Lagi-lagi dua hari Ana tak masuk sekolah. Kondisinya lebih menyedihkan di banding saat ditinggal sang ibu. Wajahnya lesu, matanya sembab, tubuhnya terlihat ringkih. Tak ada gurat cerah yang baru saja ia dapat dari hari yang lalu.
Saat sahabatnya datang, sama sekali tak membuat Ana berubah. Ia berwajah sendu. Bahkan saat bicara saja ia menitikan air mata. Benar-benar jauh dari sosok Ana yang mereka kenal selama ini.
Dan saat saat mentari senja mulai menyiram seluruh kota ini, seseorang yang juga mengkhawatirkan Ana memberanikan diri datang. Tepat saat ia datang, Ana tengah termenung di teras rumahnya. Terlihat berharap Kakaknya pulang.
“Assalamu alaikum.”
Ana segera menyeka air mata yang turun tanpa suara. Kemudian menjawab salam dari Restu dengan pelan.
“Ehm … maaf, saya … cuma ingin lihat keadaan kamu.”
Restu melangkah kemudian meletakkan plastik berisi makanan dan segelas coklat hangat dalam tumbler.
“Sudah makan?”
Ana menggeleng.
“Jangan sampai sakit. Ini ada coklat hangat dan martabak coklat. Katanya, coklat bisa membuat perasaan lebih baik,” ucap Restu sambil membuka kotak martabak dan menyodorkan gelas coklat hangatnya ke hadapan Ana.
Ana hanya menatapnya. Membuat Restu sedikit canggung.
“Eh, maaf … saya sok dekat sekali, ya? Saya cuma …”
“Terima kasih. Kak Restu ga perlu repot bawain aku makanan,” kata Ana tanpa segaris senyum pun.
“Ini ga repot, kok.”
Lengang sejenak. Yang terdengar hanya helaan nafas berat dari Ana.
“Aku ... ga bisa melihat masa depan aku sekarang,” ucap Ana dengan suara bergetar.
Restu menoleh. Melihat air mata yang sudah mengalir deras tanpa suara.
“Semuanya runtuh,” lanjut Ana lirih dan perlahan mulai terisak.
Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Membiarkan Restu mendengar isak tangisnya yang perih. Ini kali kedua Restu melihat Ana menangis seperih ini. Perempuan tangguh yang ia kagumi saat masa orientasi siswa benar-benar rapuh saat ini. Hati Restu ikut teriris.
Maunya Restu menenangkan Ana yang terisak. Namun, seperti ada sekat yang menahannya. Membuatnya hanya menatap Ana yang terisak dengan tatapan sendu.
“Ah, maaf …” kata Ana setelah beberapa saat berusaha menghentikan isaknya, “aku malah nangis di depan Kak Restu.”