Lenguhan terus terdengar dari Ana. Pasalnya sudah sebulan selebaran itu disebar, belum ada yang menghubunginya untuk les.
Kepalanya ditidurkan di atas meja perpustakaan. Lesu sekali.
“Sabar, Kak Ana. Mungkin kita tunggu beberapa hari lagi.”
“Iya, An. Semangat, ya.”
Kedua sahabatnya sibuk menyemangati Ana. Semangatnya pudar seiring hari yang tak membuahkan hasil.
“Ternyata cari uang itu sulit, ya,” celetuk Ana.
Perlahan kepalanya terangkat, kemudian menghela nafas.
“Sepertinya aku harus cari pekerjaan lain. Pekerjaan yang bisa langsung menghasilkan uang.”
Zara dan Wiyan saling tatap.
“Zara … apa di kedai Kak Hesti menerima pekerja paruh waktu?”
“Eh? Kerja di kedai? Itu … memangnya boleh sama Ibu?”
“Boleh. Apa aja, yang penting aku bisa dapat pekerjaan.”
Zara menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Tapi sungguh jika rezeki, maka ia akan jadi milikmu. Ana yang sebulan terakhir bersemangat dengan harapan mengajar les harus kecewa karena tak ada yang menghubunginya. Tapi, saat Zara bertanya pada Hesti, pas sekali. Kedainya sedang butuh orang. Karena satu karyawannya akan pulang kampung.
Demi melihat Ana bersemangat kembali, Hesti mengizinkan Ana bekerja paruh waktu. Dengan catatan ia sudah mendapat izin dari Ibunya.
Kali ini Ana terpaksa berbohong. Ia bilang pada Ibunya harus bekerja di kedai Hesti karena sudah terlanjur menyanggupi bekerja disana. Tak enak jika ia harus menolak.
“Ibu ga kasih, kalau harus pulang malam.”
“Ga malam banget, kok, Bu. Jam tujuh sudah boleh pulang.”
“Tetap saja.”
“Bu, Ana sudah besar, loh. Pulang jam tujuh masih aman buat Ana. Ini kesempatan Ana, Bu.”
“Kesempatan apa? Ibu sudah bilang, kamu ga perlu mikirin soal biaya sekolah dan keperluan rumah. Ada Abim sama Ibu.”
Ana menggigit bibirnya.
“Bu, Kak Abim sampai putus kuliah demi membantu Ibu. Aku ga sampai putus sekolah. Cuma kerja paruh waktu. Aku juga mau berguna buat keluarga kita.”
“Kamu sudah membantu dengan tetap berprestasi di sekolah.”
“Ana akan tetap berprestasi. Ana janji.”
Ana menegaskan lewat sorot matanya.
“Bu … boleh, ya?”
Bu Syarifah menghela nafas. Anak-anaknya memang keras kepala. Tapi setidaknya Ana benar, ia tidak sampai harus putus sekolah.
Berhasil.
Ana resmi bekerja di kedai kopi Hesti sepulang sekolah.
***
Ana bersemangat sekali di hari pertamanya bekerja. Pulang sekolah, langsung berangkat, demi menghemat ongkos. Kali ini tasnya akan lebih berat dari biasanya, karena Ana harus membawa baju ganti untuk bekerja.
Kedai Hesti mulai banyak peminatnya setelah racikan kopi diperbaiki. Menurut Hesti itu juga berkat kritikan Ana.
Celemek hitam sudah terpasang di badan. Rambutnya terikat rapi. Hesti mengingatkan Ana untuk sering tersenyum, karena keramahan menjadi salah satu motto disini.