Hari pertama sekolah.
Ana dengan semangat barunya bersiap berangkat ke sekolah. Abim mengantar Bu Syarifah dan Ana berjalan kaki siap menyetop angkot di pertigaan jalan.
Hal yang selalu disukai Ana setiap berangkat sekolah. Hamparan perkebunan teh dan udara sejuk yang menyapa segar. Meski mulai terbiasa, tapi Ana tetap mengenakan jaketnya selama perjalanan ke sekolah dan baru melepasnya begitu masuk kelas.
Ana tak bisa berbohong, hari pertama sekolah, jalanan menuju gerbang sekolah dan semua yang ada di sekolah ini membangkitkan kenangannya bersama Kelana.
Di gerbang ini mereka kerap bertemu. Bicara tentang apa saja yang ringan tapi kemudian menjadi obrolan yang menyenangkan.
Kenangan itu datang tanpa bisa dicegah. Tapi Ana tak membiarkannya bertengger terlalu lama dalam benak. Ada satu tahun yang harus ia jalani di sini. Satu tahun terakhir untuk tetap menjadi juara umum. Tak ada yang bisa mengalahkan kegigihannya untuk terus menjadi juara. Demi membantu sang ibu meringankan biaya sekolah dan kuliahnya kelak.
“Ana … “
Selain Kelana, saat ini seruan yang memanggilnya juga berbeda. Bukan Kelana ataupun Kinanti.
Zara melambaikan tangannya di depan majalah dinding sekolah. Senyumnya lebar, berseri.
“Ana, kita satu kelas lagi,” ucapnya.
“Serius?”
Tidak seperti tahun lalu dimana ia santai saja menunggu para siswa yang berjubel di depan majalah dinding, kali ini Ana antusias melihat dan sedikit memaksa masuk diantara kerumunan di depannya.
Benar. Namanya berada di kelas yang sama dengan Zara. Tapi ada nama lain yang ia kenal di sana.
Kinanti.
Tahun ini mereka satu kelas.
Kalau kondisinya tak seperti ini, mungkin Ana akan senang. Tapi, kondisinya sekarang, Ana dan Kinanti sedang perang dingin.
Ana mengusir pikiran tak menyenangkan itu. Berusaha tak peduli. Lihat saja nanti, bagaimana reaksi Kinanti jika bertemu dengannya.
Ana dan Zara berjalan beriringan menuju kelas barunya. Tanpa perlu kompromi, Zara dan Ana otomatis duduk satu bangku lagi. Duduk di barisan ke tiga dari depan. Karena dua bangku sudah terisi oleh tas yang pemiliknya entah kemana.
Dari luar terdengar tawa riuh yang sudah lama tak didengar Ana, tapi ia mengenal siapa pemilik tawa riuh itu.
Dessy Cs.
Ana berdecak. Menduga kalau mereka akan ada di kelas ini.
Wajah Dessy yang pertama kali bertaut dengan Ana. Keduanya praktis memasang wajah datar. Sementara Jessy tertawa terbahak.
“Jadi Melly sama Netty sekelas sama anak centil itu,” seru Jessy.