Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.
____________________
Darahmu tak menetes sia-sia. Kini kebanggaan itu terus aku simpan. Bahwa aku pernah tertawa bersama pahlawan bangsa ini. Usman, kau adalah pahlawan. Sejak peristiwa itu, semua mahasiswa nasional akhirnya bergerak menyuarakan keadilan. Mereka juga ada yang gugur demi bangsa kita.
Usman Ginting, jasamu abadi bersama setiap langkahku. Setelah menyelesaikan kuliah, berat bagiku meninggalkan kampus. Karena kau pasti selalu menemamiku disitu. Harusnya, kita masih bisa berpelukan, memagang ijazah kelulusan. Harusnya kita masih bisa minum bersama. Entahlah, sejak kehilanganmu, aku mulai merasa tak butuh orang lain, bahkan mungkin Arista. Kuputuskan aku harus kuliah ditempat lain, bagian hukum. Karena bagiku ijazah pertama ini tak layak aku pergunakan.
Usman, tetaplah tersenyum untukku. Sudah 5 tahun, rinduku padamu masih mendalam, kawan.
Surat dari temanmu, Restu.
______________________
Maaf aku tak pernah memberikan kesempatan padamu untuk menjelaskan kebenaran. Saat aku menyangka kamu berkhianat, tapi aku kemudian sadar, ini hanya sebuah salah paham. Tapi aku tak pernah memberikan kesempatan untuk kamu menjelaskan sebenarnya. Karena memang sejujurnya aku telah mencintai lelaki lain. Dia sahabatmu. Dia teman tertawamu. Aku menyembunyikan rasa ini. Lebih baik aku hidup sendiri demi menyembunyikan rasa suka. Hingga akhirnya ia datang untukku. Maaf atas luka itu. Aku menerima cintanya, dan aku membunuh hatimu. Bukan mereka yang membunuh kamu. Tapi akulah yang membunuhmu pertama kalinya. Hingga kamu harus terbunuh untuk kedua kalinya.
Dari wanita yang pernah kamu cintai, Arista.
___________________
15 Mei 2003
Dibawah rindangnya pohon beringin, Restu dan Arista berziarah setelah lima tahun berlalu. Restu membawa selembar surat untuk diletak pada pemakaman. Begitu juga Arista, ada pesan yang juga ingin ia sampaikan.
"Ris, kamu nulis apa sih di surat itu?" tanya Restu memaksa.
"Jangan tanya lagi ya, itu hanya doa. Kita berbeda, kamu curhat dengan kertas. Sedangkan aku, berdoa dengan kertas. Aku sedang berdoa untuk sahabat kita," jawabnya ngeles.
Mungkin tak semua harus diceritakan. Termasuk masalah hubungan Arista dengan Usman. Wanita itu sudah cukup khawatir dengan perubahan Restu yang mulai dingin padanya, sejak kepergian Usman.
Mereka beranjak mengayun langkah menggapai keramaian. Kemegahan kota Medan berhias bangunan tinggi yang kokoh. Dengan mobil Pajero, Restu membawa Arista berkeliling mencari tempat santai. Bangunan megah sudah pasti menghiasi sepanjang jalan. Peninggalan penjajah atau milik penjajah? Entahlah, alam ini telah ternoda. Hampir mustahil mencari restu bumi. Tapi manusia harus hidup dengan asa. Apa jadinya jika orang-orang baik yang terpinggir akhirnya harus kehilangan asa? Jangan, bumi memerlukan mereka.
Sejak reformasi, apakah negeri ini penuh cinta? Tidak, sepertinya bumi memang masih terluka. Politik identitas, kapitalis, dan perbudakan masih terjadi. Asing, aseng adalah penguasa. Nusantara masih terjajah. Tapi paling tidak, kekejaman pada masa dahulu tidak terjadi. Demokrasi terjaga, semua bebas bersuara. Bahkan menghina presiden dengan kerbau masih diperbolehkan.
"Kita kemana?" tanya Arista centil.
Restu terdiam beberapa saat, sebenarnya ia ingin segera pulang dan membaca buku. Tapi ia harus menghargai perasaan gadis disampingnya.