Restu Bumi

Rayhan Khalid
Chapter #6

6

Setelah menghabiskan waktu liburan yang panjang di rumah bibi, aku akhirnya kembali ke kota Jogjakarta untuk memulai semester keempat. Sama seperti semester-semester sebelumnya, tidak ada yang berubah banyak ketika aku kembali ke sini. Jalan protokol yang ramai oleh dengan kendaraan plat B, masyarakat lokal yang ramah, harga makanan yang murah, gaji yang rendah, dan perasaan damai yang sulit aku rasakan di tempat lain.

Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya dan langsung bergegas mandi. Kenta dan Kalya akan melaksanakan pernikahan di Kantor Urusan Agama dan mengadakan pesta kecil-kecilan di rumah Lexi hari ini. Setelah berpenampilan layak dengan kemeja batik, celana bahan hitam, dan sepatu pantofel coklat, aku tinggal menunggu kedatangan Bumi untuk menjemputku.

Mobil sedan milik Bumi akhirnya dengan kedua lampu depannya yang membelah kegelapan fajar. Aku menyuruhnya berputar balik sehingga dia tidak perlu memarkirkan mobilnya dan kami bisa langsung berangkat.

“Restu tidak ikut?” tanyaku setelah beranjak masuk ke dalam mobil.

“Entahlah. Dia sudah pergi saat aku terbangun. Mungkin dia akan menyusul.”

Aku kemudian tersadar bahwa Bumi telah memangkas rambutnya setelah dia menyalakan lampu mobil. Tidak ada sehelai rambut pun yang melebihi garis rahangnya.

“Aku suka rambut barumu,” komentarku.

“Benarkah?” tutur Bumi sambil menyisir rambut di atas telinganya. Dia kemudian berkaca sebentar di spion dalam. “Aku sebenarnya ingin menutup dengan topi baret, tapi sepertinya itu tidak akan banyak merubah.”

“Sungguh, aku tidak berbohong. Aku bersumpah atas rambutmu yang sudah hilang entah ke mana.”

Bumi cekikikan mendengarnya. Dia tidak pernah menutup mulutnya saat tertawa, jadi aku bisa melihat gurat senyum manis di wajahnya. “Jangan membicarakan mereka. Biarkan mereka mati dengan tenang. Sebenarnya, aku tidak mau mengguntingnya kalau tidak terpaksa. Tapi, apa boleh buat. Ini gara-gara aku terlalu sering mewarnai rambutku, jadinya rambutku mudah rontok dan bercabang. Saking tidak sehatnya, ketika aku selesai mandi, lubang pembuangan air akan tersumbat olehnya.

Pertama kali aku melihat diriku di cermin, rasanya aku ini seperti ditelanjangi! Aku merasa seolah-olah mereka yang melihatku bisa mengetahui apa yang aku berusaha sembunyikan di tubuh kecilku ini hanya karena bagian leherku terekspos begitu saja. Teman-temanku juga bilang potongan ini tidak cocok dengan pribadiku yang feminim. Aku tidak masalah kalau mereka bilang potongan rambutku menghina rambutku jelek atau seperti polwan, tapi aku sesali adalah mereka mengaitkan hal ini dengan feminim ini dan feminim itu. Memangnya kalau wanita feminim harus selalu dikaitkan dengan rambut panjang ya? Kalau begitu bagaimana dengan pria-pria gondrong yang berkeliaran di fakultas ilmu budaya? Dulu, di Orde Baru, dilarang gondrong, sekarang potong pendek pun salah di mata mereka. Aneh sekali negeriku yang tercinta ini.”

“Ceritamu mengingatkanku pada kisah sepasang suami istri dan seekor keledai.”

“Tunggu, sepertinya aku pernah mendengarnya, tapi aku lupa. Coba ceritakan,” pinta Bumi.

“Jadi, dulu ada sepasang suami istri yang sangat miskin. Alih-alih menggunakan unta, mereka hanya seekor keledai kurus untuk digunakan mengangkut barang-barang mereka untuk berjualan di pasar. Suatu hari ketika mereka sedang melintas di desa sebelah menaiki keledai mereka, orang-orang memandang mereka dengan sinis. Salah satu warga mencemooh mereka dan berkata, ‘Kalian ini tidak punya hati nurani ya? Keledai kalian itu terlalu lemah untuk mengangkut barang yang segitu banyaknya. Karena merasa malu, sang suami berinisiatif untuk turun dan menuntun istri dan keledainya.

Memasuki desa yang lain, warga di sana berbisik-bisik dan mengamati mereka. Berbeda dengan warga sebelumnya, kini, mereka berkomentar, ‘Dasar istri durhaka, tak tahu cara menghargai suami!’. Kebingungan, istri yang tidak tega melihat suaminya berjalan, akhirnya memutuskan untuk berjalan bersama sambil menuntun keledai milik mereka.

Sesampainya di pasar, pedagang-pedagang di sana tertawa menyambut kedatangan mereka. Mereka meyindir, ‘Betapa bodohnya kalian berjalan kaki sementara keledai kalian bersantai ria.’ Akhirnya, setelah selesai berjualan dan bersiap pulang, mereka tersadar akan suatu hal. Dan itulah jawaban atas permasalahan yang sedang kamu hadapi.”

“Apa pun yang mereka lakukan, mereka tidak akan bisa memuaskan semua orang akan selalu salah di mata mereka. Mereka merasa lega karena tidak harus ambil pusing pendapat orang lain,” kata Bumi menambahkan. “Terima kasih, ya. Mendengar ceritamu aku menjadi sedikit lebih percaya diri.”

Jalanan masih terlihat sepi. Di sepanjang jalan, kami melewati beberapa orang yang sedang berlari pagi dan petugas kebersihan yang sedang menyapu daun-daun yang berhamburan di jalanan. Kami hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk sampai ke rumah Lexi yang biasanya memakan waktu dua kali lipat. Lexi membukakan gerbang rumahnya dan Bumi menempatkan mobilnya di halaman rumah.

“Syukurlah, kalian datang pagi. Aku takut kalian masih tertidur pulas, karena itu yang barusan kulakukan.” kata Lexi sambil mengucek-nguncek matanya dan menguap sedikit.

 “Aku cukup beruntung untuk jatuh tertidur awal semalam,” kata Bumi.

“Masuklah, jangan malu-malu,” ujar Lexi sambil masuk ke dalam terlebih dahulu. “Di luar sana masih dingin sekali. Kalau aku tidak mandi, tidak apa-apa ya? Aku ini orangnya tidak tahan dingin.”

“Kira-kira jam berapa mereka akan sampai di sini?” tanya Bumi.

“Akad mereka dijadwalkan pukul delapan pagi, jadi kalau semua berjalan lancar, paling lambat mereka akan tiba di rumahku pukul sembilan,” jawab Lexi.

“Kita masih punya waktu sekitar tiga jam untuk bersiap. Semua bahan makanan sudah dibeli kan, Bumi?” tanya Lexi.

“Tentu saja,” jawab Bumi. “Rakha, bisa minta tolong ambilkan plastik yang ada di mobil? Aku lupa menurunkannya.”

Aku lekas mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja tamu. Sepertinya, kami hari ini akan memasak berbagai macam makanan melihat empat kantong plastik yang penuh dengan sayur dan daging yang tergeletak di kursi belakang. Bumi dan Lexi berinisiatif membantuku yang terlihat kerepotan membawa kantong-kantong kresek tersebut ke dapur. Kami membuka isi dari kantong tersebut dan langsung bersiap untuk memasak. Untuk menghemat waktu, kami membagi tugas dalam mengolah bahan makanan. Aku bertanggung jawab atas daging, Bumi memotong sayuran dan Lexi berurusan dengan kompor.

Kami sempat beberapa kali mengalami miskomunikasi, seperti ketika Lexi sudah menyiapkan rebusan air untuk daging, tetapi dagingnya belum selesai kupotong, atau sayur Bumi yang diiris terlalu tipis sehingga mudah hancur ketika dicemplungkan ke dalam air panas. Beberapa kali juga kami tak sengaja menabrak satu sama lain karena ukuran dapur yang sangat sempit, tapi tidak ada kecelakaan serius yang menghambat pekerjaan kami. Setelah kurang lebih memasak selama dua jam, semua hidangan akhirnya sudah siap disajikan saat pengantin baru tiba nanti. Aku tinggal mencuci beberapa piring lagi, menempatkan alat makan seperti garpu dan sendok di meja, dan akhirnya bergabung dengan Bumi dan Lexi di ruang tamu.

“Belum ada kabar dari Restu?” tanya Lexi.

“Ponselnya tidak bisa dihubungi. Mungkin dia sedang sibuk di kampus,” jawab Bumi.

Wajar saja, ini adalah hari selasa dan seharusnya aku dan Bumi berada di kelas, tapi kami rela untuk bolos demi menghadiri acara ini. Restu sepertinya punya prioritas lain daripada hanya sekedar datang ke acara pernikahan orang yang tidak terlalu dikenalnya.

Sambil menunggu kedatangan mereka, kami berbasa-basi untuk mengisi waktu. Karena mereka adalah wanita, dan wanita punya obrolan yang tidak bisa dimengerti oleh pria, jadi aku membiarkan mereka berdua berbicara panjang lebar tanpa merasa perlu untuk ikut campur. Aku rasa ini bukan hanya soal karena mereka sama-sama wanita jadi mereka bisa dekat, tapi Lexi yang delapan tahun lebih tua dariku pasti tahu cara membuat orang lain merasa nyaman. Aku menceritakan pada Lexi bahwa Bumi sempat belajar gitar denganku dan dia adalah murid yang cepat menangkap sesuatu. Muka Bumi sedikit memerah dan mengelak pernyataanku, dan bilang bahwa dirinya belum terlalu mahir dan masih perlu untuk mendalami lebih lanjut.

Akhirnya pengantin yang ditunggu-tunggu telah tiba. Kenta mengenakan setelan jas yang waktu itu dia pakai ketika pertama kali berkencan dan Kayla terbalut dalam gaun putih lapis yang begitu indah. Mereka turun dari motor Vespa tua dan segera menghampiri kami sembari memamerkan buku nikah mereka yang berwarna coklat dan hijau tua. Aku, Bumi, dan Lexi memberikan mereka selamat kepada mereka. Di antara kami, terlihat bahwa Lexi lah yang paling emosional. Matanya berbinar, dan senyumnya tampak lebar melepaskan kebahagiaan yang tersimpan di dalamnya. Dia memeluk Kalya erat-erat, seolah-olah mengucapkan selamat bukan hanya karena pernikahan mereka, tetapi juga karena perjalanan panjang yang telah mereka lalui dan babak baru dalam hidup Kalya yang akan datang. Mereka berdua memang terlihat seperti kakak beradik tanpa hubungan darah.

“Ayo kita berfoto!” ujar Kalya.

Lexi mengambil tripod dari dalam rumah dan kami berbaris di pelataran rumah. Kenta mengatur posisi kami; aku berdiri di atas dua anak tangga diapit oleh Bumi dan Lexi, sementara Kalya dibawah menyisakan satu spot kosong untuk Kenta. Setelah memastikan kami semua masuk ke dalam frame, Kenta memijit tombol kamera yang akan mengabadikan potret kami dalam lima detik, dan segera bergabung dengan kami.

Puas dengan beberapa pose, kami lekas pergi ke dalam rumah. Di atas meja makan, terdapat sup iga, semur daging, sayur sop, dan beberapa jajanan pasar tergeletak yang menanti disantap oleh kami.

“Wah, ini kelihatan enak sekali! Aku jadi merasa tidak enak karena merepotkan kalian.” kata Kenta. Dia menarik kursi dan duduk, meraih semua makanan yang bisa dijangkaunya, dan menempatkannya di piring hingga penuh dan menggunung. Ketika dia hendak memasukkan sendok ke dalam mulutnya, istri barunya menjewer telinganya.

“Bersikaplah seperti orang dewasa dan hargai orang yang memasak untuk kita. Tak bisakah kamu sedikit sabar menunggu mereka dan makan bersama-sama?” ujar Kalya dengan ketus.

“Iya, Mi, iya... Namanya juga lupa. Papi sangat lapar karena belum makan dari tadi pagi,” jawab Kenta.

Aku tertawa kecil mendengar mereka memanggil satu sama lain dengan sebutan papi dan mami.

“Begitu juga dengan yang lainnya. Sekarang, cuci tanganmu terlebih dahulu, baru kembali lagi ke sini,” perintah Kalya.

Kenta bangkit dari kursinya sambil menggerutu. Setelah semua duduk dan mengambil makanan di piring, aku disuruh memimpin doa sebelum akhirnya kami menyantap hidangan di depan yang menggiurkan. Karena terlalu lama memasak dan mencium bau daging tadi pagi, selera makanku jadi hilang dan makan lebih sedikit dari biasanya. Aku rasa ini tidak hanya berlaku untukku, tetapi juga bagi Bumi dan Lexi.

Kenta melahap makanannya tanpa henti seperti kereta. Dia terus menerus menambah porsi makannya sebelum akhirnya menyerah usai menghabiskan empat piring penuh. Selesai makan, aku segera mengangkat piring kotor ke belakang dan langsung mencucinya sebelum akhirnya sisa makanan itu menempel dan menjadi noda membandel. Bumi dan Lexi turut membantu mengeringkan alat makan dan meletakkannya di lemari dapur.

“Biar aku saja yang melakukannya,” kata Kalya menawarkan bantuan.

“Tidak usah repot-repot, ini adalah hari spesialmu dan kamu jangan memikirkan hal sepele seperti ini. Tunggu saja bersama suamimu di ruang tamu, kami akan segera kesana,” ujar Lexi.

“Baiklah kalau itu maumu.”

Setelah semua beres, kami berlima akhirnya berkumpul di ruang tamu. Karena hanya ada sepasang kursi sofa yang hanya muat untuk tiga orang, aku dan Bumi menarik kursi meja makan ke depan.

“Terimakasih ya, sudah datang dan menyuguhkan hidangan yang enak. Kalian adalah yang terbaik,” kata Kalya sambil mengacungkan dua jempol ke arah kami bertiga.

“Iya, makanan kalian enak sekali, sungguh,” kata Kenta sambil bersendawa.

“Tidak perlu diperjelas lagi Kenta, semua orang juga tahu berapa piring yang kamu habiskan,” ucap Kalya.

Kami berlima bergelak bersama.

“Bagaimana prosesi kalian? Semuanya berjalan lancar, kan?” tanya Lexi.

“Puji Tuhan, hanya sedikit kendala,” jawab Kalya.

“Apa kendalanya?” tanya Lexi.

Kalya langsung menyenggol lengan Kenta. “Pi, jelaskan kepada mereka kebodohan apa yang kamu lakukan.”

“Serius, Mi?”

“Iya, serius. Soalnya kalau tadi kamu salah satu kali lagi saja, maka kita di sini tidak akan merayakan apa-apa,” kata Kalya. “Padahal, tinggal baca saja apa susahnya sih?”

“Aku gugup sekali tadi!” kata Kenta membela diri. “Melafalkan kalimat sakral tersebut dalam satu tarikan napas tanpa jeda tidak semudah yang dibayangkan.”

Tanpa Kenta menjelaskannya pun aku sudah menangkap apa yang dimaksud Kalya. Pasti, teman bodohku yang satu itu terbata-bata sangat mengucapkan ijab kabul di depan penghulu. Konon katanya, kalau sampai tiga kali gagal mengulang, pernikahan bisa saja tidak sah dan dibatalkan.

Saat kami sedang asyik mengobrol, aku menyadari ada sesuatu yang kurang. Aku mencoba untuk menerka-nerka apa yang salah di mataku. Bukan Restu yang kumaksud, karena dia beberapa kali melewatkan pertemuan kami berlima. Mataku menoleh ke Bumi, dan aku mendapatan jawabannya. Ya, perempuan itu tidak banyak bicara hari ini, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Sesuatu pasti mengusik isi kepalanya.

“Apa alasan yang membuat kalian yakin untuk menikah?” tanya Bumi. Hal ini membuatku terbangun dari lamunanku.

“Oh, itu. Aku jadi malu mengatakannya,” ucap Kalya sambil menutup mulut dengan tangannya. “Aku sebelumnya tidak pernah memikirkan hal ini, sampai hari di mana Kenta melamarku. Aku bilang padanya waktu itu memberiku setidaknya satu minggu untuk memikirkannya. Di hari ketiga, dia menghampiriku dengan seikat bunga untuk meyakinkanku, dan aku akhirnya setuju.”

Aku menatap Kenta dan menggelengkan kepalaku. Kenta hanya membalas dengan senyuman. Masih teringat jelas di kepalaku pada saat itu Kenta meminta tolong padaku untuk menemaninya mencari bunga. Dia bilang dirinya membutuhkannya untuk menjenguk bosnya, dan aku heran diriku bisa semudah itu termakan bualannya.

“Kalau ditanya apa yang membuat kami yakin, jawabannya mudah saja, itu karena kami saling mencintai. Kami tahu bahwa kami tidak bisa hidup tanpa satu sama lain. Entah nanti kami bisa membeli rumah dan mobil atau punya anak, itu urusan belakangan. Tidak ada yang tidak bisa dilakukan dengan kekuatan cinta,”

“Kisah kalian membuatku benar-benar iri. Seandainya saja aku bisa seperti kalian,” ujar Bumi dengan nada sarkastis yang terselubung.

“Jodoh ada di tangan tuhan, jadi kamu tidak perlu khawatir Bumi. Siapa tau, jodoh kamu ada di ruangan ini.” balas Kalya dengan nada menggoda.

Sayangnya, di ruangan ini, yang mengetahui bahwa Bumi telah dijodohkan oleh orang tuanya hanya aku dan Lexi. Jadi aku hanya diam saja dan tidak merespon.

“Jadi, apa rencana kalian setelah ini? Mau jalan-jalan atau bulan madu?” tanya Lexi memecah keheningan.

“Sebenarnya, kami berdua berencana untuk pindah dari sini,” kata Kalya.

“Oh, ya? Ke mana?” tanya Lexi.

“Kenta baru saja diterima di salah satu perusahaan IT di Jakarta Barat, jadi kami sementara ini kami berencana untuk mengontrak. Suami kakakku kebetulan punya kenalan yang sedang menyewakan rumahnya di sekitar situ, jadi aku tinggal mencari pekerjaan setibanya di sana.”

“Kapan rencananya kalian akan menetap di tempat baru?” tanyaku.

“Minggu depan... Aku merencanakan semua perayaan ini sekaligus sebagai bentuk perpisahan dengan kalian semua. Bumi, aku tau kita baru hanya kenal sebentar, tapi aku harap suatu hari nanti kita bisa mengenal lebih baik. Kamu adalah orang yang baik, dan suatu saat kamu juga akan menemukan kebahagiaanmu.”

“Terima kasih, kamu juga sehat-sehat di sana,” balas Bumi.

“Rakha, aku minta tolong jaga Lexi ya?”

“Pasti,” jawabku.

“Lexi...”

Lexi kemudian memegang erat tangan Kalya.

“Maaf tidak memberitahumu sebelumnya. Kalau aku bilang padamu sebelumnya, pasti aku tidak akan mau jauh-jauh darimu. Kamu adalah teman terbaik yang pernah kukenal. Aku harap kamu baik-baik saja di sini. Aku tidak akan pernah melupakanmu.”

Lexi hanya menggangguk sebagai jawaban.

Akibat pengumuman yang mendadak tersebut, suasana di ruangan menjadi haru. Kalya tidak bisa menahan tangisnya, sementara Kenta dan Lexi berusaha menenangkannya.

Adzan Ashar berkumandang di kejauhan, dan kemudian masjid-masjid yang terletak dekat dengan rumah kami pun melakukan hal yang sama. Aku dan Bumi akhirnya berpamitan pulang untuk beristirahat setelah berada di sana cukup lama. Selama di mobil, Bumi hanya diam saja sambil melihat pemandangan dari jendela samping. Aku tidak berusaha untuk memulai percakapan karena suasananya juga sedang tidak mendukung. Ketika aku mau berbelok menuju gang tempatku tinggal, tiba-tiba Bumi bilang dirinya ingin diantarkan ke suatu tempat.

“Kita mau pergi ke mana?” tanyaku.

Dia memberikan ponselnya kepadaku. “Ikuti saja jalannya.”

Tempat itu berada di dalam perumahan. Aku tidak bertanya lebih lanjut apa yang ingin dia lakukan dan langsung menancap gas. Bumi kembali terdiam dan menatap ke jendela. Aku tidak yakin dia peduli dengan apa yang ada di luar sana dan hanya memikirkan sesuatu yang menganggu isi kepalanya. Aku memutuskan untuk memutar radio mobil untuk mengisi keheningan yang menimpa kami. Penyiar radio tersebut berbicara sebentar dengan rekannya membahas kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan sebelum akhirnya memutar lagu ‘Elastic Hearts’ karangan Reality Club.

Setelah melewati banyak pemukiman padat dan gang-gang sempit, kami akhirnya tiba di tanah lapang dengan pagar seng bergambar properti bangunan yang tetancap di sepanjang tepi jalan. Terdapat plang berukuran besar tertancap di tepi jalan bertuliskan ‘Tanah Milik PT. Karya Anak Bangsa’. Lahan kosong ini sepertinya masih dalam tahap perancangan sebelum nantinya akan dibangun perumahan.

Bumi membuka pintu dan keluar tanpa mengucapkan apa-apa. Hal ini sering terjadi, dan aku sama sekali tidak mempermasalahkannya. Dia, yang tampak familiar dengan tempat tersebut, mendorong salah satu pagar dan berhasil menginjakkan kaki ke dalam. Aku, yang melihat Bumi hilang dari pandangan, buru-buru menyusul agar tidak kehilangan jejaknya. Lobang yang dilewati Bumi ini sangat kecil, dan badanku tidak akan bisa masuk jika tidak kupaksakan. Ketika aku berhasil menyelinap di antara seng yang longgar, aku takjub dengan apa yang kulihat. Hamparan rumput hijau yang sangat luas terbentang. Di ujung sana terlihat sebuah sungai yang arusnya tenang dan langit sore terbuka lebar menganga di atasnya. Burung-burung mengepakkan sayapnya, terbang berkelompok membentuk pola segitiga di angkasa. Bumi berdiri di sana, membelakangiku, dan menatap ke kejauhan. Dia kemudian berjalan beberapa langkah, diam berhenti sejenak, menengok ke arahku sebentar untuk memastikan aku ada di sana, lalu melangkah kembali.

Aku memperhatikan tubuhnya dari belakang sambil berjalan mendekatinya. Rambut bobnya menggantung di sekitar lehernya, potongan gaun yang ia kenakan memperlihatkan tulang belikatnya yang menonjol, Dia menyibak gaunnya ke atas agar tidak mengotori ujungnya dengan tanah, dan aku baru saja tersadar bahwa dia berjalan tanpa menggunakan alas kaki.

Kami terus berjalan dan tiba di sebuah ayunan tua yang tergantung di pohon raksasa dengan kulit kambium tebal di tengah padang rumput yang tidak terawat. Bumi duduk di atasnya, kakinya terjuntai, tangannya berpegangan pada rantai pengait, dan matanya menatapku yang berdiri tidak jauh darinya.

“Kakimu memangnya tidak sakit menginjak kerikil kecil dan duri putri malu yang tajam?" tanyaku.

“Tentu sakit, tapi aku tidak secengeng itu untuk menangisi luka kecil di kakiku. Aku selalu menghindari putri malu. Kamu tahu kan, ketika ada yang menyentuhnya, dia akan menutup dirinya sebagai bentuk pertahanan. Aku mengerti perasaannya, makanya aku tidak ingin membuatnya takut dan menyakitinya. Lagipula, membiarkan rumput yang tajam itu menggelitik kakiku membuatku merasa hidup.”

Aku sebenarnya ingin bergurau bahwa dia pilih kasih dan tidak memikirkan nasib rumput liar, tapi aku tidak ingin merusak suasana hatinya yang sedang mendung. Jadi, aku ikut melepas sepatu dan merasakan rumput-rumput itu bersentuhan langsung dengan syaraf yang ada di telapak kakiku. Apa yang dikatakan Bumi benar, rasanya sangat nyaman.

Melihat Bumi yang kesusahan mengayun, aku lalu berjalan membelakanginya dan mendorongnya dengan lembut. Dia bergerak seperti pendulum dengan ritme yang teratur. Semerbak wangi tubuhnya tercium setiap tubuhnya terhempas ke arahku.

“Indah, kan?” tanyanya.

“Indah sekali,” jawabku.

“Sayang sekali, kita tidak bisa menikmati pemandangan meneduhkan seperti ini lebih lama lagi. Sebentar lagi, suara tawa anak-anak yang berlarian di tanah subur ini akan segera tergantikan dengan suara mesin perkakas dan alat berat, ruko-ruko akan berdiri simetris dengan desain arsitektur membosankan karena mereka ingin menekan biaya pembangunan dan tidak peduli dengan keindahan, lalu yang tersisa hanyalah suara percakapan orang-orang berdasi yang hanya memikirkan tentang uang, uang, dan uang.

Mereka bilang ini adalah bagian dari kemajuan peradaban. Kalau ada yang ingin dicapai, maka harus ada yang dikorbankan. Itulah kenyataannya, dan aku juga tidak menyalahkan siapa-siapa. Hal-hal seperti tidak terhindarkan, dan aku paham betul bahwa setiap generasi memiliki masalahnya masing-masing, Baby Boomers dengan inflasi dan perang dingin, Millenial dengan krisis moneternya, dan Gen Z dengan perubahan iklim dan kecerdasan buatan, tapi rasanya aku ini telat dilahirkan dan hidup di zaman yang salah. Dunia bergerak terlalu cepat untuk aku yang lamban ini. Aku ini seperti siput yang disuruh ikut perlombaan tikus. Mana mungkin aku sanggup.

Mereka bilang padaku bahwa aku tidak bisa mengendalikan angin, tetapi aku bisa mengendalikan layar kapalku. Menurutku, itu hanya omong kosong belaka. Persetan dengan stoikisme! Percuma saja aku bisa mengendalikan arah kapal kalau yang bermasalah di sini adalah kabinnya.”

“Aku sedikit memahami apa yang kamu rasakan.”

“Makanya aku selalu menghindar dari masalah. Dulu, setiap kali aku bersedih, aku selalu pergi ke ayunan yang berada di taman dekat rumahku. Kakak akan dengan cepat menyadari kalau aku lari dari rumah, dan dia akan menjemputku ke sana. Dia akan melakukan hal yang sama dengan apa yang kamu lakukan saat ini. Dia tidak peduli dengan ajakan teman-temannya yang lain untuk bermain demi menenangkanku, bahkan mereka sampai memohon kepadaku untuk meminjamkan kakak. Wajar saja, kakak sangat lihat dalam mengolah bola.

Aku akan menangis hebat dan bilang pada Kakak bahwa ayah dan ibu tidak sayang padaku dan aku tidak ingin pulang. Hebatnya, dia tidak pernah memarahiku dan selalu berhasil mencari cara untuk meredakan amarahku. Suatu waktu dia bilang akan membelikanku permen paling enak di dunia, besoknya dia bilang akan mengajakku ke kebun binatang, dan di lain hari dia bilang dia akan meminjamkan topi kesayangannya kepadaku. Tapi dari semua itu, ada satu yang kuingat ampai sekarang dan aku tidak pernah melupakannya. Kami berjanji dengan jari mungil ini,“kata Bumi sambil menunjukkan jari kelingkingnya padaku tanpa menengok ke belakang.

“Apa yang dia katakan?” tanyaku.

“Dia berjanji untuk selalu menjagaku dan tidak akan pernah meninggalkanku, apapun yang terjadi.”

“Aku tidak menyangka Restu bisa berbuat seromantis itu,” ujarku.

“Bukan bisa, tapi pernah.”

“Pernah?”

“Aku rasa perkataanku sudah cukup jelas.”

Walaupun aku sudah mengenal Restu selama hampir dua tahun lamanya, aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang dilaluinya dan apa yang dia rasakan di masa lalu. Kurasa, dari apa yang di katakan Bumi, aku dapat menyimpulkan bahwa Restu banyak berubah selama hidup bersamanya.

“Tapi kenyataannya saat ini tak seindah janji manisnya dulu. Buktinya, sama seperti lahan kosong ini, aku ditelantarkan begitu saja. Dia tidak peduli lagi denganku, dibiarkannya aku tumbuh liar dan tak terawat. Yang paling menyedihkan adalah, sebentar lagi, lahanku akan diambil oleh orang lain dan dia akan membangun sesuatu di atasnya sesuka hatinya. Kakak tahu itu, tapi dia tidak melakukan apa-apa untuk mencegahnya. Dia sama berdosanya dengan orang itu.”

Bumi memetik bunga dandelion yang ada di bawahnya.

Itulah mengapa aku menjadi murung ketika melihat Kenta dan Kalya menikah, sebab mereka memiliki sesuatu yang aku tidak miliki. Kemewahan yang satu-satunya tidak bisa aku dapatkan adalah kebebasan untuk memilih,” katanya sambil meniup bunga tersebut, parasutnya terombang-ambing di udara. “Tak ada yang sebanding dengan hal itu. Kalau aku memilikinya, meskipun ada yang menawarnya dengan seluruh harta yang ada di muka bumi, aku tetap tidak akan mau.”

“Hmm,” kataku.

Bumi menghentikan ayunannya dengan kaki menjejak ke tanah, berdiri dari tempat duduknya, dan membalikkan badan. “Sekarang giliranmu, gantian aku yang mendorong.”

Aku menurut saja dan duduk di atas ayunan tersebut. Kemudian, Bumi mulai mendorongku, dan tubuhku hanya mengayun sedikit.

“Bagaimana denganmu. Pernah tidak berpikiran untuk menikah?”

“Belum sih.”

“Apa sebabnya?”

“Tidak ada. Aku hanya tidak pernah memikirkannya, itu saja.”

“Pasti dirimu sebelumnya tidak pernah berpacaran.”

“Kelihatan sekali ya?”

“Iya, soalnya merencanakan masa depan bersama calon mantan pacarmu adalah sesuatu yang wajib dilakukan. Kalian akan membayangkan hal-hal konyol seperti kapan kalian ingin menikah, di mana kalian akan tinggal, berapa banyak anak yang ingin kalian miliki, dan bahkan berdebat hal sepele seperti warna cat dinding rumah kalian. Kalau dibayangkan kembali, kelihatannya memang menjijikkan, tapi pada saat itu, semuanya terasa begitu indah.”

Aku terkejut ketika Bumi, tanpa aba-aba, menangkapku yang sedang berayun, menghentikan momentum yang sedang bergulir.

“Rambutmu sedikit berantakan,” ujar Bumi.

Lihat selengkapnya