Sebulan ini, Ana mulai fokus dengan pemikirannya akhir-akhir ini. Melihat kondisi sang ibu yang semakin terlihat sering kurang sehat, membuat Ana berfikir untuk mencari pekerjaan. Maksudnya, jika Ana bekerja mungkin Ibunya tak perlu bekerja lagi.
Tapi saat Ana membicarakan itu dengan Ibunya dan Abim, niatannya ditolak mentah-mentah.
“Kamu fokus sekolah saja. Ga usah memikirkan yang lain. Ibu masih kuat.”
Begitu pun saat bicara pada Abim. Berharap di mini market tempatnya bekerja ada lowongan untuk pekerja paruh waktu.
“Tugas kamu sekolah bukan ngurusin biaya hidup.”
Ana mendengus kesal.
Apa ia harus bekerja diam-diam?
Pemikiran itu terus dibawa Ana hingga ke sekolah. Membuat Wiyan dan Zara menyadari ada yang tengah dipikirkan temannya ini.
“Kak Ana, kenapa?” tanya Wiyan pelan.
Mereka sedang ada di perpustakaan sekarang.
Ana hanya menggeleng. Tapi rautnya tidak bilang seperti itu. Sedari tadi Ana sudah berulang kali meralat penjelasannya. Bahkan nyaris lupa apa yang sedang ia jelaskan.
“Aku kurang fokus. Belajarnya udahan dulu, ya,” kata seraya menutup bukunya.
Zara dan Wiyan tak protes. Ikut saja Ana keluar perpustakaan.
“Hari ini aku yang traktir,” seru Wiyan berusaha memecah suasana yang terasa aneh.
“Kalian aja yang makan, aku ga ikut.”
Zara dan Wiyan saling tatap. Kemudian segera kembali membuntuti Ana yang pergi ke area bawah sekolah.
“Kak Ana lagi kenapa, sih?” Wiyan yang membuka pembicaraan setelah ketiganya duduk beralaskan kardus.
“Bukan karena Kak Lana, kan?” Zara memberanikan diri bertanya.
Ana sempurna melotor.
“Habis, terakhir kali aku lihat Ana murung, ya, karena Kak Lana,” sanggah Zara.
Sejenak lengang. Tak ada yang membuka suara lagi.
Semilir angin membuat udara semakin sejuk, tapi hati Ana tidak.
“Aku pengen kerja,” ucap Ana tiba-tiba.
“Kerja? Kak Ana mau berhenti sekolah?” Wiyan terkejut.
“Nggak. Aku … mau kerja paruh waktu.”
“Kenapa, An?” tanya Zara.
Ana menimbang untuk bercerita atau tidak. Menatap kedua temannya dengan mata sendu.
“Ibu sering sakit akhir-akhir ini. Seandainya aku kerja, mungkin Ibu bisa istirahat di rumah. Tapi … Ibu sama Kak Abim melarang.”
“Gimana kalau Kak Ana buka les privat?” usul Wiyan.
Ana berfikir sejenak. Itu masuk akal. Dengan kecerdasannya ia pasti mampu menjadi guru les, waktunya juga akan lebih fleksible.
“Tapi, siapa yang mau privat sama aku?”
“Aku,” seru Zara mengangkat tangan.