Makin dekat hari perpisahan angkatan akhir di sekolah ini, makin sibuk saja para pengurus organisasi sekolah. Persiapan acara bakti sosial hampir rampung. Sambil mencicil untuk Persian perpisahan angkatan akhir, seksi humas sudah memerintahkan setiap korlas (Kordinator Kelas) untuk mengawasi siswa yang akan berpartisipasi mengisi acara perpisahan.
Kinanti termasuk yang sibuk di kelas. Hampir setiap hari, baik di jam istirahat ataupun pulang sekolah, rapat OSIS digelar. Wajahnya tak kalah lesu dengan Kelana yang terakhir kali dilihat Ana di perpustakaan.
"Istirahat tadi kamu ga makan?" tanya Ana pada Kinanti yang makan camilan di sela-sela jam pergantian pelajaran.
"Boro-boro mau makan, baru aja jalan ke kantin, eh ... bel masuk."
Ekspresi Kinanti terlihat kesal.
"Tapi makin sering rapat OSIS, makin sering kamu ketemu Kak Lana, kan?" Ana mencoba menghibur dengan mengambil hikmah dari padatnya kesibukan di OSIS.
Yang dihibur menghela nafas panjang.
"Aku rasa Kak Lana memang baik sama semua orang. Dia ramah menjawab setiap orang yang bertanya. Dia bisa nyambung ngobrol sama siapapun. Aku ... ga merasa istimewa."
"Lalu kamu mau nyerah?"
"Entahlah. Kak Lana itu susah ditebak. Entah siapa yang dia sukai dari sekian banyak perempuan yang mendekatinya. Dia bersikap sama pada semua perempuan."
Kinanti kembali menghabiskan snack yang tinggal sedikit.
"An, seandainya yang disukai Kak Lana itu kamu, gimana?"
Ana mengerutkan alisnya, kemudian tertawa masam.
"Ga mungkin. Dia ga rabun, banyak siswi cantik di sekeliling dia. Lagipula aku udah jarang ketemu dia. Itu bukti kalau dia memperlakukan aku sama seperti siswi yang lain. Seperlunya."
Sikap Kelana yang ramah pada setiap orang memang membuat siswi disini bingung. Siapa sebenarnya perempuan yang disukai Kelana.
Kinanti berdecak.
"Memang, seorang Kelana itu sulit ditebak."
"Kenapa harus Kak Lana? Memangnya ga ada cowok lain yang kamu sukai?"
"Untuk saat ini nggak ada. Kak Lana cowok perfect di mata aku."
Ekspresi itu muncul lagi. Ekspresi berbunga-bunga meski hanya memikirkan Kelana.
Ana tak bisa melarang. Itu hak Kinanti, menyukai seseorang sampai tergila-gila. Dalam hati Ana, ia sama sekali tak berkeinginan seperti Kinanti. Terbuai dalam gelora asmara yang nantinya akan merugikan dirinya sendiri.
Pacaran hanya akan membuat nilainya menurun. Terlebih kisah satu tahun yang lalu, cukup memberinya pandangan buruk tentang cinta pada pasangan.
***
Waktu terus berlalu tanpa menunggu mereka yang tertinggal di belakang. Kalender di dinding sudah berganti bulan.
Kegiatan bakti sosial sukses di laksanakan di sebuah panti asuhan. Kini, tugas panitia perpisahan tingkat akhir yang dibuat sibuk.
Korlas sudah memastikan, setiap kelas akan berpartisipasi dalam acara perpisahan. Begitupun kelas Ana. Tapi, tentu saja Ana tak ikut. Dia tak tertarik. Fokusnya disini hanya belajar. Dan lagi, memang tak ada yang mengajaknya bergabung, kecuali Kinanti.
Tak masalah.