Restu Bumi

Rayhan Khalid
Chapter #5

5

Getaran ponsel membangunkanku. Aku ingin sekali mengabaikannya, tapi rasa penasaran mengalahkan rasa kantukku. Lexi menelepon pagi-pagi sekali. Jam menunjukkan pukul empat di ponselku dan aku menjawab panggilannya. Menyadari suara parauku yang terdengar begitu ketara, dia meminta maaf karena telah mengganggu tidurku. Nada suaranya tidak mengindikasikan bahwa dia menyesali perbuatannya, tapi aku juga tidak terlalu peduli karena sebentar lagi alarm yang aku setel akan berbunyi kurang lebih lima belas menit lagi.

“Apakah kamu sibuk malam ini?” tanyanya.

“Aku tidak tahu.”

“Kau tidak tahu?”

“Iya.”

“Aku ingin kamu datang menontonku.”

Lexi mengajakku untuk bertemu di salah satu kafe yang terletak dengan pusat kota. Aku sebenarnya ingin menolak ajakannya karena aku berencana untuk membaca buku sepanjang malam, tetapi ketika dia bilang bahwa dirinya akan tampil aku tidak ingin menyayangkan kesempatan ini dan langsung menyetujui ajakannya.

Hari ini, aku menghadiri tiga mata kuliah yang berbeda secara berturut-turut dari pagi hingga siang menjelang. Jadwal kelasku di semester tiga ini sangat berantakan dikarenakan aku terlambat untuk berburu di kelas di masa KRS, jadi aku hanya mengambil sisa kelas yang tersisa.

Aku tidak terlalu memperhatikan apa yang dipaparkan oleh dosenku, tapi aku tetap mencatat materi yang kuanggap penting. Mau tidak mau, aku harus setidaknya mengerti konsep dasar dari pelajaran yang akan diujikan. Itu adalah sebuah keharusan untuk mengejar ketertinggalan.

Setelah lebih dari satu tahun berkuliah di sini, aku menyadari bahwa setiap mata kuliah yang aku ambil berkesinambungan dengan apa yang akan aku pelajari di semester di depan. Jadi, apabila aku gagal lulus mata kuliah tersebut karena tidak memahami apa-apa, ini akan sangat menghambat perjalananku ke depannya. Tumpukan domino adalah sebuah analogi yang paling mendekati dengan keadaanku saat ini, di mana ketika salah satu balok persegi gagal untuk mempertahankan posisinya, maka ia akan menjatuhkan balok-balok lainnya.

Aku selalu meyakinkan diriku sendiri bahwa perkuliahan adalah suatu bentuk latihan yang harus aku lakukan untuk mengisi waktu kosongku. Pada hakikatnya, kita semua berusaha terhindar dari rasa bosan dengan cara mencari distraksi. Di dunia yang berjalan begitu cepat dengan informasi yang tidak terbatas, kita dengan mudah tenggelam dalam kesibukan dan rutinitas yang tak berujung, mencoba menemukan sesuatu yang menarik perhatian kita.

Setelah memastikan lokasinya sama dengan diberitahu oleh Lexi, aku masuk ke dalam sebuah kafe bergaya industrial dengan dinding bata terbuka dan furnitur logam. Dia sudah berada di depan menyanyikan lagu blues ketika aku tiba. Lampu panggung menyinarinya dan seluruh mata tertuju padanya. Aku mengecek jam tanganku dan waktu menunjukkan pukul sembilan sesuai perjanjian kami. Aku langsung duduk di pojok ruangan bersebelahan dengan jendela besar untuk menyaksikan pertunjukkannya. Seorang pelayan menghampiriku dan aku memesan segelas susu dingin karena aku merasa sangat haus.

Malam ini, Lexi berdandan seratus delapan puluh derajat dari tampilan seperti biasanya. Rambutnya disanggul ke atas dan dia mengenakan gaun kuning bergaya lima puluhan. Aku tidak menyangka dia bisa bernyanyi seriosa, seperti halnya wanita pemeran utama di pertunjukan opera sabun. Setelah menyanyikan lima lagu lagi, dia akhirnya pamit undur diri dan penonton menyorakinya dengan tepuk tangan.

Setelah melepas riasannya, Lexi menghampiriku mejaku yang dibersihkan.

“Bagaimana penampilanku tadi?” tanyanya sambil mengipasi wajahnya yang sedikit berkeringat. “Aku harap kamu terhibur dengan suaraku yang tak seberapa.”

“Jangan merendahkan dirimu seperti ini. Kamu baru saja bernyanyi di depan sana sebagai seorang diva.”

“Terima kasih atas pujianmu yang berlebihan.”

“Aku hanya berkata sejujurnya.”

“Kamu sudah makan?”

“Sudah.”

“Kalau begitu makan sekali lagi.”

“Aku sedang berhemat. Makan dua kali sehari sudah cukup untukku.”

“Aku tidak akan membiarkan pria tampan sepertimu kelaparan. Kamu ini masih sedang dalam masa pertumbuhan. Pesanlah sesuatu, aku yang mentraktir.”

Aku enggan melawannya dan memesan nasi ayam katsu. Lexi memesan menu yang sama.

“Aku sedikit merindukan tampil di atas panggung dengan dandanan goth-ku.” katanya sambil menjentikkan jarinya. “Sayang sekali band yang kubentuk harus bubar begitu saja,”

“Kamu bisa membangunnya lagi dari awal. Aku akan membantumu”

“Aku sedang tidak ada waktu untuk mengurusi semua itu.”

“Memangnya apa kesibukanmu sekarang?”

“Mencari pekerjaan.”

Pelayan datang dan membawakan pesanan kami; dua nasi ayam katsu dan dua gelas es teh. Kami langsung menyantap makanan kami yang masih hangat sebelum menjadi dingin karena AC yang berhembus kencang tepat di atas kami. Makananku habis dalam sekejap, sementara Lexi masih bersusah payah mengunyah sesuap nasi, meninggalkan piringnya yang tampak hampir belum disentuh sama sekali.

“Habiskan saja punyaku. Remaja seusiamu butuh banyak asupan karbohidrat dan protein,” kata Lexi.

Aku mengambil piring miliknya dan menghabiskannya dalam sekejap, sama seperti piringku yang pertama. Porsi yang disuguhkan di restoran ini hanya separuh dari warmindo tempat aku biasa memesan, jadi aku sebenarnya hanya makan sekitar satu porsi pada umumnya.

“Aku suka sekali anak muda. Nafsu mereka begitu besar,” ujar Lexi.

Lexi kembali memanggil pelayan yang lewat dan memesan dua koktail untuk kami.

“Aku tidak tahu mereka menjual alkohol di sini,” ujarku.

“Keren, kan? Mereka berubah menjadi bar dan berganti menu setelah lewat pukul sepuluh dan hanya beberapa orang yang mengetahuinya. Cara yang cerdik untuk mengakali perizininan minuman beralkohol yang merepotkan.”

“Iya, keren,” kataku setuju. “Omong-omong, apa yang terjadi dengan pekerjaan lamamu?”

“Aku dan Kalya telah mengundurkan diri beberapa hari yang lalu. Polisi datang ke kantor kami dan menangkap beberapa petinggi kantor. Bisa kamu bayangkan hal itu terjadi?”

“Sedikit.”

Minuman yang kami pesan datang. Lexi mencicipi sedikit isinya dan memakan irisan stroberi yang menempel di ujung gelas koktail sebagai hiasan.

“Kasus apa yang menimpa perusahaanmu?” tanyaku.

“Pemalsuan dokumen dan penggelapan pajak. Memangnya apalagi?” jelasnya.

”Aku tidak familier dengan segala hal yang berhubungan dengan politik dan ekonomi.”

“Kebetulan sekali, kamu berurusan dengan orang yang tepat. Aku ini lulusan sarjana ekonomi.”

“Benarkah?”

“Astaga, kamu masih tidak percaya? Jangan pernah menilai seseorang hanya dari luarnya saja.”

“Siapa yang bilang kalau aku tidak percaya padamu? Aku hanya takjub.”

“Takjub karena seseorang yang berpenampilan goth ini cukup pintar untuk berhitung? Mungkin lain kali aku harus mengenakan kemeja biru langit, rok hitam pendek, dan sepatu hak tinggi serta membawa setumpuk kertas kemanapun aku pergi agar terlihat seperti seorang akuntan.”

“Bukan itu maksudku. Aku hanya tidak tahu banyak tentangmu. Aku bahkan tidak tahu umurmu,” kataku membela diri.

Lexi cekikikan melihat diriku yang berusaha meluruskan kesalahpahaman yang terjadi. “Baik, baik, aku hanya bermain-main denganmu. Tapi apa yang kukatakan bukanlah sebuah kebohongan.”

“Aku penasaran bagaimana mereka melakukannya, dan apakah itu sulit untuk dilakukan?”

“Dengarkan baik-baik, aku akan menjelaskannya kepadamu dengan kalimat sederhana. Semakin banyak keuntungan yang perusahaanmu dapatkan, maka semakin besar pajak yang harus dibayar. Sebagai orang serakah, yang ingin mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya dan kerugian yang serendah-rendahnya, kira-kira apa yang akan kamu lakukan?”

“Mencurangi laporan keuangan?”

“Tepat sekali. Mereka akan menyulap laporan tersebut seolah-olah perusahaan mereka mendapatkan keuntungan dengan margin yang sangat kecil.”

“Tapi, bukankah hal itu mustahil dilakukan tanpa bukti pendapatan dan pengeluaran?”

“Pertanyaan bagus. Untuk menutupi kebohongan yang mereka buat, perusahaan akan mengiklankan berbagai macam lowongan pekerjaan dengan menyertakan lampiran data pribadi pelamar. Lalu, mereka akan menggunakan data-data tersebut sebagai pekerja lepas yang diberi upah harian. Padahal, kenyataannya mereka tidak pernah bekerja di perusahaan.

Bayangkan, jika satu orang bisa menambahkan beban pengeluaran satu juta rupiah pada arus kas, bagaimana kalau laporan itu menyebutkan ada seribu pekerja lepas?”

“Satu miliar rupiah.”

“Hal itu terdengar sebagai ide yang fantastis, bukan? Tapi sayangnya kejahatan yang mereka lakukan bukanlah hal yang baru dan sudah terjadi sejak dahulu kala. Tidak heran jika jejak mereka mudah terendus dan mereka cepat tertangkap.”

“Padahal, tanpa melakukan itu, hidup mereka akan baik-baik saja.”

“Manusia sering tidak menyadari betapa berharganya sesuatu sampai dia akhirnya kehilangan apa yang dimilikinya.”

Aku berusaha mencerna kata-kata yang baru saja dia katakan.

“Bagaimana denganmu? Kamu sedang sibuk apa akhir-akhir ini?”

“Seperti biasa, menjalani perkuliahan dan bekerja paruh waktu.” balasku.

“Selain itu?”

Aku diam sejenak. Bumi muncul di dalam bayanganku, seorang wanita yang merupakan adik dari sahabatku sendiri. Aku terus memikirkannya semenjak petualangan kecil kami ke Pati.

“Kamu sedang jatuh cinta ya?” tanyanya.

Aku sedikit kaget mendengar pertanyaannya yang tiba-tiba. “Kenapa kamu tiba-tiba menyimpulkan seperti itu?”

“Aku hanya menebak saja, tapi dari tingkah lakumu, sepertinya asumsiku tepat sasaran.”

“Tidak, kamu salah sangka. Dia hanya salah satu adik dari temanku saja. Kami tidak terlalu begitu dekat.”

“Mencintai seseorang kan tidak harus dekat terlebih dahulu.”

“Witing tresno jalaran soko kulino. Bukankah itu ungkapan yang mereka pegang di sini?”

“Kamu ini pandai sekali mencari-cari alasan. Apa sih yang membuatmu ragu?”

“Aku tidak ragu, hanya saja aku belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta, apalagi terlibat di dalam sebuah hubungan. Lagipula, wanita itu sudah bertunangan dengan seseorang.”

“Cinta terlarang, ya? Apa yang kamu alami ini memang terasa menarik.”

“Sudah kubilang aku tidak menginginkan apa-apa darinya.”

“Berhenti menolak perasaanmu sendiri, karena pada akhirnya kamu akan menyesali perbuatanmu. Soalnya, aku pernah mengalaminya.”

“Kalau begitu, aku lebih memilih untuk tidak berhubungan dengan wanita saja.”

“Tidak semudah itu, memangnya aku terlihat seperti orang yang mudah membuka hati kepada orang lain? Kamu tidak akan menyadarinya, sampai suatu hari kamu terbangun, orang pertama yang muncul di pikiranmu adalah dirinya. Kamu akan menunggu kedatangannya, menantikan pesannya, dan semua yang kamu lakukan akan terhubung dengannya. Ketika dia tidak ada di sisimu, kamu akan merasa kehilangan sesuatu, seolah-olah ada bagian dirimu yang hilang. Hati yang awalnya tertutup rapat, perlahan-lahan akan terbuka, mengungkapkan betapa dalamnya perasaanmu yang sebenarnya. Tunggu sebentar, aku harus pergi ke belakang.”

Lexi mendorong kursinya ke belakang, bangkit dari kursinya, merapikan ujung gaunnya yang kusut, dan menatap sekeliling ruangan sebelum akhirnya dia pergi ke toilet.

Aku menatap ke luar jendela, melihat kendaraan berlalu lalang dari dua arah yang berbeda, seekor kucing abu-abu sedang mengais-ngais timbunan sampah yang jatuh berserakan, bangkai tikus yang terlindas mobil, dan sepasang kekasih sedang bergandengan tangan, menikmati kebersamaan mereka dengan penuh kehangatan. Dunia seolah-olah hanya milik mereka berdua saja, seperti Adam dan Hawa yang bertemu kembali setelah terpisah selama ratusan tahun lamanya.

Lalu aku teringat kedua orang tuaku yang sempat hidup bersama tanpa mencintai satu sama lain. Bukankah mereka semulanya saling mencintai sehingga aku bisa menghembuskan nafas di dunia yang kejam ini? Kalau seseorang bisa mencintai tanpa alasan, apakah itu berarti meninggalkan mereka dengan alasan yang sama?

Lihat selengkapnya