Setelah mendapat novel dari Kelana, tugas kelompok Ana dan Zara berjalan dengan baik. Ana bisa puas membaca tanpa merasa terburu-buru. Setiap hari Ana berdiskusi dengan Zara, di sela-sela pertukaran jam pelajaran atau Zara yang ikut ke perpustakaan.
Dari seminggu berdiskusi itu, Ana juga tahu kalau Zara sosok yang religius. Sebelum ikut Ana ke perpustakaan, Zara akan mampir mushola sekolah untuk sholat Dhuha. Hal yang membuat Ana berdecak kagum.
"Zara, ternyata kamu religius sekali, ya," ucap Ana saat mereka selesai berdiskusi di perpustakaan.
Zara menggeleng pelan.
"Aku cuma sholat Dhuha."
"Tapi, sholat Dhuha itu sholat yang ga semua siswa ingat. Bahkan mungkin kalau sedang di rumah."
"Kamu termasuk siswa itu, Ana?"
Pertanyaan Zara tepat sasaran. Ana sedikit menatap Zara dengan kerutan alis.
"Eh, maaf ... aku cuma bercanda," Zara berusaha meralat.
Ana justru terbahak melihat ekspresi Zara yang ketakutan.
"Kamu benar, Zara. Aku ... memang ga pernah sholat Dhuha. Mungkin kalau sering ngobrol sama kamu, aku bisa ikutan sholat Dhuha."
Zara tersenyum. Ia lega Ana tak tersinggung. Dari seminggu itu pula Zara tahu kalau Ana bukan hanya siswi yang galak. Justru menyenangkan bicara dengannya.
Dan, nilai kelompok Ana dan Zara menjadi yang tertinggi di kelas. Keduanya berseru senang saat Bu Bella mengumumkannya.
"Yess. Aku sudah yakin kalau nilai kita akan bagus," seru Ana setelah Bu Bella keluar.
Zara hanya tersenyum sambil mengangguk senang.
"Hmm ... Ana, apa aku boleh belajar sama kamu? Nilai pelajaran aku sangat rendah. Tapi ... aku malas pergi ke tempat les."
Suara ragu Zara membuat Ana menatanya.
"Eh, kalau nggak boleh, ga apa -"
"Boleh," sela Ana sebelum Zara meralat lagi ucapannya. "Kamu sering sekali meralat ucapan. Padahal aku belum jawab."
Zara tersenyum kaku.
"Ada yang bilang sama aku, kalau aku harus punya teman lain selain Kinan. Aku rasa ... kamu orangnya," ucap Ana dengan senyum yang memperlihatkan deret gigi putihnya.
Kelana benar, punya teman lain selain Kinanti sangat menyenangkan. Saat Kinanti semakin sibuk dengan kegiatan di OSIS, ada Zara yang menemaninya belajar. Di perpustakaan, di mushola atau terkadang di area gudang sekolah. Yang penting tempatnya tidak berisik.
Hari perpisahan semakin dekat. Pertemuan Kelana dengan Ana juga semakin sedikit. Kelana sibuk dengan berbagai kegiatan menjelang perpisahan dan bakti sosial. Di tambah, persiapannya menjelang keberangkatan ke Jogja.
Ana menyadari waktu mereka yang tak sama. Meski begitu, tetap saja sesekali matanya mengitari perpustakaan memastikan Kelana memang tidak datang hari ini.
"Eh?" Ana baru seakan menyadari sesuatu. Rasa aneh yang hadir karena ketidak hadiran Kelana.