Kasus Ana dengan Dessy Cs memang sepakat di tutup. Dessy dan antek-anteknya juga sudah dipindahkan. Tapi bukan berarti beritanya berakhir. Banyak yang masih membicarakan keberanian Ana melawan geng menyebalkan itu. Tapi tetap saja ada yang menilai konyol sikap Ana, cari sensasi katanya.
Bahkan Kinanti tak berhenti bertanya soal kejadian itu. Bagaimana bisa dia terlibat pertengkaran lagi dengan Dessy Cs. Atau sekedar saran untuk tidak ikut campur lagi jika Dessy Cs berulah. Dan tentu saja, Kinanti penasaran dengan sosok Zara yang dibantu Ana. Tapi Ana sendiri tidak tahu banyak hal tentang anak pindahan yang pendiam itu.
Kabar tentang pertengkaran Ana juga sampai pada Kelana yang sudah mulai sekolah. Siapa lagi kalau bukan Damar yang bercerita. Apalagi, Damar bercerita dengan ekspresi berlebihan. Membuat Kelana khawatir setengah mati.
Tapi sayang, gadis yang ia khawatirkan seakan menghindar darinya. Saat Kelana ke perpustakaan, Ana segera keluar, berusaha tak berpapasan. Bahkan Ana rela mengitari seluruh rak buku demi mengecoh Kelana.
Di bagian bawah sekolah, tempat penyimpanan barang bekas sementara, Ana yang sebenarnya sudah menyukai tempat itu terpaksa bersembunyi di belakang tumpukan kursi yang tak terpakai, saat melihat dari jauh Kelana berjalan ke arah tempat persembunyiannya. Bahkan ia harus menahan geli saat seekor kecoa berjalan santai di atas sepatunya.
Hingga bel berakhirnya jam belajar berbunyi. Ana lega. Seharian bisa menghindar dari Kelana. Ia bergegas keluar kelas, pamit pada Kinanti untuk pulang lebih dulu. Karena Kinanti harus ke ruang OSIS. Itu jadi indikator kalau Kelana pasti juga akan ke ruang OSIS untuk rapat.
Ana berjalan lebih santai setelah keluar dari gerbang sekolah. Memakai jaket dan mengencangkan ikat rambutnya.
"Ana!"
Ana berdecak kesal. Usaha sehariannya gagal. Suara itu jelas ia tahu pemiliknya. Sudah tidak asing sekarang.
"Hei, kamu menghindar, ya?" tebaknya langsung.
"Kenapa harus menghindar?" tanya Ana dengan tenang.
"Entahlah. Aku merasa kamu menghindari aku," jawab Kelana sambil mengangkat bahu.
Ana melanjutkan langkahnya. Dibuntuti Kelana.
"An, kamu ga nanyain kabar aku?"
"Gimana kabarnya?" Ana langsung bertanya.
"Hei, serius, kamu ga khawatir sama aku? Aku kira dua hari aku ga sekolah, kamu akan cemas atau .... kangen mungkin?"
Ana tak menggubris, tak juga menghentikan langkahnya.
"An, katanya kamu berkelahi sama Dessy? Kamu ga apa-apa, kan?"
Kini Ana terhenti. Tubuh mungilnya sedikit mendongak menatap tubuh tinggi Kelana.
"Berkelahi? Itu lebih cocok disebut pengeroyokan. Empat lawan satu?!"
Ana kembali kesal jika ingat kejadian itu.
"Oh, ya? Tapi kamu ga diapa-apain, kan?"
Ana berdecak, kemudian melanjutkan langkahnya. Halte sudah di depan mata.
"Aku cuma dijambak dan wajahku di coret-coret pakai lipstik."
Wajah Kelana terkesiap mendengarnya.
"Tapi tenang, aku bisa ngebalas mereka, kok."
Ana menatap Kelana yang kini berdiri di sampingnya di bawah atap halte.
"Kamu memang hebat. Beda dari yang lain."
"Maksudnya?"