Dua minggu ini Ana merasa semangatnya tak turun sedikit pun. Sepulang sekolah, ia berangkat kerja. Sesekali belajar jika kedai sedang senggang. Dan pukul tujuh malam ia akan pulang naik angkot.
Dan seminggu yang lalu, Zara resmi bergabung di kedai. Ia sudah terbiasa melihat Ana bekerja di kedai sekarang, bahkan dirinya menjadi chef dadakan di dapur. Meski dadakan, ucapan Ana benar, roti bakar buatan Zara enak.
Kini Ana juga mulai terbiasa bertemu Damar dan Restu di kedai. Dua pria itu memang sering datang sambil belajar. Damar mengambil jurusan yang sama dengan Restu, meski mereka berbeda kampus. Kedekatan keduanya memang sudah terjalin sejak masih di sekolah.
Meski terkadang bayangan tentang Kelana lewat melalui Damar, Ana bisa mengendalikan perasaannya dengan baik.
Malam ini, jam kerja Ana sudah selesai. Ia menggantungkan celemek di gantungan yang berada di dapur. Mengenakan jaket dan merapikan rambutnya.
“Zara, aku duluan, ya,” pamit Ana pada Zara yang juga mulai lengang pekerjaannya.
“Hati-hati, An,” kata Zara seraya melambaikan tangan.
Keluar dari dapur, Ana berpamitan pada Hesti. Berbasa-basi sedikit, kemudian berlalu.
Di meja depan, Restu dan Damar masih sibuk berdiskusi. Damar yang melihat Ana langsung bertanya, “sudah selesai, An?”
“Iya, Kak. Duluan, ya … “ pamit Ana yang sebenarnya tertuju pada keduanya.
Hanya saja Restu seperti tak merespon. Ana tak mempedulikan itu, tetap beralu dan siap menyetop angkot di depan.
Pukul tujuh malam, jalanan masih ramai. Satu dua lampu menghiasi pinggir jalan. Pemandangan hijau di luar terlihat gelap sekarang. Hanya titik-titik lampu yang terlihat jelas. Tapi itu tetap indah buat Ana.
Dalam angkot hanya ada tiga orang termasuk Ana. Dua laki-laki. Ana terpaksa duduk sedikit ke dalam, karena dua laki-laki itu duduk masing-masing di samping dan depan pintu.
Lima menit perjalanan, penumpang lelaki di samping pintu turun. Menyisakan Ana yang duduk sejajar dengan lelaki di depan pintu. Gelagatnya aneh, di tambah penampilannya yang berantakan dan bau alkohol. Lamat-lamat menatap Ana. Meski Ana melihat ke luar jendela. Jelas Ana menyadari sedang di perhatikan. Perasaannya mulai tak tenang.
Lelaki itu menggeser tubuhnya mendekati Ana. Menyalakan rokok.
“Maaf, Pak. Ini di angkutan umum, ga oleh merokok,” tegur Ana dengan wajah ketus.
Lelaki itu menyeringai, tanpa mematikan rokoknya.
“Sebentar doang,” jawabnya kemudian. “Neng, malem-malem, abis darimana?”
Ana tak menggubris, tetap menatap ke luar jendela angkot yang terbuka.
Lelaki itu kembali menggeser tubuhnya, semakin dekat dengan Ana. Kepul asapnya makin terasa di penciuman Ana. Membuatnya terbatuk.
Perasaannya makin tak enak. Ana memilih turun di sembarang tempat.
“Kiri, Bang,” seru Ana bergegas turun.
Tapi tangannya ditahan.
“Mau kemana?”
“Lepas!” tegas Ana. “Bang, ini penumpangnya kurang ajar,” Ana mengadu, berharap mendapat batuan.
“Mang, lepasin aja. Karunya, awewe (kasian, perempuan),” ucap si supir dengan bahasa setempat. Terlihat sedikit segan.
“Cicing sia!” (Diem lu!)
Dihardik begitu, si supir langsung ciut. Sementara Ana masih berusaha melepaskan tangannya yang digenggam erat.
Ana ditarik hingga terduduk di sampingnya.
“Cicing, tong ngalawan (Diem, jangan melawan),” anacamnya dengan memperlihatkan puntung rokok menyala di depan wajah Ana.