Hidup yang tak berjalan sesuai keinginan memang menyebalkan. Tapi, coba tengok sekali lagi, apa ada bagian yang terlewatkan, apa ada hikmah yang tak tertangkap oleh nalar.
Satu bulan pertama cukup berat buat Ana, sekelas dengan Kinanti yang sama sekali tak ingin membalas senyuman dari Ana. Ana masih berusaha merubah keadaan, meski dengan hal kecil berupa senyuman. Tapi Kinanti benar-benar tak ingin memperbaikinya. Mungkin di benak Kinanti, persahabatan keduanya sudah benar-benar berakhir.
Di tambah lagi, kehadiran Melly dan Netty yang duduk persis di depan Ana dan Zara. Bukan member Dessy Cs namanya, jika tidak usil. Ada saja kelakuan menyebalkan dari mereka. Mengolok-olok Zara nyaris setiap hari, meremehkan siswa lain yang salah menjawab soal. Padahal mereka juga belum tentu bisa menjawab. Dan dengan sengaja mendorong kursi kebelakang, agar meja Ana dan Zara bergeser semakin sempit, dan mengacaukan tulisan Ana. Jika sedang kesal, Ana membalas dengan mendorong keras kursi Melly dan Netty dengan kakinya. Dan terjadilah pertikaian kecil.
Beruntungnya, tak ada perkelahian yang lebih dari keusilan mereka. Sepertinya mereka masih menimbang-nimbang untuk mengusili Ana lagi.
Namun, kian hari semua itu terasa biasa bagi Ana. Seperti makanan sehari-hari. Meski pahit tetap harus ditelan. Ana masih bersyukur, Tuhan masih memberinya penghiburan di saat dua orang terdekatnya pergi. Ada Zara yang kini lebih sering bersama Ana. Gadis pendiam ini sekarang sudah mulai banyak bicara.
Siang ini, saat bel pulang berdering keras, semua siswa berhambur keluar. Berebut jalan ingin segera keluar kelas menghirup udara segar setelah seharian otaknya dipakai berfikir keras. Ngebul.
“Zara, aku ke toilet dulu, ya. Kamu ga usah ikut. Duluan aja.”
Ana tidak seperti siswi kebanyakan yang suka berbondong-bondong ke toilet. Baginya toilet itu ruang privasi.
Tapi sial, pintu utama toilet terkunci.
Aneh, pikir Ana.
Masih ada siswa di sekolah tapi pintu toilet sudah di kunci. Ana mencoba menaik turunkan gagang pintu toilet. Mungkin saja macet. Tapi tidak bisa. Memang terkunci.
Tapi tunggu …
Ana menempelkan telinganya di pintu toilet. Samar-samar ia mendengar suara tangisan dari dalam.
Ana berdecak. De javu.
Ana berniat pergi saja, menahan keinginannya untuk buang air kecil. Ia tak ingin berurusan dengan Dessy cs seperti saat menolong Zara. Ia sudah pernah diperingati guru BK untuk menurut agar beasiswanya aman.
Ana balik badan. Berusaha tak peduli.
Tapi tertawaan Dessy Cs yang samar sungguh menyebalkan di pendengaran Ana. Tawa bahagia melihat keusilan mereka berhasil.
Ana mengehela nafas berat. Paling tidak dia harus jadi orang yang punya hati nurani, kan. Ana membalikkan badannya lagi. Ia menggedor pintu toilet. Tak ada jawaban. Tawa yang tadi terdengar samar, senyap. Tangisnya juga tak terdengar.
Ana kembali menggedor pintu. Ia tahu ada orang di dalam.
“Keluar!!! Aku mau pipis!” teriak Ana masih menggedor pintu.
Masih tak ada jawaban.
“Aku dobrak, tapi nanti kalian yang ganti rugi, ya?”
Duggghhh !
Ana menggertak dengan satu tendangan kecil. Tak berhasil.
Sekali lagi, Ana menendang pintu toilet. Tidak keras. Ia juga khawatir pintunya benar-benar rusak dan dia harus ganti rugi. Meski dalam gertakannya, Ana meminta mereka yang ganti rugi.
“Hei!” sebuah seruan terdengar dari belakang Ana.
Si kakak mantan ketua Osis yang kini jadi pembina Osis berdiri tepat di hadapan Ana sekarang.