Tak seperti biasanya, pagi ini Ana sedikit ragu untuk berangkat sekolah. Bu Syarifah sakit. Ana enggan meninggalkan Ibunya. Tapi Bu Syarifah bersikeras menyuruh Ana agar berangkat. Ia merasa ini hanya sakit ringan. Masuk Angin.
“Kamu berangkat saja. Nanti siang juga Abim pulang, kan.”
Ana merasa tak yakin. Semalam tubuh Ibunya menggigil, tapi kepalanya panas. Sedari pagi Bu Syarifah hanya berbaring di tempat tidurnya.
“Ana, selain nilai yang bagus, absensi juga mempengaruhi penilaian juara umum, loh.”
Ana tahu itu. Makanya, Ana tak pernah berfikir absen walau kadang tubuhnya memberi sinyal tak sehat.
Ana masih menimbang.
“Berangkat, Ana. Jangan khawatir. Sebentar lagi juga sembuh.”
Ana menghela nafas. Terpaksa berangkat meski nyaris terlambat.
Beruntung perjalanan lancar. Jika tidak gerbang sekolah yang nyaris ditutup Mang Ujang - satpam sekolah, tak akan memberi kesempatan Ana untuk masuk.
Ana berlari saat melihat gerbang akan ditutup. Menyeka keringat dengan nafas tersengal saat berhasil masuk. Menyiapkan nafasnya lagi untuk berlari ke kelas. Di saat berlari itu, kenangan Ana bersama Kelana muncul.
Saat ini, dia sendirian berlari mengejar jam pelajaran pertama saat nyaris terlambat.
Sudahlah, itu hanya kenangan. Jangan sampai merusak kegiatan belajarnya hari ini.
Sampai di kelas, nafas Ana tersengal. Mata Ana dan Kinanti sempat bersitatap sekejap, namun segera terlepas saat Ana melewatinya begitu saja.
“Aku kira kamu ga masuk,” ucap Zara.
Ana hanya menjawab dengan senyuman. Karena tak lama guru pelajaran pertama masuk. Ana segera mengeluarkan buku pelajarannya, bersiap menerima pelajaran.
“Netty, Melly dan Ana, kalian harus ke ruang kepala sekolah dulu.”
Seruan guru mata pelajaran Seni Budaya sempurna membuat alis Ana nyaris bertaut.
“Kenapa, An?” tanya Zara cemas.
Ana hanya mengangkat bahu. Ia memang tak tahu apa penyebabnya dipanggil ke Kepala Sekolah.