Selama perjalanan, tak banyak obrolan tercipta. Ana lebih sering meniup-niup luka bakarnya yang masih terasa perih meski sudah diolesi salep.
"Hmm ... aku boleh minta tolong," ucap Ana saat laju motor Restu melambat karena ada sedikit kemacetan.
"Apa?"
"Tolong, ga usah cerita soal kejadian tadi."
"Kenapa?"
"Ibu sama kakakku orangnya mudah khawatir. Bisa-bisa aku ga dapat izin kerja lagi."
Restu mengerti maksud permintaan Ana. Tanpa Ana jelaskan panjang lebar, Restu tahu Ana sedang membutuhkan pekerjaan ini.
"Oke," jawab Restu singkat.
"Teman-teman aku juga. Kalau bisa mereka juga ga perlu tahu."
"Kenapa?"
"Ya, sama. Mereka juga terlalu khawatir sama aku."
Restu hanya ber-oh.
Tak ada obrolan lagi setelahnya. Hanya instruksi Ana saja yang mengarahkan jalan.
Kedatangan Ana yang terlambat disertai kehadiran Restu dipandang mencurigakan oleh Abim. Mode kakak siaga menyala. Menatap Restu dengan alis berkerut.
"Dia ... alumni sekolah aku. Kebetulan ketemu di kedai. Tadi ... angkotnya mogok, terus ketemu Kak Restu di jalan."
Ini pertama kalinya Ana menyebut Restu dengan panggilan Kakak, setelah sebelumnya mereka terdengar kaku jika bicara.
"Tangan kamu kenapa?" tanya Bu Syarifah yang langsung menyadari luka di tangan Ana.
"Oh, ini? Kena kompor, tadi aku bantuin Zara bikin roti bakar. Maklum, amatiran," jawab Ana dengan senyum kuda yang kaku.
"Eh, Restu mau masuk dulu, minum teh hangat barang kali?" Bu Syarifah menawari dengan ramah.
"Nggak usah, Bu. Saya langsung pamit. Sudah malam," jawab Restu tak kalah sopan.
Menyalami Bu Syarifah dan Abim, kemudian berlalu. Ana menunggu Restu sampai hilang dari pandangan.
"Kamu jadi punya banyak teman laki-laki," kata Abim setelah yakin Restu tak terlihat.
"Eh? Banyak?"
"Dulu, kamu ke puncak paralayang sama cowok juga, kan?"
Ana melotot. Berusaha bilang tak usah mengingatkan. Tapi yang dipelototi justru terkekeh.
"Sepertinya Ana mulai puber, Bu," goda Abim seraya berlari mengetahui Ana akan memukulnya, kesal.
Bu Syarifah hanya tersenyum melihat Ana yang benar-benar mengejar Abim.
Abim benar, Ana memang sudah mulai puber. Sudah pernah jatuh cinta meski tak pernah terucap dan Ana masih kerap menyangkal. Padahal, sosok Kelana sering hadir tak terduga dalam benaknya. Apa lagi jika bukan rindu?
***
Luka di tangan Ana tentu saja disadari Zara dan Wiyan. Pertemuan setiap pagi di gerbang sekolah menjadi ritual mereka sekarang. Sepagi itu, Wiyan sudah menyadari luka bakar di tangan Ana. Jawaban Ana tak jauh berbeda dengan jawaban yang diberikan pada Ibunya. Luka ini karena kena kompor. Ana tahu Wiyan tak akan bertanya sampai disitu. Sebelum itu terjadi, Ana membungkam mulut Wiyan dengan tentengan yang ia bawa.
"Risol mayo hangat buat sarapan," kata Ana.
Seketika mulut Wiyan yang hendak menyerbu dengan pertanyaan lain terbungkam. Berganti dengan suara girang, akan mendapat risol mayo buatan Ana yang enak.
"Kak Ana, kenapa ga jualan risol aja di sekolah?"