Restu Bumi

Rayhan Khalid
Chapter #4

4

Beberapa hari kemudian, aku mendapatkan berita dari Restu bahwa Bumi terkena demam. Hal itu pasti terjadi akibat dia mengkonsumsi terlalu banyak alkohol malam itu. Aku merasa sedikit bersalah. Karena Restu harus pergi dari rumah selama beberapa hari untuk mengikuti perlombaan di luar kota, dia memintaku untuk menjaga Bumi sementara waktu. Jadi, aku berencana untuk menjenguk ke rumahnya setelah jam makan siang untuk menghindari kemacetan.

Hari ini dimulai dengan pertanda baik. Aku tidak bermimpi apa-apa semalam, menyantap soto lamongan yang lezat sebagai sarapan, kelas pagiku satu-satunya pada hari itu dibatalkan, dan hujan rintik-rintik menghiasi langit setelah turun sepanjang malam ketika aku berjalan menuju halte bis terdekat. Langit hari itu mendung dan membosankan dengan suara petir yang menggelegar. Semua yang berada di sekitarku berwarna lebih gelap. Awan-awan yang mengapung di atas sana terlihat lebih abu-abu dibanding warna putih pekat dan jalanan yang biasanya berwarna abu-abu, berubah menjadi hitam legam. Hawa dingin dan aroma tanah yang basah tercium di udara, membangkitkan perasaan nostalgia yang tidak pernah terjadi.

Sesampainya disana, aku mengantri dengan para penumpang lainnya di halte bis di depan RSUP Dr. Sardjito. Sebenarnya, Restu menawarkanku untuk meminjamkan motor miliknya, namun aku menolaknya dan memilih untuk menggunakan fasilitas umum. Bercengkrama di keramaian tanpa berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekitarku memberikanku sebuah semacam perasaan tenang menghanyutkan. Kerut mata mereka yang berbicara dan sunyi yang mendengarkan.

Setelah cukup lama menunggu, Trans Jogja dengan rute nomor dua belas itu akhirnya datang juga. Pintu ganda otomatis bis terbuka lebar dengan suara desis panjang dan seorang nenek-nenek sepuh keluar dengan bantuan kondektur yang bertugas. Aku dan tiga penumpang yang masuk ke dalam dan membayar tiket kami. Sayangnya, bis yang kutumpangi sudah dipadati oleh orang-orang dengan berwajah letih sehingga aku harus berdiri di lorong bis dan bergantung dibawah gagang pegangan. Sambil mencengkram pegangan tersebut, aku berusaha untuk mempertahankan keseimbanganku. Hal terakhir yang tidak ingin aku jumpai adalah tidak sengaja bertubrukan dengan seseorang dan dianggap sebagai penjahat kelamin.

Prediksiku lumayan meleset. Arus lalu lintas yang ditempuh oleh bis yang kutumpangi sedikit padat. Terjebak di lautan kendaraan roda empat yang berbaris di lampu merah, para pengemudi tersebut mudah tersulut emosi dan tidak mau mengalah. Mereka semua berebut jalan dan tidak segan untuk membunyikan klakson kepada orang-orang yang menghalangi jalan mereka.

Ketika aku sedang tenggelam dalam lamunanku, kondektur bis tersebut mengumumkan sebentar lagi kami akan segera sampai di halte berikutnya. Aku berdesakan menuju pintu keluar dan turun di depan Puskemas Ngaglik. Langit begitu cerah dan hujan reda sepenuhnya. Dengan hati-hati, aku memperhatikan langkahku untuk terhindar dari kubangan air yang tertimbun oleh hujan di sepanjang malam. Setelah berjalan kaki kurang lebih satu kilometer, aku akhirnya tiba di rumahnya dengan membawa segudang buah-buahan yang telah aku beli di pinggir jalan. Pir, pepaya, dan anggur yang berada di kantong kresek tersebut, dapat dipastikan kaya akan vitamin dan serat, mengandung kadar air yang tinggi, dan ringan untuk pencernaan. Bumi menyambut kedatanganku dengan selimut tebal yang dia kenakan di sekujur tubuhnya setelah aku mengetuk pintu cukup lama.

“Sedang apa kamu disini? Kamu mengganggu tidur siangku saja,” katanya sambil menggosok kedua matanya yang masih terpejam.

“Aku di sini atas permintaan kakakmu. Dia memintaku untuk menjagamu.”

“Apa itu yang ada di tanganmu? Kelihatannya enak. Kebetulan sekali aku belum makan apa-apa.”

Karena aku membawa buah bersamaku, Bumi mengizinkanku masuk dan menyuruhku duduk di ruang tamu yang berantakan dan kotor. Aku dapat melihat noda di sofa yang belum genap berusia enam bulan berada di sini dan meja ruang tamu yang dipenuhi mangkuk bekas makan yang masih menyisakan sedikit mie dan kuah yang menggenang, botol kaca vitamin C yang kosong, dan tisu-tisu bekas yang berserakan.

“Anggap saja seperti rumah sendiri. Jangan malu-malu.”

Bumi menghempaskan dirinya ke sofa dan membuka bungkus buah-buahan yang aku bawa. Dia mengambil pir dan langsung menggigitnya tanpa repot-repot untuk mencucinya terlebih dahulu. Dari pemandangan yang kulihat, sepertinya dia telah menjadikan ruang tamu sebagai kamar tidurnya.

“Kamu tidak seharusnya mengkonsumsi makanan cepat saji, terutama saat kamu sedang sakit,” ujarku.

“Sup hangat sangat baik untuk memulihkan tubuhku.”

“Tapi tidak dengan monosodium glutamat dan berbagai pengawet di dalamnya. Kapan kamu terakhir kali makan?”

“Kamu tidak lihat aku sedang apa?” ucapnya dengan mulut butiran anggur.

“Sebelum itu?”

“Sepertinya tadi malam.”

Gadis ini akan mati apabila dia hidup sendiri, pikirku sambil menghela nafas. Aku pergi ke dapur dan mengecek apakah ada sesuatu yang bisa dimasak di kulkas. Omurice tampaknya menjadi opsi yang bagus berdasarkan bahan yang tersedia. Aku mengambil dua paha ayam dan mengirisnya tipis. Sambil memanaskan mentega di wajan, aku menumis irisan daging dengan bawang bombay, kacang polong, dan nasi sisa dari rice cooker yang sudah mengering. Selanjutnya, aku memecahkan enam butir telur dan mengocoknya di dalam mangkuk hingga kuning dan putih telur tercampur merata. Aku menuangkan campuran telur itu ke wajar lain dan memanaskannya hingga setengah matang. Langkah terakhir adalah menaruh nasi ayam di tengah omelet yang melipat kedua sisi omelet mengelilingi isinya. Tak lupa aku menambahkan saus teriyaki dengan pola zig-zag di atasnya.

Aku kembali ke ruang tamu dengan dua piring omurice yang masih mengepul. Yang mengejutkanku, Bumi tidak sendirian. Seekor kucing kampung oren mengenakan kalung merah sedang tidur di pangkuannya. Aku menaruh hidangan itu di meja dan duduk di sebelahnya.

“Aku tidak tahu kalian memelihara kucing di sini. Kukira, selama ini kamu adalah orang yang lebih menyukai anjing ketimbang kucing,” kataku.

“Bulan lalu, dia masih berkeliaran di luar sana. Ia mengunjungi rumahku hampir setiap hari untuk tertidur di keset pintu depan sepanjang waktu. Ia tidak pernah mencuri makananku dan tidak pernah meninggal kotoran di pekarangan. Aku tidak pernah punya hewan peliharaan sebelumnya, dan aku memutuskan untuk mengangkatnya menjadi penjaga rumah ini. Namanya Brutal.”

“Brutal? Namanya sangat tidak mencerminkan wajah polosnya.”

“Jangan biarkan wajahnya menipumu. Ia adalah seorang pejuang sejati dari lubuk hatinya, seorang barbar. Ia akan mengejar kucing lain yang berani masuk ke teritorinya, melahap makannya seolah-olah tidak ada hari esok, dan tidak ada satu pun tikus yang lepas dari cengkramannya. Entah mengapa, ia tidak pernah menyentuh dan mencakar barang-barang kami. Kucing itu sangat cerdas! Hal ini membuatku jatuh cinta padanya setiap hari,” ujarnya sambil mengelus leher Brutal. “Dan mengenai anjing, aku sejujurnya membenci makhluk itu. Ketika aku masih berada di taman kanak-kanak, aku harus bejalan melewati anjing tetanggaku setiap pagi hari sebelum pergi ke sekolah dan sore hari saat pulang ke rumah. Anjing itu lebih besar dariku, dan ia akan menggonggong, menjulurkan lidahnya dan memperlihatkan taring tajamnya. Ibu meyakinkanku untuk tidak khawatir karena anjing itu hanya ingin bermain denganku, tapi tetap saja itu membuatku takut.

Alasan lainnya adalah mengurus anjing membutuhkan usaha yang ekstra. Kamu harus mengajak anjingmu jalan secara rutin supaya ia tidak stres. Aku bahkan tidak punya energi untuk pergi ke luar menjelajahi perumahan, dan sekarang aku harus melakukannya dengan seekor anjing. Yang benar saja! Mereka bilang anjing itu makhluk yang setia, tapi aku tidak peduli. Cerita Hachiko memang menyentuh, tapi itu tidak membuatku berubah pikiran. Jika aku mati sendirian di rumah ini tanpa ada yang mengubur mayatku, aku tidak masalah dimakan oleh Brutal dan keluar dari lubang pantatnya sebagai kotoran daripada ia mati kelaparan. Itu adalah hal yang natural, sebuah rantai makanan.”

“Cara yang aneh untuk menggambarkan kucing dan anjing.”

Aroma ayam dari makanan kami yang masih hangat sepertinya mencuri perhatian Brutal. Ia menoleh ke kanan dan tanpa ragu-ragu, ia melompat dari pangkuan Bumi dan duduk manis di sampingku.

“Ia menyukaimu.”

“Tidak, ia hanya meminta bagiannya.”

Kami menghabiskan omurice kami, telur yang lembut dan nasi yang gurih lenyap dalam sekejap. Bumi bilang aku adalah koki yang terampil, dan menambahkan bahwa aku ini orang yang serba bisa. Aku menyuapi Brutal dengan sisa daging dan tulang yang telah kusisihkan. Permukaan kasar lidahnya menjilati jari-jariku. Setelah puas dengan makan siangnya, Brutal berbaring di keset pintu rumah dan kembali tertidur. Bumi mengangkat piring kotor kami dan membantuku mencuci piring serta peralatan memasak. Aku mendapatkan panggilan masuk dari Restu. Dia menanyakan keadaan adik perempuannya. Aku bilang padanya bahwa semuanya baik-baik saja. Tanpa berbasa-basi, dia berterimakasih kepadaku dan mematikan telfonnya. Dia sepertinya masih sibuk dengan urusannya.

“Kakakmu bilang bahwa dia akan pulang minggu depan. Dia mengingatkanmu untuk menelan pil yang telah diresepkan oleh dokter, makan secukupnya, dan minum air putih yang banyak. Aku heran mengapa dia tidak memberitahumu secara langsung saja.”

“Aku tidak pernah mengangkat telponnya.”

“Kenapa? Seburuk apa pun itu, dia kan tetap saudaramu. Bukan seorang rentenir yang berusaha untuk menagih utangmu.”

“Aduh, hal ini susah sekali dijelaskan. Aku memang menyayanginya, tapi kamu tidak akan tahu rasanya memiliki seorang kakak laki-laki yang selalu memaksakan kehendaknya. Hal itu sangatlah menjengkelkan. Aku bukanlah putri kecilnya lagi.”

“Kamu ada benarnya. Omong-omong, aku harus menunda pertemuan kita minggu ini. Aku tidak akan berada di kota akhir pekan ini. Pastikan dirimu sudah benar-benar pulih ketika aku kembali,” ucapku sambil mengemasi barang-barang bawaanku dan bersiap untuk pulang.

“Memangnya kamu hendak pergi kemana?”

“Mengunjungi bibiku di Pati. Aku sedikit merindukannya.”

“Bolehkah aku ikut?”

Aku pura-pura tidak mendengar perkataannya.

“Aku ingin iku denganmu.”

“Tidak boleh. Tempatnya sangat jauh dari sini dan aku akan berangkat naik bis ke sana. Gadis manja sepertimu tidak akan menyukainya.”

“Kita bisa pergi ke sana dengan mobilku.”

“Aku tidak tertarik dengan tawaranmu.”

“Oh, ayolah, kali ini saja. Aku berjanji tidak akan menggangumu dengan sifatku yang menyebalkan. Aku akan menjadi gadis pintar dan duduk manisdi sebelahmu seperti anjing yang penurut,” katanya sambil memohon.

“Jawabannya akan tetap sama. Kamu sedang tidak enak badan dan aku tidak ingin membawa orang sakit bersamaku. Bibiku sudah cukup tua dan rentan untuk tertular.”

“Lihat diriku! Aku sudah sehat dan tubuhku kuat seperti binaragawan,” Bumi mengangkat kucingnya seolah-olah dia sedang mengangkat barbel. Brutal terlihat tidak peduli dan terus tertidur.

“Dengar..., aku tak ada masalah jika kamu ikut denganku. Tapi sudah cukup aku membuat saudaramu khawatir dan aku tidak ingin melakukannya lagi. Aku rasa kamu bisa mengerti situasiku.”

Bumi tidak berkata apa-apa. Dia menaruh Brutal di lantai dan mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja.

“Aku akan menelpon Kakak dan bilang padanya bahwa kamu mengajakku ke klub waktu itu.”

“Hei, jangan berusaha memutar balikkan fakta. Kamu yang membawaku ke sana.”

“Terserah saja. Kamu pikir, Kakak lebih mempercayai dirimu dibanding adik kesayangannya?”

Ponsel Bumi berdering, menunggu jawaban dari panggilannya.

“Baiklah, kamu menang. Cepat matikan ponsel itu,” pintaku. Aku tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginannya.

“Sampai jumpa besok pagi, peace!” katanya sambil mengacungkan dua jarinya dan pergi masuk ke kamar.

 

*

 

Mobil sedan biru terparkir di lahan kosong di sebelah kosku. Aku menyimpan tas ranselku di bagasi mobil tepat di samping koper dan gitar yang Bumi bawa. Ketika aku masuk ke dalam dan duduk di bangku pengemudi, semerbak aroma apel hijau memenuhi ruangan. Di sampingku, seorang perempuan cantik dengan sedikit sentuhan make up di wajahnya duduk dengan sabuk pengaman terpasang Dia mengenakan gaun biru tua dengan motif bunga melati, sepatu slip-on coklat, dan syal merah muda meliliti lehernya.

“Bisakah kita berhenti sejenak di minimarket? Aku lupa membeli sesuatu,” pintanya. Bumi mengoleskan lip balm di bibirnya.

“Tentu.”

Aku masih merasa gugup untuk berbicara. Bumi benar-benar ikut denganku dan aku tidak percaya bahwa aku akan membawanya pergi ke luar kota. Pikiranku melayang pada kemungkinan yang akan terjadi dan konsekuensi dari setiap tindakanku. Skenario ‘kalau saja’ yang tidak ada habisnya mengacaukan isi kepalaku. Mungkin aku berpikir terlalu jauh. Mungkin ini tidak akan seburuk yang aku kira. Aku harus tenang menghadapinya. Hikmah yang bisa diambil dari kejadian ini adalah aku bisa menghemat waktu perjalanan dan mengobrol dengan seseorang di sampingku.

Kami berhenti di depan minimarket. Bumi pergi keluar untuk berbelanja, sementara aku menunggu di dalam tanpa repot-repot mematikan mesinnya. Aku kembali berkhayal dan lamunanku seketika buyar saat Bumi membuka pintu mobil. Dia kembali dengan dua kantong kresek besar berisi puluhan makanan dan minuman. Dia mengeluarkan dua botol minuman yogurt rasa peach dari dalam plastik tersebut dan memberikan salah satunya kepadaku.

“Aku harus memastikan bahwa supirku menyetir dalam keadaan sehat,” katanya sambil menenggak minuman tersebut. “Bolehkah aku memutar lagu dari playlist Spotify-ku?”

“Lakukan saja apa yang kamu mau. Lagipula mobil ini kan milikmu.” jawabku.

Pengeras suara di mobil itu sedang memutar ‘Cintailah Cinta’, album studio keenam oleh Dewa. Bumi terlihat sangat senang dan bersemangat hari ini. Dia mulai bernyanyi dengan suara cemprengnya dan meniru permainan gitar Andra Ramadhan dengan jari-jarinya. Aku yang sedang menyetir di sampingnya tidak boleh sampai kehilangan fokus dan tetap berkonsentrasi pada jalanan. Hal ini mengingatkanku pada karyawisata di bangku sekolah.

Dulu, kapan pun aku dan siswa-siswi lainnya bertamasya mengunjungi museum atau tempat wisata, bis yang kami tumpangi akan memutar lagu-lagu Peterpan, Dewa, Padi, Sheila on 7, Radja, ST 12, dan banyak band besar lainnya yang sedang populer pada saat itu. Jika kami cukup beruntung, kami akan mendapatkan bis yang memiliki televisi putar di bagian depan mempertonton video musik dan lirik lagu terebut. Kami sebenarnya sudah hafal lagu-lagu tersebut tanpa perlu mencari liriknya di internet.

Mobil kami melintasi batas kota yang ditandai dengan gerbang melengkung dengan pesan selamat jalan. Hari itu cerah dan berawan. Kami bisa merasakan sinar matahari yang hangat melalui jendela mobil. Jalan utama yang kami lewati lama kelamaan menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok melalui perbukitan. Pepohonan hijau subuh berjajar di sepanjang jalan, dan jalan berliku itu memperlihatkan pemandangan lembah di bawah sana. Jalan semakin curam saat kami naik lebih tinggi ke perbukitan. Bumi menggangguku dengan pertanyaan-pertanyaan konyol seperti ‘di mana kita’, ‘apa itu’, ‘apakah kita sudah dekat’, ‘lihat itu’, ‘bukankah itu lucu’, dan masih banyak lagi.

“Kenapa sih kamu bersikeras untuk ikut?” tanyaku menginterupsi sesi karaokenya.

“Tunggu sampai lagunya selesai,” jawabnya sambil bernyanyi.

“Maaf.”

Bumi akhirnya menyanyikan bait terakhir di lagu ‘Air Mata’ dan lagu tersebut berakhir dengan outro yang melankolis.

“Apa tadi yang kamu tanyakan? Aku terlalu asyik bernyanyi sampai lupa,” ujarnya kehabisan nafas karena telah bernyanyi non-stop selama hampir satu jam penuh.

Lihat selengkapnya