Restu Bumi

Erka Karo-karo
Chapter #2

JAWABAN

Prahara merusak sendi-sendi persatuan yang terikrar dalam butiran sila-sila negara. Gerah dan jenuh dengan penindasan menjadi alasan kuat bahwa mereka hanya memperjuangkan hak sebagai warga. Wajar, sudah lama Indonesia merdeka, seharusnya rakyat dapat menikmati hasilnya. Tapi tidak bagi rakyat kecil. Penindasan, tekanan ekonomi, anti kiritik, bahkan penculikan menjadi bukti bahwa kemerdekaan ini seakan bukan milik rakyat. 

Pada pagi hari ini, lelaki yang berjiwa pejuang singgah di sebuah warung makan. Budaya keluarga membuatnya harus makan di warung setiap pagi. Demi mengejar jam kuliah. Dalam benaknya ia yakin, suatu saat negara ini pasti memiliki nyawa baru. Kasihan, sudah seperti hidup segan, mati tak mau. 

Arista pagi ini sengaja mampir, firasatnya mengatakan ia harus makan untuk kali pertama di warung Wak Imang . Bisa jadi karena alasan Restu atau mungkin dorongan takdir. Yang jelas dalam waktu yang singkat, mereka saling sapa dan dekat. Tidak ada perdebatan. Seakan mereka telah memahami, sudah bukan waktunya lagi mereka berdebat kusir. 

"Sudah bukan waktunya ya, kita berdebat." Seru Restu ringan, sembari menunggu sepiring nasi bersama sambal teri tumis kangkung dari Wak Imang. 

Seketika Arista tersenyum. Diluar nalar, biasanya Arista selalu menunjukan wajah tegas dan serius dihadapan lelaki berbaju petak hitam itu. 

"Jadi...saatnya bersatu gitu?" Arista bertanya balik. Kali ini, wanita tomboi itu terlihat centil. Arjuna mana yang tidak mati ego melihat kecentilan seorang Arista. Siapa sangka di balik jiwa lelaki yang melekat pada sosok Arista ternyata fitrah kewanitaannya tetap bersemanyam. 

Pembicaraan terhenti. Sepiring nasi telah datang bersama air putih hangat. Arista harus bersabar beberapa menit lagi menunggu giliran sarapannya datang. Wajarlah, antrean panjang, sebab semua butuh energi besar untuk bersuara. 

"Sampai kapan kamu tidak mau pacaran Ris. Hidup ini dinamis. Kau harus memikirkan masa depan juga," ujar Restu serius. 

Arista hanya terdiam, kali ini tidak ada bantahan, tanpa jawaban. Apa yang harus ia katakan. Sebab lelaki yang selalu ia harapkan adalah sang orator yang kini ada dihadapannya. Bahkan sebenarnya, ada rahasia yang tak boleh ia utarakan. Paling tidak segelas air putih yang telah datang, ia minum untuk membuang sedikit kekakuan. 

"Atau kamu nikah sama aku aja!" tawar Restu secara dadakan. 

Lihat selengkapnya