Ana tak pernah mengira kalau Kelana akan mengantarkan novelnya hari itu juga. Bahkan sekaligus mengantar ibunya Ana yang baru pulang bekerja di perkebunan teh milik ayah Kelana.
Ana terkesiap saat melihat ibunya mempersilakan Kelana masuk. Dari ruang tamu kecilnya, jelas sekali Kelana duduk di sofa yang sudah tidak empuk.
"Kak Lana, kok ...?"
Kelana tersenyum sambil memperlihatkan novel yang hendak ia berikan pada Ana.
"Aku sudah janji mau ngasih novel ini, kan?"
"Iya, tapi ga mesti kesini, kan? Dan ... kenapa harus sama Ibu?"
"Memangnya ga boleh?"
Ana masih tak percaya melihat kedatangan Kelana.
Bu Syarifah datang dengan nampan berisi teh hangat. Menyuruh Ana duduk.
"Maaf, ya, Den, jadi merepotkan."
"Nggak, kok, Bu. Aku malah senang bisa mengantar Ibu pulang. Setiap hari pun ga masalah."
Bu Syarifah tahu Kelana bergurau. Ia menimpalinya hanya dengan senyum.
"Kalian mau ngobrol dulu? Ibu tinggal ke belakang sebentar, ya."
Kelana tersenyum senang. Memang itu tujuannya. Ia ingin bertemu Ana.
Semakin hari, perpisahan semakin terasa dekat. Kelana ingin banyak menghabiskan waktu dengan bertemu Ana. Sayangnya, di sekolah Ana kerap menghindarinya. Atau jika bertemu, Ana lebih sering membahas Kinanti diantara obrolan mereka. Tak ada obrolan soal perasaan.
"Kalau sore gini, kamu ngapain di rumah?" tanya Kelana mencomot topik lain.
"Kalau sudah selesai sama kerjaan rumah, ya, paling baca buku."
"Sekarang kerjaan rumahnya sudah selesai?"
Ana hanya mengangguk.
"Aku pernah bilang kalau Puncak Paralayang lebih indah kalau kita datang di sore hari. Apalagi, cuaca lagi cerah."
Ana sedikit melirik.
"Yuk!"
Ana tak mengerti apa yang terjadi dengan hati dan otaknya. Seperti tak sinkron.
Ana tak menolak ajakan Kelana.
Sore yang cerah, udara sejuk dan mentari sore yang perlahan menyiram seluruh kota dengan cahaya jingganya, Ana duduk berdua bersama Kelana, menatap hamparan kebun teh dan pepohonan hijau dari ketinggian. Selaput kabut tipis-tipis menghiasi pemandangan.
Udara semakin terasa dingin sekarang. Ana mengeratkan jaketnya. Memeluk lutut menatap mentari yang siap tumbang.
"An, minum dulu coklat hangatnya." Kelana menyodorkan segelas coklat hangat.
Ana meraihnya dengan senyum simpul.
"Aku sering berpikir, kok, bisa aku tinggal disini sekarang? Dari kota yang udaranya nyaris panas setiap hari, tiba-tiba aku menikmati udara sejuk setiap hari," kata Ana setelah meletakan kembali gelas coklat hangatnya.
"Kamu suka, kan, tinggal di sini?" tanya Kelana.