Taman Merdeka walk menjadi destinasi yang layak di kota Medan. Disinilah Arista bertemu dengan Zein. Ada cacatan penting yang akan mereka buka kembali. Tentang masa lalu yang penuh darah.
"Terbuktikan usulanku. Dia tu jago orasi. Pasti akan menjadi orang besar. Dan kau berhasil memanfaatkannya. Popularitasmu sekarang naik kan?" Ucap Zein.
"Tapi aku memang mencintai dia," jawab Arista jujur.
"Persetan cinta. Cinta itu senjata setan. Kau lihat, berapa banyak laki-laki hancur karena cinta, termasuk aku!" wajahnya memerah, ada kesal yang pastinya tak mampu terbendung.
"Saat aku hampir sukses, wanita itu datang. Lalu dia merusak segalanya. Untung saja, partai ini mengangkat derajatku lagi!" tambahnya dengan nada tebal dan tegas.
"Kau tak mengakui Tuhan?" tanya Arista.
"Tuhan ada, aku sangat yakin. Tapi Dia hanya memberi kita kesempatan. Masalah sukses atau tidaknya, Tuhan menyerahkan semua pada kita. Saat tangan kita kotor, bahkan Tuhan menyiapkan pintu sedekah sebagai pembersih!" jawab Zein.
Arista tahu ada yang salah dengan pemikiran lelaki tamatan IKIP tersebut. Tapi tak ada alasan untuk membantah. Diam mungkin jalan terbaik.
"Silahkan, aku tak campuri pemikiranmu. Tapi pastinya, aku tak pernah memanfaatkan Restu. Aku benar-benar mencintainya." celetuknya tegas. Ia tak rela dikatakan sebagai wanita yang memanfaatkan orang lain.
"Cinta itu seperti kita berjalan. Selagi kau berjalan, kau masih mungkin menemukan cinta lain. Itulah sebabnya, sampai saat ini kau tak menikah!" tantang Zein mencoba mencuci pola pikir gadis Aceh tersebut.
"Aku menunggu dia, karena aku tau, lelaki lain adalah setan, sepertimu!" bentaknya.
Sialnya, Zein tertawa puas. Hinaan seperti penghargaan baginya. Cacian selayaknya bagaikan sanjungan. Tak ada rasa sakit hati, ataukah memang hatinya telah mati oleh dunia. Angkara murka, pengkhianatan tampaknya berjasa atas perubahan sikapnya.
Wajar jika pahlawan itu kini menjadi iblis yang tak berhati. Baginya politik satu-satunya cara menumpuk harta. Membalas dendam mungkin opsi kedua. Yang terpenting, dia bisa menikmati hidup sesukanya.
"Restu sebentar lagi akan menjadi lelaki biasa. Pemikirannya akan membunuh dirinya sendiri. Coba kau bayangkan Ris, sejak zaman kemerdekaan negeri ini, runtuhnya orde lama, hingga saat ini, penjahat masih berkuasa. Kau tahu apa artinya?" tanya Zein kembali mencoba dengan doktrinnya.
"Artinya sebenarnya bumi ini tak mau diperbaiki. Mereka tak butuh orang baik. Karena mereka hanya penghalang. Dan ingat, darah Usman tak akan berarti banyak. Jangankan darah satu Usman. Darah seribu Usman pun tak akan mampu merubah takdir bumi ini." sambungnya mencoba terus meyakinkan.
Tapi benarkah bumi tak merestui kebaikan? Tentu tidak, sebab bumi tercipta untuk dipimpin oleh kebaikan. Seorang khalifah menjadi gambaran dan simbol kebaikan yang hakiki. Maka saat bumi diisi orang-orang durjana, disanalah laknat bumi datang. Banjir, gunung meletus, angin puting beliung, kekeringan, semua adalah karena laknat bumi.
Restu bumi hanya ada bagi mereka yang jujur dalam beragama, jujur dalam bergaul, jujur dalam bertransaksi, jujur pada Tuhannya, hingga jujur pada diri sendiri.
Bumi tak pernah berharap semua manusia akan menjadi baik. Tetapi bumi hanya berharap, tanah ini harusnya dipimpin orang-orang yang layak.