Lima tahun berlalu, sejak perpisahan waktu itu, Arista tak pernah menjumpai Restu. Hingga akhirnya terdengar kabar, bahwa ternyata wanita itu telah menikah dengan Zein. Mungkin ini tentang balas jasa. Karena berkat jasa Zein Arista telah berhasil menjadi anggota dewan dari salah satu fraksi politik. Restu merasa ini bukanlah musibah, ia hanya menganggap ini adalah bagian dari resiko kehidupan. Semua bisa terjadi bahkan hati yang baik saja pun bisa berubah menjadi buruk dan keburukan juga bisa berubah menjadi baik.
Kabar itu ia dengar dari temannya Karim, namun tak ada wajah kecewa yang terlihat. Mungkin Restu sudah terlalu tua untuk bisa memikirkan cinta, karena selama ini jiwanya Masih bersama dengan kenangan di masa lalu. Tentang perjuangan, perpisahan, pengorbanan dan tentang kesetiakawanan. Itu semua lebih indah dan tak akan pernah terbayar oleh apapun.
"Kau tak merasa kehilangan?" tanya Karim.
Restu hanya terdiam dan sedikit tersenyum, bahkan kali ini ada wajah sinis yang tergambar jelas. Mungkin dia sudah menduga, sebab ada yang berkata bahwa jodoh adalah cerminan diri. Meski tak sepenuhnya ia setuju, tapi paling tidak jodoh terlahir dari sebab-akibat.
"Aku masih memiliki ini," jawab Restu menunjuk tumpukan buku.
Begitulah adanya lelaki itu, bisa hidup hanya dengan buku. Baginya teman terbaik adalah buku. Lawan debat terbaik adalah buku. Guru terbaik adalah buku, dan kekasih terbaik adalah buku. Baginya hanya Tuhan yang tak bisa tergantikan oleh Buku.
Kelayakan telah menjadi pilihan hidupnya. Bagi Restu untuk apa pernikahan jika nantinya akan memiliki tujuan berbeda. Dan yang paling membuatnya risau adalah ketika menikah dengan sosok yang tak direstui oleh bumi. Manusia akan kembali pada bumi maka sudah selayaknya semua meminta restu dari bumi dan tentunya juga harus meminta restu dari Sang Pemilik Bumi.
Sebenarnya, ia tak mampu melupakan wanita itu. Tetapi harus bisa tegar mencoba melawan dengan caranya sendiri. Mengajar dan mengajak mahasiswa berdebat adalah salah satu cara membahagiakan diri. Restu yakin semua mahasiswa yang pernah berdebat dengannya akan termotivasi untuk menjadi pahlawan pada lembaran kehidupan berikutnya. Sebab zaman pasti berganti maka sudah sepatutnya kita memikirkan untuk generasi yang akan menjadi pengganti.
Waktu berlalu, dua musim pun berganti dari musim penghujan menjadi musim kemarau. Udara panas menyerbu seisi wilayah Indonesia. Menjadi sebuah pertanda bahwa akan ada bencana besar. Tak harus banjir, tak harus bencana alam lainnya. Bencana itu bisa saja pertarungan antar bangsa sendiri. Benar saja Gejolak politik meningkat demokrasi semakin kritis. Aspirasi menjadi anti bagi pemerintah. Yang berkuasa telah memimpin seperti raja, tak boleh dikritik, tak boleh dinasehati.
Belum lagi pertarungan antar partai politik yang jauh dari kata sehat. Bahkan setiap partai politik berani untuk menghina dan menjatuhkan partai lainnya demi sebuah kemenangan. Tampaknya babak baru sebuah masalah besar akan datang. Mungkin tidak tahun ini atau tiha tahun yang akan datang. Bisa jadi sepuluh tahun yang akan datang.
Kerusuhan yang menimbulkan pertumbuhan darah akan kembali terjadi di negeri ini. Sebab, memang pada hakikatnya sejarah pasti akan terulang. Di saat itulah bumi menanti sosok pahlawan yang dirindukan, pahlawan yang tak kenal takut dan tak pernah mau dibeli dengan harta dan tahta.
"Katakan tidak! pada partai yang memakai politik identitas. Jangan biarkan mereka menghancurkan bangsa kita."