Restu Bumi

Erka Karo-karo
Chapter #9

Ekstra

Harta adalah amanah. Panti asuhan selalu menjadi tempat yang selalu ia kunjungi. Setiap bulan puluhan juta ia habiskan pada pembangunan panti asuhan. 

"Terima kasih pak sudah membatu kami. Andaikan ada banyak orang seperti bapak, pasti negeri ini makmur," ungkap Mbok Inem ketika mengantar Restu keluar dari area panti. 

"Habis ini mau kemana lagi pak?" tanya si mbok, basa-basi. 

"Ada dua panti yang harus saya kunjungi hari ini mbok!" ujarnya. Wanita Jawa itu sangat ramah. Dari wajahnya penuh cinta. 

Ceritanya, Mbok Inem merantau dari Brebes ke kota Medan. Ia bertemu jodohnya di kota ini. Karena tak punya anak, suaminya memutuskan nikah tanpa sepengetahuannya. Dan kini suaminya telah memutuskan menceraikannya. 

Mbok Inem akhirnya berjodoh dengan panti ini. Panti Asuhan Al-Arif, memberikan kebahagiaan sendiri baginya. Ia tak perlu bersedih karena tidak memiliki anak. Karena sekarang ia bersama puluhan anak yang Allah titipkan pada mereka. 

Restu juga membangun sekolah gratis, diperuntukkan bagi anak-anak yang putus sekolah. Memberikan harapan bagi mereka, adalah seni untuk berbagi kebaikan. Rasa yang paling menyakitkan adalah hidup tanpa harapan. Ia datang memberikan harapan. 

Pemerintah sebenarnya ikut andil dalam membantu. Bahkan beberapa organisasi masyarakat juga ikut serta membantu. Hanya saja, bantuan mereka biasanya melalui kamera dan juga melalui proses pemotongan uang. 

Tapi Restu tak mempermasalahkannya. Ia tak mengurusi niat manusia, cukup Allah yang akan menimbangnya. 

Yayasan Cita Nusantara menjadi proyek surga baginya. Disanalah anak-anak tak mampu diberikan harapan? Seyuman mereka sangat berharga. 

Handphone berdering, ada panggilan dari kampus. Sebuah berita, bahwa ia diberhentikan sebagai dosen melalui telepon genggam. 

"Maaf pak, pesan dari Bapak Sunarto, katanya bapak jangan masuk dulu. Demi keamanan kampus!" ujar seorang utusan, sekaligus yang membantu Sunarto mengajar. 

"Baik, sampaikan terimakasih. Pesannya sudah saya terima!" jawab Restu. 

"Maaf ya pak!" tanggapnya kembali. 

"Santai saja, manusia tak bisa menghukum. Jaga baik-baik nama kampus ya!" pinta Restu padanya. 

Seperti biasa, ia tak butuh uang dari hasil mengajar. Usahanya kini berkembang pesat. Hanya saja kini lelaki itu kehilangan tempat untuk berdiskusi dengan mahasiswa. 

Tapi itu tak berlangsung lama, Reihan membentuk koalisi mahasiswa membangun dan menjadikan organissi itu sebagai sarana berdiskusi kembali dengan sang dosen kebanggaan mereka. Meski acara selalu dilakukan diluar kampus, namun aura pendidikan sangat terasa. Mereka adalah generasi yang masih peduli dengan masa depan bangsa. 

****

Panggilan adzan berbunyi, Restu sholat sebaris dengan mahasiswa. Setelah usai, seorang mahasiswa duduk mendekat. 

"Kini aku percaya, semua yang bapak sampaikan adalah suara Tuhan," ujarnya polos. 

"Apa alasan kamu?" tanya Restu. 

"Karena Tuhan selalu bersama kebenaran!" jawabnya. 

"Bagaimana kalau Tuhan juga menyertai orang yang jahat?" tanya Restu kembali. 

Anak muda itu butuh waktu untuk berpikir. 

"Tak mungkin Tuhan melakukan itu!" pungkasnya setelah berpikir sedikit lama. 

Restu tersenyum ringan. Ia bangga dengan semangat anak itu dan tertawa karena kepolosannya. 

"Tuhan tak akan meninggalkan pendosa saat ia melakukan satu dosa. Tuhan tetap akan memerintahkan pada bumi agar si pendosa bisa berpikir dan bertaubat. Tuhan tetap menyertainya hingga sampai batas umur. Disanalah kesimpulan akan terjadi, apakah dia tetap pendosa atau menjadi baik," perjelasnya pada mahasiswa semester 3 jurusan biologi tersebut. 

"Saya semakin yakin, apa yang bapak katakan adalah suara Tuhan!" ujarnya kembali. 

Restu tak menjawab. Ia memberikan lelaki itu mencari jawabannya ditempat lain. Ia harus dewasa dengan banyak belajar dan membaca buku. Buku adalah guru terbaik. Kapanpun dibutuhkan ia akan selalu ada. 

Tentang suara Tuhan, Restu mengingkarinya. Bahkan dalam sebuah tulisannya, ia membantah narasi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. 

"Jika suara rakyat adalah suara Tuhan, maka saya melihat 70 persen rakyat pernah berbohong. Dan saya tak yakin satu persenpun Tuhan pernah berbohong," tulisnya dalam sebuah kutipan. 

****

Restu memasuki ruangan sempit. Hari ini ia ingin mengabadikan semua masa lalunya dengan merekatkan kertas yang berisi tulisan pada dinding

 

"Ayahmu ini, bukan musuh bangsa. Kalau begitu pergilah pahlawanku. Selamatkan bangsa ini" ucap ayahnya. 


"Aku tak layak dengan sebutan itu ayah, tapi aku akan selamatkan bangsa ini ayah. Tenanglah disana, aku bangga padamu. Ya Allah tempatkanlah ayahku pada tempat berbaik" ucapnya dalam doa sembari meletakan kertas. 


"Sudah mendapatkan izin?" tanya Zein, melepaskan senyum. 


"Bahkan bumi telah memberiku restu," jawab Restu santai. 


"Zein, aku tetap berdoa untukmu, semoga bumi akan memaafkan dan merestuimu," ujarnya menanggapi catatan itu. 


"Aku gak butuh kopi lagi. Mengingatmu telah manjadi candu baru dalam diriku. Hem...Ris, maaaf ya karena akhirnya aku benar-benar mencintaimu. Entah apa yang terjadi di masa depan, ataukah aku akan mati oleh selongsong peluru, aku tak peduli. Yang penting, kamu menerimaku!" 


"Ris, sekarang aku butuh kopi itu lagi, karena sekarang kau tak lagi menjadi candu bagiku!" tanggapnya kembali. 


"Kamu siap untuk ini Us?" Tanya Lilis, mahasiswi yang juga ikut berdiskusi. 


"Siap, bergerak atau tidak bergerak kita pasti akan mati juga. Tapi paling tidak, kita akan mati dengan harga diri!" jawab Usman yakin. 


"Usman, kamu telah menepati janji itu. Kamu benar, mati adalah kepastian, namun paling tidak kita akan mati dengan harga diri," ujarnya menanggapi catatan kenangan masa lalu. 


"Musuhmu kini akan jadi kekasihmu. Gila kamu Res. Aku akan mendukungmu. Tapi ingat, jangan pernah berteman dengan penguasa. Jangan jadikan penguasa kekasihmu. Karena kita adalah opisisi abadi!" ujar Usman bangga.


"Hingga sampai saat ini, aku masih memusuhi sikap mereka. Aku tak akan menjadi kekasih mereka. Dan maaf, karena aku tak tahu, bahwa Arista adalah wanita yang sangat kamu cintai. Aku sangat menyesal!" air matanya mulai mentes. 


"Maaf kawan, aku tak mampu mengingatkan kau agar tidak menjadi kekasih penguasa. Kita tetap teman kan?" jawab Usman pelan. 


"Aku merindukanmu Usman, kau adalah teman terbaikku!" kini ia benar-benar menangis. 


Sesal tak perlu diungkap, meskipun terkadang perlu dikenang meski harus dalam ruangan kecil yang redup.


Harta adalah amanah. Panti asuhan selalu menjadi tempat yang selalu ia kunjungi. Setiap bulan puluhan juta ia habiskan pada pembangunan panti asuhan. 

"Terima kasih pak sudah membatu kami. Andaikan ada banyak orang seperti bapak, pasti negeri ini makmur," ungkap Mbok Inem ketika mengantar Restu keluar dari area panti. 

"Habis ini mau kemana lagi pak?" tanya si mbok, basa-basi. 

"Ada dua panti yang harus saya kunjungi hari ini mbok!" ujarnya. Wanita Jawa itu sangat ramah. Dari wajahnya penuh cinta. 

Ceritanya, Mbok Inem merantau dari Brebes ke kota Medan. Ia bertemu jodohnya di kota ini. Karena tak punya anak, suaminya memutuskan nikah tanpa sepengetahuannya. Dan kini suaminya telah memutuskan menceraikannya. 

Mbok Inem akhirnya berjodoh dengan panti ini. Panti Asuhan Al-Arif, memberikan kebahagiaan sendiri baginya. Ia tak perlu bersedih karena tidak memiliki anak. Karena sekarang ia bersama puluhan anak yang Allah titipkan pada mereka. 

Restu juga membangun sekolah gratis, diperuntukkan bagi anak-anak yang putus sekolah. Memberikan harapan bagi mereka, adalah seni untuk berbagi kebaikan. Rasa yang paling menyakitkan adalah hidup tanpa harapan. Ia datang memberikan harapan. 

Pemerintah sebenarnya ikut andil dalam membantu. Bahkan beberapa organisasi masyarakat juga ikut serta membantu. Hanya saja, bantuan mereka biasanya melalui kamera dan juga melalui proses pemotongan uang. 

Tapi Restu tak mempermasalahkannya. Ia tak mengurusi niat manusia, cukup Allah yang akan menimbangnya. 

Yayasan Cita Nusantara menjadi proyek surga baginya. Disanalah anak-anak tak mampu diberikan harapan? Seyuman mereka sangat berharga. 

Handphone berdering, ada panggilan dari kampus. Sebuah berita, bahwa ia diberhentikan sebagai dosen melalui telepon genggam. 

"Maaf pak, pesan dari Bapak Sunarto, katanya bapak jangan masuk dulu. Demi keamanan kampus!" ujar seorang utusan, sekaligus yang membantu Sunarto mengajar. 

"Baik, sampaikan terimakasih. Pesannya sudah saya terima!" jawab Restu. 

"Maaf ya pak!" tanggapnya kembali. 

"Santai saja, manusia tak bisa menghukum. Jaga baik-baik nama kampus ya!" pinta Restu padanya. 

Seperti biasa, ia tak butuh uang dari hasil mengajar. Usahanya kini berkembang pesat. Hanya saja kini lelaki itu kehilangan tempat untuk berdiskusi dengan mahasiswa. 

Tapi itu tak berlangsung lama, Reihan membentuk koalisi mahasiswa membangun dan menjadikan organissi itu sebagai sarana berdiskusi kembali dengan sang dosen kebanggaan mereka. Meski acara selalu dilakukan diluar kampus, namun aura pendidikan sangat terasa. Mereka adalah generasi yang masih peduli dengan masa depan bangsa. 

****

Panggilan adzan berbunyi, Restu sholat sebaris dengan mahasiswa. Setelah usai, seorang mahasiswa duduk mendekat. 

"Kini aku percaya, semua yang bapak sampaikan adalah suara Tuhan," ujarnya polos. 

"Apa alasan kamu?" tanya Restu. 

"Karena Tuhan selalu bersama kebenaran!" jawabnya. 

"Bagaimana kalau Tuhan juga menyertai orang yang jahat?" tanya Restu kembali. 

Anak muda itu butuh waktu untuk berpikir. 

"Tak mungkin Tuhan melakukan itu!" pungkasnya setelah berpikir sedikit lama. 

Restu tersenyum ringan. Ia bangga dengan semangat anak itu dan tertawa karena kepolosannya. 

"Tuhan tak akan meninggalkan pendosa saat ia melakukan satu dosa. Tuhan tetap akan memerintahkan pada bumi agar si pendosa bisa berpikir dan bertaubat. Tuhan tetap menyertainya hingga sampai batas umur. Disanalah kesimpulan akan terjadi, apakah dia tetap pendosa atau menjadi baik," perjelasnya pada mahasiswa semester 3 jurusan biologi tersebut. 

"Saya semakin yakin, apa yang bapak katakan adalah suara Tuhan!" ujarnya kembali. 

Restu tak menjawab. Ia memberikan lelaki itu mencari jawabannya ditempat lain. Ia harus dewasa dengan banyak belajar dan membaca buku. Buku adalah guru terbaik. Kapanpun dibutuhkan ia akan selalu ada. 

Tentang suara Tuhan, Restu mengingkarinya. Bahkan dalam sebuah tulisannya, ia membantah narasi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. 

"Jika suara rakyat adalah suara Tuhan, maka saya melihat 70 persen rakyat pernah berbohong. Dan saya tak yakin satu persenpun Tuhan pernah berbohong," tulisnya dalam sebuah kutipan. 

****

Restu memasuki ruangan sempit. Hari ini ia ingin mengabadikan semua masa lalunya dengan merekatkan kertas yang berisi tulisan pada dinding

 

"Ayahmu ini, bukan musuh bangsa. Kalau begitu pergilah pahlawanku. Selamatkan bangsa ini" ucap ayahnya. 


"Aku tak layak dengan sebutan itu ayah, tapi aku akan selamatkan bangsa ini ayah. Tenanglah disana, aku bangga padamu. Ya Allah tempatkanlah ayahku pada tempat berbaik" ucapnya dalam doa sembari meletakan kertas. 


"Sudah mendapatkan izin?" tanya Zein, melepaskan senyum. 


"Bahkan bumi telah memberiku restu," jawab Restu santai. 


"Zein, aku tetap berdoa untukmu, semoga bumi akan memaafkan dan merestuimu," ujarnya menanggapi catatan itu. 


"Aku gak butuh kopi lagi. Mengingatmu telah manjadi candu baru dalam diriku. Hem...Ris, maaaf ya karena akhirnya aku benar-benar mencintaimu. Entah apa yang terjadi di masa depan, ataukah aku akan mati oleh selongsong peluru, aku tak peduli. Yang penting, kamu menerimaku!" 


"Ris, sekarang aku butuh kopi itu lagi, karena sekarang kau tak lagi menjadi candu bagiku!" tanggapnya kembali. 


"Kamu siap untuk ini Us?" Tanya Lilis, mahasiswi yang juga ikut berdiskusi. 


"Siap, bergerak atau tidak bergerak kita pasti akan mati juga. Tapi paling tidak, kita akan mati dengan harga diri!" jawab Usman yakin. 


"Usman, kamu telah menepati janji itu. Kamu benar, mati adalah kepastian, namun paling tidak kita akan mati dengan harga diri," ujarnya menanggapi catatan kenangan masa lalu. 


"Musuhmu kini akan jadi kekasihmu. Gila kamu Res. Aku akan mendukungmu. Tapi ingat, jangan pernah berteman dengan penguasa. Jangan jadikan penguasa kekasihmu. Karena kita adalah opisisi abadi!" ujar Usman bangga.


"Hingga sampai saat ini, aku masih memusuhi sikap mereka. Aku tak akan menjadi kekasih mereka. Dan maaf, karena aku tak tahu, bahwa Arista adalah wanita yang sangat kamu cintai. Aku sangat menyesal!" air matanya mulai mentes. 


"Maaf kawan, aku tak mampu mengingatkan kau agar tidak menjadi kekasih penguasa. Kita tetap teman kan?" jawab Usman pelan. 


"Aku merindukanmu Usman, kau adalah teman terbaikku!" kini ia benar-benar menangis. 


Sesal tak perlu diungkap, meskipun terkadang perlu dikenang meski harus dalam ruangan kecil yang redup.


Harta adalah amanah. Panti asuhan selalu menjadi tempat yang selalu ia kunjungi. Setiap bulan puluhan juta ia habiskan pada pembangunan panti asuhan. 

"Terima kasih pak sudah membatu kami. Andaikan ada banyak orang seperti bapak, pasti negeri ini makmur," ungkap Mbok Inem ketika mengantar Restu keluar dari area panti. 

"Habis ini mau kemana lagi pak?" tanya si mbok, basa-basi. 

"Ada dua panti yang harus saya kunjungi hari ini mbok!" ujarnya. Wanita Jawa itu sangat ramah. Dari wajahnya penuh cinta. 

Ceritanya, Mbok Inem merantau dari Brebes ke kota Medan. Ia bertemu jodohnya di kota ini. Karena tak punya anak, suaminya memutuskan nikah tanpa sepengetahuannya. Dan kini suaminya telah memutuskan menceraikannya. 

Mbok Inem akhirnya berjodoh dengan panti ini. Panti Asuhan Al-Arif, memberikan kebahagiaan sendiri baginya. Ia tak perlu bersedih karena tidak memiliki anak. Karena sekarang ia bersama puluhan anak yang Allah titipkan pada mereka. 

Restu juga membangun sekolah gratis, diperuntukkan bagi anak-anak yang putus sekolah. Memberikan harapan bagi mereka, adalah seni untuk berbagi kebaikan. Rasa yang paling menyakitkan adalah hidup tanpa harapan. Ia datang memberikan harapan. 

Pemerintah sebenarnya ikut andil dalam membantu. Bahkan beberapa organisasi masyarakat juga ikut serta membantu. Hanya saja, bantuan mereka biasanya melalui kamera dan juga melalui proses pemotongan uang. 

Tapi Restu tak mempermasalahkannya. Ia tak mengurusi niat manusia, cukup Allah yang akan menimbangnya. 

Yayasan Cita Nusantara menjadi proyek surga baginya. Disanalah anak-anak tak mampu diberikan harapan? Seyuman mereka sangat berharga. 

Handphone berdering, ada panggilan dari kampus. Sebuah berita, bahwa ia diberhentikan sebagai dosen melalui telepon genggam. 

"Maaf pak, pesan dari Bapak Sunarto, katanya bapak jangan masuk dulu. Demi keamanan kampus!" ujar seorang utusan, sekaligus yang membantu Sunarto mengajar. 

"Baik, sampaikan terimakasih. Pesannya sudah saya terima!" jawab Restu. 

"Maaf ya pak!" tanggapnya kembali. 

"Santai saja, manusia tak bisa menghukum. Jaga baik-baik nama kampus ya!" pinta Restu padanya. 

Seperti biasa, ia tak butuh uang dari hasil mengajar. Usahanya kini berkembang pesat. Hanya saja kini lelaki itu kehilangan tempat untuk berdiskusi dengan mahasiswa. 

Tapi itu tak berlangsung lama, Reihan membentuk koalisi mahasiswa membangun dan menjadikan organissi itu sebagai sarana berdiskusi kembali dengan sang dosen kebanggaan mereka. Meski acara selalu dilakukan diluar kampus, namun aura pendidikan sangat terasa. Mereka adalah generasi yang masih peduli dengan masa depan bangsa. 

****

Panggilan adzan berbunyi, Restu sholat sebaris dengan mahasiswa. Setelah usai, seorang mahasiswa duduk mendekat. 

"Kini aku percaya, semua yang bapak sampaikan adalah suara Tuhan," ujarnya polos. 

"Apa alasan kamu?" tanya Restu. 

"Karena Tuhan selalu bersama kebenaran!" jawabnya. 

Lihat selengkapnya