Restu Kelana

Lail Arrubiya
Chapter #2

Menyenangkan dan Menyebalkan

Majalah dinding sekolah di penuhi siswa yang penasaran namanya ada di kelas mana. Meski tak seheboh yang lain, Ana juga penasaran. Namun ia memilih menunggu yang lain puas memelototi nama mereka. Hanya lima menit, Ana sudah bisa melihat deretan nama yang terpampang di sana.

Tak lama Ana sudah bisa menemukan namanya di deretan atas. Kelas 10 IPA 1. Dibawahnya tepat sebuah nama yang sepertinya tak asing untuk Ana. Anindya Kinanti. Kalau tebakannya benar, berarti siswi yang mengajaknya berkenalan di hari terakhir masa orientasi akan sekelas dengannya.

Kelas Ana ada di lantai dua. Beberapa orang di belakangnya berlari menuju kelas agar mendapat bangku sesuai keinginan. Tapi Ana santai saja. Di manapun ia duduk, baginya sama saja.

“Ana!” seruan riang terdengar untuknya. Lambaian tangan menandakan ia harus datang ke arah si pemanggil. 

Ana menoleh ke kanan dan kiri, tak ada siapapun di bingaki pintu ini. Tatapan gadis itu masih tertuju pada Ana. Ia coba meyakinkan bahwa panggilan itu memang untuknya dengan menunjuk dirinya sendiri.

“Iya, sini!” Gadis itu masih berseru melambaikan tangan. 

Ana melangkah menujunya. Tebakan Ana benar, Anindya Kinanti itu anak baru yang berkenalan dengannya saat hari terakhir orientasi. Gadis itu masih menepuk-nepuk kursi menyuruh Ana duduk di sebelahnya.

“Duduk sama aku, ya?”

Tanpa berpikir lama Ana mengiyakan lewat anggukan. Lagipula ia tak kenal siapapun kelas ini. Bukan hal yang buruk, kan, jika bisa mendapat teman baru di hari pertama sekolah?

“Rumah kamu dimana? Naik apa ke sekolah?”

“Rumah aku di Gang Beta Mart. Aku naik angkot.”

“Kamu tinggal dimana sebelumnya? Bukan asli Bogor, ya?”

Ana mengeleng dengan senyum simpul. Anak ini mudah akrab, begitu pikir Ana.

“Aku dari Bekasi.”

Sebenarnya Kinanti masih ingin bertanya, namun sayang guru mata pelajaran masuk. Memaksanya bungkam sejenak. Meski cerewet, ternyata Kinanti akan langsung fokus jika guru sedang menerangkan. Dan itu menjadi nilai plus untuk Kinanti bagi Ana. 

Ana bisa bersekolah di SMA favorit ini berkat nilai memukaunya selama di SMP. Ana mendapat beasiswa prestasi untuk satu tahun kedepan. Jika ia berhasil mempertahankan prestasinya di tahun pertama, maka ia berhak mendapat beasiswa untuk tingkat selanjutnya. Setidaknya itu yang sedang Ana perjuangkan untuk membantu Ibunya.

Jam pelajaran keempat berakhir dengan ditandai bel sekolah. Mata yang tadi mengantuk kembali berbinar mendengar bel istirahat. Siswa yang kelaparan, berjalan lebih cepat menuju kantin sekolah yang pasti diserbu siswa lain. Tapi tidak dengan Ana.

“Ayo, An, kita ke kantin,” ajak Kinanti.

Lihat selengkapnya