Benar, nama Ana menjadi salah satu peserta cerdas cermat yang mewakili sekolahnya di tingkat kabupaten. Itu artinya, Ana harus ikut latihan sepulang sekolah dengan dua orang terpilih lainnya. Keadaan ini membuat Ana harus terlambat ke kedai. Karena Ana bukan tipe orang yang memanfaatkan kebaikan orang lain, ia dengan suka rela menambah jam kerjanya di kedai. Ia pulang pukul delapan malam sekarang. Jika Abim tidak ada pekerjaan di tempat lain, maka ia akan menjemput Ana pulang kerja.
Dua minggu ini, kegiatan Ana cukup padat. Tapi Ana tak mau mengeluh. Apalagi minggu ini Ana akan menerima gaji pertamanya. Hatinya sudah berbunga membayangkan akan menerima gaji. Banyak sekali yang ingin Ana lakukan dengan uang itu. Tapi satu hal yang selama sebulan ini ia bayangkan dengan uang dari gaji pertamanya itu.
Setiap hari, Ana memperhatikan pakaian Ibunya. Sudah lama sekali Ibunya tak membeli baju baru. Baju sehari-harinya lusuh, jilbabya apalagi. Hanya beberapa baju yang masih terlihat bagus, sengaja dikenakan hanya saat acara-acara tertentu. Seperti kenaikan kelas misalnya.
Mungkin bukan baju mahal. Tapi, Ana sudah bertekad membelikan Ibunya baju baru.
Maka malam ini, Ana bekerja dengan wajah ceria. Riang menyapa tamu yang datang. Cucian piring dan gelas kotor, tak di lewatkan Ana. Sebelum jam pulang, semua perabotan sudah bersih.
“Ana … udah mau pulang?” tanya Damar yang malam ini kembali menemani Restu belajar di kedai.
“Iya, sebentar lagi,” jawab Ana yang baru saja mengantarkan kopi ke meja sebelah mereka.
“Kamu juga mau pulang?” tanya Damar pada Restu.
Yang ditanya mengerutkan alis, seakan mengerti sedang diledek.
Senang sekali Ana, malam ini dia dapat gaji pertamanya. Tak besar memang. Tapi, itu cukup untuk membantu Ibu dan kakaknya. Setidaknya, untuk keperluan alat sekolahnya.
Besok, Ana berencana membeli baju baru untuk Ibunya. Zara dan Wiyan sudah setuju untuk ikut. Membantu Ana memilihkan baju.
Keesokan harinya. Hari Minggu.
"Bu, aku pamit, ya," kata Ana dengan wajah cerah.
"Iya, hati-hati. Belajar yang tekun, kamu itu kebanggaan Ibu dan Abim."
Ana mengangguk yakin. Semenjak Abim memutuskan berhenti kuliah, Ana berazam untuk menebus pengorbanan Abim dengan sekolah setinggi-tingginya.
Sebelum Ana pergi ke toko baju, ia harus ikut latihan untuk lomba cerdas cermat terlebih dahulu. Bersama dua siswa dari kelas lain, Ana berdiskusi memecahkan soal-soal yang cukup sulit dan sering muncul di acara cerdas cermat. Kali ini Ana sedikit hilang fokus, selain sudah tak sabar membelikan baju untuk Ibunya, Kinanti juga ada di sini. Membuat suasana sedikit canggung.
Ana tahu, beberapa kali Kinanti memang hadir saat latihan. Tapi tidak sampai berdiam lama di kelas. Ia memilih pergi ke ruang Osis. Tapi kali ini, Restu memintanya mengawasi jalannya latihan. Restu terlambat datang hari ini.
Satu jam berlalu cukup menguras otak. Suara lenguhan terdengar beberapa kali, bergantian dari siswa dan siswi di samping Ana. Mereka ingin segera pulang. Ini hari libur.
Dari luar jendela terlihat Zara dan Wiyan sudah menunggu.
“Kak Ana lama banget, sih …” gerutu Wiyan yang sudah menunggu sepuluh menit.
“Sabar. Mungkin karena cerdas cermat tinggal beberapa minggu lagi, persiapannya harus makin matang, kan.”