Libur sekolah sebentar lagi usai. Kali ini Ana benar-benar tak pergi kemana pun selama liburan. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah, belajar dan sedikit belajar membuat makanan untuk teman ngobrol saat mereka bertiga kumpul malam hari. Ana ingin melupakan kisahnya bersama Kelana selama ini. Katanya kesibukan bisa mengalihkan hati yang sedang terluka.
Dua hari terakhir sebelum libur sekolah usai, secara tiba-tiba, Zara datang bersama Hesti. Ia tahu rumah Ana saat mengantar Bu Syarifah pulang seusai acara perpisahan.
Awalnya, Zara menolak ide Hesti yang hendak mengajak Ana ke kedai kopinya. Zara takut mengganggu Ana, apalagi datang tanpa pemberitahuan. Tapi, kakaknya bersikeras datang ke rumah Ana. Menggertak Zara, bahwa dia akan tetap pergi ke rumah Ana meski sendirian.
Nyatanya, reaksi Ana saat melihat Zara dan Hesti datang justru disambut senyuman dan tanpa penolakan. Ana bersedia ikut Zara dan Hesti. Sebelum berangkat, ia meminta izin dulu pada Abim di mini market tempatnya bekerja.
“Ini dia, kopi andalan di kedai aku,” seru Hesti yang datang dengan dua gelas es kopi susu.
Meletakkannya di meja dan ikut duduk bersama Ana dan Zara.
“Ngapain ikut duduk? Kakak harus kerja, kan?” kata Zara seakan tak suka kakaknya ikut bergabung.
“Kamu ga lihat, kedai sedang sepi. Daripada aku ngantuk di belakang meja kasir. Mending ikut ngobrol sama kalian, kan?”
Ana hanya tersenyum melihat perdebatan kakak beradik di hadapannya. Sesekali Ana mengitari sudut kedai kopi yang tidak terlalu luas. Dan benar-benar tak ada pelanggan.
“Ana, jadi … bagaimana akhirnya hubungan kamu dan Kelana?”
Ana menautkan alisnya menatap Zara.
“Hei, tanpa Zara bilang pun aku tahu, anak itu menyukai kamu. Aku juga pernah muda, Ana,” kata Hesti.
“Dia cukup ganteng, dan dia juga juara umum, kan? Cocoklah dengan Ana yang cerdas.”
Ana memilih menyeruput es kopi miliknya tanpa ditawari.
“Atau … kamu menolaknya?”
Semakin Ana diam, semakin Hesti penasaran.
“Kami … berpisah sebagai teman,” ujar Ana menatap meja.
“Berpisah sebagai teman? Jadi … kalian ga pacaran?”
Ana menggeleng.
“Kak Lana harus kuliah di Jogja.”
Entah dorongan dari mana, Ana merasa ingin bercerita. Setelah perpisahannya dengan Kelana, banyak sekali yang Ana pikirkan. Bukan hanya soal perasaannya yang kini mulai mengakui bahwa ia suka, bahkan ia rindu. Tapi juga soal Kianti dan satu tahun kedepannya selama di sekolah. Ia ingin meruntuhkan satu beban agar lebih ringan menjalani hari esok.
“Tapi kamu menyukai Kelana?” praktis Hesti bertanya.
Zara menyikut lengan Hesti agar berhenti bertanya. Zara sudah khawatir Ana tak nyaman.