Sapaan pagi menyerbakkan kesegaran. Kontras cahaya hanya jatuh sebagian pada titik bumi. Bumi sedikit lega, aktivitas masih sepi. Tak ada caci dan maki.
Ternyata para anak muda sedang berkumpul dalam satu rumah besar. Mereka duduk rapi nyaris tanpa jarak. Ada konsolidasi dan penerapan strategi. Hari ini tidak boleh hanya sekedar suara. Sepertinya telinga penguasa telah benar-benar tuli oleh aspirasi.
"Kita butuh amunisi. Kita tidak punya senjata api dan peralatan baja. Tapi kita masih punya ini dan semangat!" ucap Usman sembari memegang batu. Usman Ginting bertindak sebagai pimpinan unjuk rasa. Ia adalah teman dekat Restu, bahkan kemana pun mereka selalu bersama. Tetapi sejak mahasiswa mulai bergerak, mereka sudah jarang bersama. Usman sibuk dengan strateginya, sedangkan Restu sibuk dengan orasinya.
"Jangan berpencar apapun yang terjadi. Jangan lari berapa pun yang mati. Kita Mahasiswa, bukan siswa. Catat itu kawan!" tambahnya dengan tegas.
Restu memperhatikan seksama perintah dari pimpinan pergerakan mereka. Tak boleh ada kesalahan, karena mereka bergerak di bawah ancaman kekuasaan. Tak boleh ada yang lemah, karena mereka bergerak di bawah dukungan masyarakat.
"Hari ini tiga kampus akan bergabung bersama kita. Tujuan kita hanya satu, Soeharto mundur atau kita mati." sambungnya.
"Kamu siap untuk ini Us?" Tanya Lilis, mahasiswi yang juga ikut berdiskusi.
"Siap, bergerak atau tidak bergerak kita pasti akan mati juga. Tapi paling tidak, kita akan mati dengan harga diri" jawab Usman yakin.
Suasan lumayan hening. Senjata api di tangan aparat pastinya bukan sekedar ancaman. Siapapun jika di bawah kuasa raja pasti akan bringas.
"Bagaimana dengan orang tua kita?" tanya Geoman.
"Restu mereka adalah sebuah jawaban bahwa mereka telah rela jika kita harus mati di medan perang!" jawab Usman kembali.
Seketika Restu mengacungkan jari perlahan. Matapun seketika tertuju padanya. Apa gerangan yang hendak disampaikan sang orator.
"Silahkan kawan!" sambut Usman.
"Hari ini kita telah menyiapkan batu, linggis, dan senjata yang kita mampu. Dan hari ini beberapa kampus akan bergabung bersama kita. Tapi, hari ini aku ingin membawa seorang wanita berorasi. Mohon diijinkan!" ucapnya dengan nada memelan.
"Gak boleh. Untuk apa wanita kau bawa?" tolak Irvan mentah-mentah.
"Restu, apa ini caramu agar kita aman-aman saja? Supaya cecunguk pemerintah itu tidak berani melukai kita?" tanya Roy menambahkan.
Restu masih diam, ia harus terus membiarkan teman-temannya berbicara. Memotong ucapan adalah perilaku tak terdidik.
"Restu, jangan pernah manfaatkan wanita untuk pelindung kita," tambah Roy serta merta.
Restu tak harus membantah. Apalagi harus membantah dengan argumen kejam. Ini hanya masalah kesalahan pahaman. Pria yang sering memakai kemiri itu pun berdiri. Jelas saja membuat perhatian tambah tertuju padanya.
"Maaf kawan, semalam aku meminta Ariska menjadi kekasihku. Tetapi dia memberi satu syarat. Katanya, ajak aku berorasi," jawab restu memahamkan. Usman kini berdiri, mendekat dan memeluk Restu.
"Musuhmu kini akan jadi kekasihmu. Gila kamu Res. Aku akan mendukungmu. Tapi ingat, jangan pernah berteman dengan penguasa. Jangan jadikan penguasa kekasihmu. Karena kita adalah opisisi abadi!" ujar Usman bangga.
"Berikan kami motivasi untuk perjuangan hari ini Res!" tambah Usman.
"Mungkin bukan motivasi, hanya pesan untuk kalian. Jika aku tak mampu lanjut berjuang, jagalah wanita yang pernah berorasi bersamaku. Karena dia layak merdeka untuk kedua kalinya!" jawab Restu.
****