Sepulang sekolah, Ana memberanikan diri mencari Kinanti di kelasnya. Saat Ana datang hampir semua murid kelas Kinanti sudah keluar.
"Kinan," seru Ana saat mendapati Kinanti di kelasnya. "Pulang sekarang?" Ana bertanya basa-basi.
"Aku ada rapat OSIS. Kamu duluan aja."
"Oh," gumamnya seakan canggung melihat ekspresi Kinanti dirasa sedikit berbeda.
Ana berusaha mencari cela agar bisa bicara soal ucapan usil Damar.
"An ..." Kinanti yang berseru duluan saat mereka hanya berdua di kelas. "Kayaknya Kak Lana suka sama kamu, deh."
Ana terkekeh, canggung.
"Mana ada. Kamu ga usah dengerin si Damar."
"Aku justru melihat dari sikap Kak Lana waktu ngejar kamu di UKS tadi."
Ana bingung. Bagaimana ia harus menjelaskan. Memang nyatanya Kelana malah menyusul Ana dan meninggalkan Kinanti.
"Aku ga masalah, kok, kalau Kak Lana suka sama kamu," ucap Kinanti dengan wajah lesu.
"Ga mungkin, Kinan. Aku itu ga ada apa-apanya di banding kamu. Jelas Kak Lana akan lebih suka sama kamu."
"Kamu ... suka sama Kak Lana?" tebak Kinanti.
"Eh?" Ana terjeda. Beberapa detik diam, seakan ragu menjawab. Bertanya pada hatinya. "Suka?"
Sekelebat rasa perih hadir, teringat sakit yang Ibunya rasakan saat sang ayah berkhianat.
"Nggak. Aku ... ga tertarik sama hal begitu. Aku hanya ingin fokus belajar disini."
Kinanti tersenyum. Berjalan menggandeng tangan Ana keluar kelas.
"Jangan asal bicara. Cinta itu bisa datang pada siapa saja. Dan kadang sulit di tolak."
"Aku punya tameng buat menghadangnya," jawab Ana sedikit lega mendapat perlakuan seperti biasanya dari Kinanti.
"Besok-besok, kalau kamu jatuh cinta ... cerita sama aku. Aku akan marah kalau kamu ga cerita."