, aku tahu bahwa dia mengenal orang ini. Dia berusaha untuk tenang dan berpura-pura bahwa ini hanyalah bagian dari pertunjukkan. Mulutnya seperti mengungkapkan sesuatu. Terdengar olehku bahwa pria mabuk itu bernama Tora. Tanpa menghiraukan Lexi, Tora merebut paksa mikrofon yang digenggamnya dan mulai melanturkan kata-kata kasar terhadap penonton.

“Kalian masih mau mendengarkan sampah yang mereka pertontonkan. Lihatlah anak ingusan itu, dengan bangganya dia memainkan melodi yang dengan susah payah aku buat.”

Para penonton berbisik dengan keras. Mereka terlihat bingung dengan apa yang baru saja terjadi, sementara anggota band yang lain hanya bungkam mati kutu. Aku melepas strap gitar yang sedang kukenakan dan berusaha untuk bernegosiasi dengan Tora. Sialnya, keadaan bukannya membaik malah sebaliknya aku malah memperparah suasana. Dihantamnya mikrofon itu ke kepalaku dan suara berdengung memenuhi isi kepalaku. Perlahan aku mulai kehilangan kesadaran dan tertidur sepenuhnya. Yang terakhir kulihat adalah beberapa penjaga keamanan berusaha untuk menahan Tora yang mengamuk seperti binatang yang sedang diburu.

Ketika kesadaranku mulai pulih, aku sedang berbaring di sebuah tenda yang didirikan dekat dengan gedung utama. Tangan kananku merasakan kain yang membalut kepalaku saat sedang mencoba untuk meraba luka yang aku derita. Samar-samar aku dapat mendengar suara Lexi, Jensen, dan Marco yang sedang berbincang-bincang di luar.

“Ayolah, kalian akan membiarkan kejadian sepele ini mengacaukan semua progres yang telah kita lalui? Lagipula kita sudah mendapatkan pengganti yang sepadan.” tanya Lexi kepada dua temannya.

“Aku sudah lelah berurusan dengannya lagi. Dan aku yakin dia tidak akan berhenti menggangu kita. Rakha memang gitaris yang berbakat, tapi sejujurnya, seorang teman telah menawariku untuk bergabung dengannya,” kata Jensen.

“Ya Tuhan. Tolong jangan mempermainkanku seperti ini. Kamu juga Marco?”

Marco tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya terdiam membisu.

“Yang benar saja! Sudahlah. Lebih baik kalian pergi dari hadapanku sebelum aku mencolok mata kalian.

Langkah kepergian kaki mereka menandakan keputusan yang sudah bulat. Bayangan Lexi mulai mendekat sebelum akhirnya dia menyingkap kain pintu masuk dan masuk ke dalam.

“Kamu mendengar semuanya?” tanyanya.

“Hanya beberapa kalimat terakhir sebelum kalian berpamitan.”

“Syukurlah, aku tidak perlu menjelaskan semuanya lagi dari awal kepadamu. Sedari awal sudah sepantasnya orang-orang tidak berguna itu pergi.”

“Maafkan aku.”

“Ini tidak ada hubungannya denganku. Aku yang seharusnya meminta maaf karena telah melibatkanmu dalam omong kosong ini.”

“Jadi, band kita akan membubarkan diri?”

“Untuk sementara waktu.”

“Lexi, bolehkah aku jujur kepadamu?”

“Ada apa? Kamu juga ingin ikut keluar dari band?”

“Tidak, bukan itu yang ingin aku sampaikan.”

“Lalu?”

“Suaramu indah sekali.”

“Kamu ini,” katanya sambil menepuk pahaku. “Jangan membuatku panik seperti itu dong.”

“Maaf.”

“Lagi-lagi kamu meminta maaf. Oh ya, bagaimana keadaanmu?”

“Kalau aku bilang keadaanku sedang tidak baik-baik saja, sudah jelas aku berbohong.”

“Apa aku perlu mengantarmu ke rumah sakit?”

“Tidak, tidak perlu, tak usah repot-repot,” jawabku. Aku tidak menyangka kalau dia akan menganggap perkataanku dengan serius. Tapi, sepertinya akulah yang tidak bisa menempatkan diriku dengan baik. Apa yang dialami Lexi barusan pasti membuatnya cemas dan membayangkan hal-hal buruk.

“Kau yakin?” tanyanya kembali untuk memastikan bahwa aku tidak berbohong karena merasa tidak enak dengannya.

“Iya, serius. Aku hanya butuh istirahat yang cukup dan semuanya akan baik-baik saja.”

“Ini berapa?” tanyanya sambil mengacungkan dua jari di hadapan wajahku.”

“Lexi, penglihatanku ini normal dan aku tidak punya riwayat penyakit rabun jauh.”

“Tapi gegar otak bisa saja mempengaruhi penglihatanmu.”

“Benar juga.”

“Baiklah kalau kamu tidak apa-apa. Setidaknya, biarkan aku mengantarmu pulang.”

Ketika sampai di parkiran, aku menawarkan untuk memboncengnya.

“Dengar, ini motorku dan aku tidak akan mempercayai siapapun, bahkan dirimu, untuk mengendarainya. Lebih baik kamu duduk manis di belakang dan peluk erat diriku karena aku akan mengebut.”

Benar saja, caranya mengendarai seperti orang yang dengan sengaja menjemput ajalnya. Jalanan yang kami lewati terasa sangat asing tanpa orang-orang dan kendaraan yang melintas. Kami akhirnya sampai dan aku berterimakasih padanya mengingatkannya untuk berhati-hati.

Hari ini menjadi kenangan pahit bahwa band The Costumers resmi bubar. Sayang sekali, aku belum sempat berkontribusi banyak. Padahal, di dalam hatiku, aku sedikit berharap bahwa kami dapat melakukan tur ke luar kota dengan lagu-lagu yang kami ciptakan. Sisi positifnya, aku masih hidup dan tidak mengalami cidera yang serius. Dengan semua yang telah aku alami, akhirnya aku cukup lelah untuk tertidur.

 

*

 

Restu menelponku beberapa hari setelah rasa sakit di kepalaku mereda. Dia bilang bahwa dia membutuhkan bantuanku saat kembali ke sini pagi esok hari. Dia berjanji akan menjelaskan lebih lanjut besok dan memintaku agar mengosongkan jadwal sepanjang hari. Karena semester baru akan dimulai dalam beberapa hari ke depan, sehingga aku memenuhi permintaannya selagi aku masih memiliki waktu luang.

Ketika Restu bilang dia akan datang, aku tidak menyangka bahwa dia akan mengendarai truk bak terbuka bersamanya. Terdapat stiker yang menempel pada kaca depan yang bertuliskan ‘urip iku urup’, sebuah istilah dari Jawa yang berarti hidup itu seperti api yang harus berguna dan membantu orang lain.

“Apa maksud dari semua ini,” kataku setelah dia keluar dari mobil.

“Memangnya aku belum bilang sebelumnya ya?”

“Kau tidak pernah bilang apa-apa.”

“Mulai hari ini, aku tidak akan tinggal di bawah gubuk reyot ini.”

“Selamat ya, aku harap kau tidak melupakanku dan yang lainnya.”

“Tentu, terutama penjahat licik yang telah mencuri kecapku dan orang gila yang meninggalkan kotorannya di toilet.”

Kami menertawakan kekonyolan tersebut.

“Di mana kamu akan tinggal? Kurasa Pogung tidak lebih baik dari Sendowo. Di sana terlalu ramai, walaupun makanannya enak-enak sih.”

Lihat selengkapnya