Keadaan rumah terasa sangat berbeda malam ini. Sepi sekali. Tak ada obrolan di ruang tamu. Tak ada sosok yang bertanya bagaimana harinya di sekolah. Kamarnya tak berpenghuni sekarang. Ana perlahan masuk ke kamar, memperhatikan kamar kecil yang tak di penuhi banyak barang. Aroma kamar ini khas sekali, wangi tubuh ibunya bisa tercium oleh indera penciuman Ana.
Mengitari sekitar saja, hati Ana sudah terenyuh lagi. Tapi ia memaksa masuk dan berbaring di kasur ibunya. Kasur yang sudah tidak empuk ini, menemani malam-malam ibunya. Menyimpan aroma tubuh ibunya. Ana kembali menitikan air mata.
"Bu ... apa Ana bisa tanpa Ibu?" ucapnya lirih.
Semua kenangan tentang ibunya terputar otomatis dalam benaknya. Kenangan indah meski dalam keadaan susah.
Lalu tiba-tiba, sosok yang kini ia benci hadir di antara banyaknya kenangan manis. Merusak gambaran indah itu.
Ayahnya.
Tangis Ana berubah menjadi benci. Ia menyalahkan ayahnya atas semua yang terjadi pada Ibunya. Gara-gara ayahnya, sang ibu harus banting tulang mencari nafkah. Sementara dia hidup sejahtera bersama istri barunya.
Sungguh, wajah itu semakin ia benci sekarang.
***
Menjelang petang, Ana menatap sosok yang kini menatapnya sendu. Jarak antara keduanya tak jauh, hanya satu meter.
Ana sedikit bingung menatapnya. Tapi jelas ia ikut berduka dengan apa yang tengah Ana alami.
Kinanti melangkah menuju Ana.
Memeluknya dengan isak kecil yang kemudian terdengar.
"Maaf, Ana. Harusnya aku datang lebih awal, begitu mendengar berita kepergian Ibu. Tapi gengsiku terlalu tinggi."
Perlahan Kinanti melepaskan pelukannya. Menatap Ana dengan mata yang basah.
"Kamu mau memaafkan aku, An?"
"Dari awal aku yang harus minta maaf sama kamu. Tapi kamu ga mau mendengar permintaan maafku. Aku ngerti, kok, saat itu kamu pasti marah sekali sama aku."
"Iya, saat itu aku marah sama kamu karena ternyata ... kalian punya hubungan yang dekat. Bahkan lebih dekat dari bayanganku. Tapi kemudian, aku makin menyadari, kalau marahku bukan hanya soal kedekatan kalian, tapi juga keegoisan aku. Begitu egoisnya aku, bercerita betapa sukanya aku sama Kak Lana, sampai membuat kamu merasa ga enak buat cerita soal kedekatan kalian. Harusnya, aku lebih menerima kenyataan kalau Kak Lana lebih menyukai kamu. Ana ... kamu, mau, kan memaafkan aku?"
Ana tersenyum simpul.
"Kita baikan?" Kinanti menegaskan
Ana mengangguk masih dengan senyum. Pelukan Kinanti kembali menghangatkan hati Ana.
Beberapa waktu kemudian, Ana dan Kinanti memilih duduk di kursi teras rumah.