Restu Kelana

Lail Arrubiya
Chapter #24

Cinta Pertama

Ketakutan Ana menjadi kenyataan sekarang. Bukan hanya tentang Kinanti yang marah soal pertemanannya dengan Kelana yang kian hari makin dekat. Tapi juga ketakutan tentang hati yang mulai rapuh. Yang temboknya mulai terkikis oleh perasaan dan perhatian yang diberikan Kelana. 

Harusnya, Ana bisa dengan tegas bilang pada Kelana bahwa ia tak menyukainya. Faktanya, ia tertegun. Sedikit bingung tentang hatinya. 

Tapi demi melihat Kinanti pergi dengan tatapan datar penuh kebencian, membuat Ana harus meninggalkan Kelana. Masa bodo dengan kebingungan yang tadi sempat hinggap. 

"Kinan!" seru Ana berusaha mengejar Kinanti. 

Yang dipanggil tak peduli, terus berjalan dengan gusar menuju gerbang sekolah. 

Ana mempercepat langkahnya hingga mampu menahan tangan Kinanti. Namun, segera ditepis oleh Kinanti. 

"Kinan, jangan salah paham ..."

"Aku ga salah paham. Jelas aku ngerti situasi kalian. Jangan munafik, An. Kamu menyukai Kak Lana, kan?"

Nafas Ana tersengal setelah berlari mengejar Kinanti, kini makin sesak saja rasanya. Tak bisa menyangkal ucapan Kinanti. 

"Kinan ... ini pasti salah. Perasaan aku cuma lagi bingung. Besok juga pasti sudah hilang," Ana berucap lirih. 

"Kamu menyalahkan perasaan kamu, padahal kamu sendiri menyadarinya. Kamu sering bertemu Kak Lana, berduaan di perpustakaan, di belakang sekolah. Ngapain kalau bukan karena kamu suka sama Kak Lana?"

Ana terdiam tak bisa mengelak. 

"Berhenti sampai disini. Aku kecewa berat sama kamu, An."

Kinanti pergi, dengan rasa sesak yang tak kalah menyakitkan seperti yang Ana rasakan. Ia merasa dikhianati sahabatnya sendiri. 

Ucapan Kinanti menghentikan semua usaha Ana untuk mencegahnya pergi. Sudah usai. Cerita persahabatannya dengan Kinanti sudah usai. Gara-gara cinta yang bahkan belum jelas ia rasakan. 

"Kinan!" panggil Ana sebagai upaya terakhirnya menghentikan Kinanti.

Nihil. Panggilan Ana tak dijawab. Kinanti berlalu tanpa menengok lagi ke belakang. Meninggalkan Ana dan perasaan bersalahnya.

Ana menelan ludah, getir. Air matanya terbendung di ujung mata. Menyekanya sebelum benar-benar jatuh. Ana menghela nafas, mengumpulkan tenaga untuk mengejar Kinanti. 

Ia tahu, Kinanti lebih senang menunggu jemputan di halte sekolah. Dengan langkah sedikit berlari, ia mengejar Kinanti. Berharap masih ada harapan. Bukankah selama ini dia hidup dengan prinsip pantang menyerah?

Dari jauh, Ana melihat Kinanti sudah berada di halte. Seakan tak sabar menunggu jemputannya datang, ingin segera pergi dan tak ingin bicara dengan Ana lagi. 

"Kinan!" 

Lihat selengkapnya