Pagi ini Ana terlambat. Kakaknya mendadak sakit perut sebelum berangkat kerja, gara-gara semalam makan mie ayam super pedas saat bertugas menjaga di Puncak Paralayang. Mungkin Abim memang sedang apes saja. Toh, biasanya dia makan sambal sebanyak apapun tidak berefek pada perutnya.
Abim menyerobot Ana yang memang sudah terlambat setelah mencuci tumpukan piring semalam yang entah kenapa beranak-pinak.
Alhasil, Ana harus berlari begitu sampai di depan halte. Sambil berlari, ia mencari ikat rambut di saku jaketnya. Susah payah ia merogoh saku, akhirnya ia temukan. Masih sambil berlari, Ana mengikat rambut panjangnya.
"Ana!"
Seruan yang kini sudah tak asing di telinga Ana. Beberapa hari setelah Kelana menyatakan dirinya sudah berteman dengan Ana, mereka selalu berpapasan. Entah di jalan menuju sekolah atau tepat di gerbang sekolah.
Langkah Kelana dengan cepat menyusul Ana yang sudah selesai mengikat rambutnya.
"Kamu kesiangan?"
Ana hanya mengangguk.
"Lima menit lagi, ayo!" ujar Kelana sambil melihat jam tangan bermerk di pergelangan tangannya.
Kelana berlari sambil terus meneriaki Ana, seperti sedang lomba lari.
Anehnya, Ana justru menerbitkan segaris senyum di wajahnya. Kemudian ikut berlari bersama Kelana.
Sampai di depan kelas, nafasnya tersengal. Maklum, mereka berlari dari gerbang sekolah, lalu menaiki tangga. Bahkan wajah Kelana yang bersih terlihat memerah.
"Kelasku masih di ujung. Aku masih harus lari," ujarnya dengan nafas tersengal saat sejenak berhenti di depan kelas Ana.
Ana hanya melempar senyum.
"Dah, An."
Ana tak membalas salam perpisahan Kelana. Ia celingukan. Matanya memeriksa lorong. Memastikan semua siswa sudah di kelas. Tak ada yang melihatnya berlari bersama Kelana.
Ana membuka pintu kelas dan membuat semua mata tertuju padanya. Ada yang berseru kesal, "Kirain Bu Bella!"
"Tumben kesiangan?" tanya Kinanti.
"Gara-gara Kak Abim," jawab Ana singkat.
"Tadi ... kamu bareng sama Kak Lana?"
"Eh, itu ... tadi aku papasan di depan. Dia juga kesiangan."
Kinanti hanya ber-oh tanpa mengulik lagi.
Tiba-tiba, ada perasaan tak enak pada Kinanti. Ana tahu, Kinanti menyukai Kelana. Sama seperti siswi lainnya di sekolah ini. Meski Kinanti tidak pernah bilang secara langsung, namun sikapnya yang selalu sumringah bila bertemu Kelana sudah menjadi indikator.
Jam istirahat menjadi angin segar buat mata yang mengantuk dan perut yang lapar. Berbondong-bondong siswa keluar kelas sambil riuh membicarakan makan apa istirahat ini. Tentu saja ini tidak untuk Ana, dia sudah pamit ke perpustakaan pada Kinanti.