Beberapa hari Ana banyak merenung. Memikirkan bagaimana hidupnya nanti tanpa sang ibu. Hingga kalimat terakhir yang ibunya ucapkan untuk terakhir kali sebelum Ana berangkat untuk latihan cerdas cermat. Bahwa dirinya adalah kebanggaan Ibu dan kakaknya.
Mengingat kalimat itu, Ana merasa harus meneruskan hidupnya dengan baik.
Di kamar sang ibu, Ana memandang foto dalam figura kecil. Foto dirinya dan Abim saat Ana duduk di bangku SMP. Ana tahu ibunya sering memandangi foto itu. Entah apa yang dipikirkan ibunya saat melihat foto itu. Kadang ada senyum tercipta, kadang juga air mata.
Malam ini, Ana juga memandang foto itu dengan air mata. Ana merasa foto itu memberi kenangan lama yang indah namun kemudian menyakitkan. Di satu sisi, foto itu juga memberi sebuah semangat dalam diri. Bahwa masih ada Abim yang akan menemani dirinya melanjutkan hidup.
“Ana akan menggapai cita-cita seperti yang Ibu mau. Ana akan sekolah setinggi mungkin. Ana akan membalas budi Kak Abim, yang merelakan kuliahnya demi sekolah Ana. Ibu … doakan Ana dari sana, ya.”
Tekad Ana sudah kuat. Ia harus kembali ke sekolah dan menggapai mimpinya.
Pagi-pagi Ana bergegas menyiapkan keperluan sekolah. Dari dapur terdengar suara perabotan beradu. Ana penasaran, apa yang dilakukan Abim.
“Kak Abim ngapain?” Ana mendekat ke arah Abim.
“Aku bikin nasi goreng buat sarapan kita. Semoga enak,” ucapnya dengan senyum yang dipaksakan.
“Itu tugas aku, Kak. Aku, kan anak perempuan.”
“Aku bukan pria yang menganut patriarki,” pungkasnya sambil menyajikan nasi goreng dalam dua piring. “Nih, bagian kamu. Mungkin ga seenak masakan Ibu. Tapi … lumayan, lah.”
Ana meraih piring nasi gorengnya, memperhatikan nasi goreng miliknya. Porsi di piring Ana lebih banyak di banding milik Abim. Telurnya juga lebih berlimpah di piring Ana.
“Porsi aku kebanyakan. Aku ini perempuan, jangan terlalu banyak makan. Kalau badanku gemuk bisa bahaya,” ucap Ana sambil menukar piringnya dengan piring Abim di meja makan.
“Ana, kamu itu perlu banyak energi buat sekolah.”
“Segini sudah cukup.”
Ana segera duduk dan menyuap nasi gorengnya agar tak di tukar Abim lagi.
Sejak dulu Abim memang begitu. Selalu memperhatikan kebutuhan Ana terlebih dulu di banding dirinya sendiri.
Ana mengunyah nasi gorengnya dengan hati yang terenyuh.
***
Ana menghela nafas begitu turun dari anguktan umum. Berjalan dengan mantap menuju sekolah sambil mengikat rambutnya. Dan masih dengan jaket khasnya. Meski sebenarnya ia mulai terbiasa dengan udara dingin disini.
Memasuki gerbang sekolah, Ana tersenyum. Melihat kini ada tiga orang yang menyambutnya dengan senyuman kemudian berlari dan berhambur memeluk Ana.
“Akhirnya Kak Ana kembali,” seru Wiyan dengan mata yang basah.
“Kamu kenapa, Wi?” tanya Ana.
“Dia memang suka agak lebay,” kata Zara dengan mata yang sama.
“Alhamdulillah. Kamu sudah siap belajar lagi sekarang, An?” tanya Kinanti.
Ana mengangguk yakin.
“Belajar dan mengajari kami, ya, Kak Ana.” Wiyan nyengir.
Mungkin hati Ana belum sepenuhnya sembuh, tapi bukan tidak mungkin kehadiran mereka bisa membantu luka Ana sembuh lebih cepat.