Restu Kelana

Lail Arrubiya
Chapter #16

Soal Hati

Ana berjalan menuju kelas. Ia harus segera mengganti seragam olahraganya. 

Toilet lebih lengang sekarang. Yang lain sudah lebih dulu berganti seragam. Jam istirahat masih tersisa lima belas menit. Ana merasa untuk pertama kalinya tak bergairah pergi ke perpustakaan. Ada perasaan aneh di hatinya.

Ana berjalan keluar toilet sambil memeluk seragam olahraganya. Sambil menerawang perasaan yang campur aduk. Namun yang dominan adalah perasaan bersalah pada Kinanti. Ana tak tahu harus mulai dari mana untuk menceritakan pertemuan demi pertemuannya dengan Kelana baik di sekolah maupun saat di villa milik orang tua Kelana.

Entah sudah berapa kali Ana mendesah gelisah. Menghela nafas, terasa berat. Tanpa disadari Ana berjalan ke area bawah sekolah. Tempat ia dan Kelana menghabiskan roti dan susu kotak saat istirahat, seusai dari perpustakaan.

Selain di perpustakaan, nyatanya di tempat ini Ana merasakan kenyamanan yang sama. Bahkan terasa lebih tenang. Jarang ada yang datang kesini, karena ini tempat dijadikan tempat penyimpanan barang bekas sementara. Tapi di mata Ana, tempat ini adalah tempat yang pas jika ingin sendiri. 

Bangku bekas yang tempo hari dijadikan tempa duduk mereka di bawah pohon, masih tetap di sana. Ana duduk, kemudian menghela nafas lagi.

"Si Damar itu menyebalkan!" hardik Ana pelan. "Kinanti pasti salah paham mendengarnya. Aku harus bilang apa sama Kinanti?" 

Ana kembali menghela nafas, kasar. 

Lima menit Ana hanya bersandar di bangku bawah pohon. Menikmati semilir angin yang lewat bersama udara sejuk yang terhirup. Ia memikirkan bagaimana ia akan menghadapi Kinanti jika mereka bertemu. 

"An," seru Kelana yang datang dengan wajah cemas.

"Loh, ngapain kesini?" Ana terkesiap melihat kedatangan Kelana.

"Kamu ga marah, kan? Damar cuma asal ngomong. Dia memang usil."

"Iya, dia memang nyebelin," pungkas Ana.

Kelana menarik satu bangku agar bisa duduk lebih dekat dengan Ana. 

"Kak Lana harus ke Rumah Sakit, kan? Kenapa malah kesini?"

"Aku takut kamu marah gara-gara ucapan asal Damar."

"Kinanti bisa salah paham," ucap Ana dengan nada menurun. 

"Salah paham kenapa?"

Lihat selengkapnya