Tentang rasa yang sering patah dan tumbuh. Harapan selalu ada bersama malam yang kerap singgah meski sesaat. Hanya pada malam, resah, kesah dan lelap tergapai. Mengadu pada dunia hanya melahirkan kecewa. Wajar, sejak 1945 hingga kini dunia belum letih melahirkan kejahatan. Kemerdekaan ilusi, kebebasan tanpa perspektif, dan bahagia tanpa defenisi masih menjadi bagian dalam sejarah.
Tepat pukul 19.30 WIB, dalam ruang hampa tanpa guci dan lampu temaram. Hanya sebuah televisi sederhana, bersama beberapa foto usang. Sebuah kursi panjang dan meja kayu menjadi satu satunya defenisi kemewahan dalam keluarga ini. Restu anak kedua dari keluarga Malik, ia sedang menunggu kehadiran sang ayah. Lelaki kokoh umur 53 tahun itu pun segera duduk, merapat di samping anak lelakinya yang berambut lebat, hitam.
"Jadi, apa pendapatmu tentang seorang ayah yang menghalangi anaknya menjadi pahlawan?" tanya sang ayah pada Restu.
"Restu hanya berpikir, seharusnya ayah akan bangga." jawabnya sambil tersenyum bangga. Itu pertanyaan yang mudah dijawab tentunya.
Tangan sang ayah seketika memukul paha kanan Restu. Menempelkannya untuk beberapa saat lalu mengarahkan pandangan pada anaknya sembari membalas senyuman.
"Ayahmu ini, bukan musuh bangsa. Kalau begitu pergilah pahlawanku. Selamatkan bangsa ini" sambung pria 53 tahun itu.
Sebuah restu telah didapatkan dari sang ayah. Baginya ini bukan perjuangan membuktikan keberanian sebagai lelaki. Namun perjuangan suci yang bahkan bisa saja memakan korban jiwa. Jika konstitusi telah lumpuh oleh kekuasaan, tidak ada jalan lain selain melakukan aksi dan meneriakan narasi.
Pagi menjelang siang, kota Medan menutup jalan untuk kebebasan. Sama seperti kota lainnya, kekuasaan adalah benteng yang kokoh. Sialnya, jika kekuasaan itu bisa merubah pahlawan bangsa menjadi lawan.
Langkah laki masih terdengar pelan. Beberapa manusia berkulit putih melepaskan pandangan menuju penjuru kota. Jiwa mereka was-was. Wajar saja, warga China datang ke negeri ini hanya bertujuan untuk berdagang. Bukan menyaksikan perang saudara. Tapi kekacauan telah menjadi ancaman nyata. Hanya saja hingga fajar menyapa, para warga berkulit putih masih bisa nernapas lega.
Hari mulai menjejaki langkah lebih dalam. Tidak terasa, sejak izin telah ia dapatkan, Restu mulai bersiap menuju kampus. Pagi ini, suaranya akan menjadi peluru yang mungkin saja akan menembus hati para penguasa.
Cermin besar menjadi saksi, keberanian terlukis di wajah lelaki berambut setengah panjang dan lebat. Perlahan Restu menyisiri rambut yang telah mengkilap oleh minyak kemiri.
"Tidak ada lelaki tanpa aksi. Ya Allah, restui aku, dan jadikanlah aku penyeru kebenaran hingga aku mati" ucapnya di depan cermin peninggalan sang kakek sebelum wafat beberapa tahun lalu.
Restu Ilahi adalah kekuatan. Sayang, manusia kerap lupa dengan restu Ilahi. Mereka lebih suka dengan restu dari raja, penguasa bahkan tak jarang mengharap restu dari penjajah. Namun sebagai lelaki, Restu kokoh dalam pendirian. Sebab ia yakin, suara yang baik adalah suara Pencipta. Dan suara yang harus diperjuangkan adalah suara mereka yang tertindas. Restu Ilahi akan melahirkan restu kedua, yaitu restu bumi.