Restu Kelana

Lail Arrubiya
Chapter #43

Badai Kedua

Ana bersyukur, saat badai menyapa hidupnya, Tuhan memberi pelangi setelahnya. Sahabat yang kini setia mengisi hari Ana dengan ceria, perlahan membuat Ana kembali cerah.

Bahkan Kinanti sering datang ke kedai saat Ana bekerja. Wiyan yang mengetahui itu nekat ikut ke kedai. Maka, saat kedua orang itu datang, kedai akan ramai oleh obrolan. Dan kemudian, keinginan Wiyan soal belajar di kedai akhirnya tercapai. Ana pasrah saat ia dan Kinanti datang membawa buku ke kedai.

Dan malam hari, Ana juga punya dua orang yang akan ia sapa saat bekerja. Restu dan Damar. Intensitas kedatangan keduanya semakin sering, sampai-sampai Hesti memberinya lencana pengunjung setia.

Semua berjalan lancar sampai mendekati hari kelulusan.

Tapi, Ana merasa ada yang berbeda dari kakaknya. Abim lebih sering keluar malam, dengan jam kerja yang tak tentu. Bahkan ia sering tak sempat menjemput Ana pulang kerja. Membuat Restu yang akan mengantarnya pulang.

“Kak Abim, sebenarnya Kak Abim kerja di mana sekarang? Memangnya ga capek, pulang dari mini market langsung berangkat lagi? Ini sudah jam sembilan, loh. ”

“Nggak, tenang aja. Pekerjaannya enteng, kok. Tapi gajinya lumayan,” kata Abim yang tengah mengenakan jaket. “Kamu harus melanjutkan kuliah di kampus yang bagus. Aku akan berusaha supaya kamu bisa masuk kampus terbaik.”

Ana menghela nafas. Salah satu yang selalu membuat Ana bersalah. Setelah kehilangan kesempatan melanjutkan kuliah, Abim juga harus bekerja keras demi kuliah Ana.

“Yang terpenting itu bukan kampusnya, tapi hasil belajarnya.”

“Ya, itu ga salah. Tapi kalau kamu masuk kampus yang bagus, kamu akan di pertimbangkan saat bekerja.”

“Kalau aku, sih, ga mesti masuk kampus favorit. Kita ga usah maksain. Kalau aku punya skill dan nilai yang baik, pasti di pertimbangkan juga.”

Abim hanya tersenyum. Ia sudah siap berangkat.

“Oke, aku percaya kamu punya skill dan nilai yang baik. Tapi sebagai Kakak, aku mau ngasih kamu yang terbaik.”

Ana meraih tangan Abim untuk mengecupnya.

“Hati-hati, ya.”

Abim mengelus kepala Ana dengan lembut.

“Kamu tidur duluan aja, ga usah nunggu aku. Mungkin aku pulangnya larut, atau bisa jadi subuh baru pulang.”

Ana hanya mengangguk. Mengantar Abim sampai teras rumah. Memandangnya hingga tak terlihat lagi karena gelap malam.

Sungguh dalam hati, Ana khawatir akan kesehatan kakaknya. Abim terlalu memaksakan diri untuk bekerja. Itu semua mengingatkan Ana pada ibunya. Ana takut sekali ditinggalkan, lagi.

Lihat selengkapnya