Di lapangan Ana berdiri bersama beberapa siswa yang kedapatan membawa rokok. Tentu saja semuanya lelaki, hanya Ana perempuannya. Serta tumpukan kosmetik yang siap dihancurkan.
Guru BK menatap Ana heran, tentu saja tak percaya Ana termasuk dalam gerombolan anak yang membawa rokok ke sekolah.
“Ana?”
“Rokok yang ditemukan di kolong meja saya bukan milik saya,” tegas Ana.
Guru BK menghela nafas. Ia selalu heran kenapa Ana mudah sekali terseret kasus di sekolah ini. Dan bukan kasus biasa.
Guru BK berjalan sambil memberi wejangan, memberi tahu bahaya rokok, meski sebenarnya mereka yang merokok pasti tahu bahayanya.
Terik mulai terasa, membuat keringat mengucur di dahi Ana. Dari tadi ia tak mendengarkan wejangan guru BK, ia menggerutu dalam hati karena tertinggal satu mata pelajaran.
“Saya sudah berulang kali bilang, kalau kalian kedapatan membawa rokok ke sekolah, artinya orang tua kalian harus datang besok.”
Mata Ana sempurna membulat.
“Pak! Tapi rokok itu bukan punya saya!” Ana langsung protes.
Ana tidak mau kalau Ibunya harus datang ke sekolah karena kesalahan yang tidak ia perbuat.
“Tapi anggota Osis menemukan buktinya di sana.”
“Pak, bisa saja ada orang yang sengaja menyimpan rokok itu di meja saya.” Nada suara Ana mulai meninggi.
“Kamu punya bukti?”
Ucapan guru BK membungkam Ana. Ia tak punya bukti.
“Hari ini saya pulangkan kalian. Kami akan menghubungi orang tua kalian hari ini juga.”
Yang lain langsung bubar, sementara anggota Osis lainnya siap memusnahkan kosmetik yang berhasil dirazia.
“Pak … rokok itu bukan punya saya,” Ana merengek membuntuti Guru BK.
“Ana, saya harus adil. Buktinya sudah jelas.”
“Bapak, apa selama saya sekolah di sini, saya pernah melakukan pelanggaran? Ini jelas ada yang sengaja menaruh rokok di kolong meja saya.”
Guru BK menghela nafas.