Semenjak tinggal dengan Zara, Ana ikut pulang pukul sepuluh bersama Zara dan Hesti. Ikut membantu membereskan kedai sebelum tutup. Ana cukup tahu diri untuk tinggal bersama mereka. Bukan hanya pekerjaan di kedai, bahkan di rumah. Ana rajin melakukan pekerjaan rumah. Selain itu, Zara benar-benar terbantu dengan adanya Ana. Tugas-tugas sekolah dikerjakan bersama, intensitas belajar Zara otomatis mengikuti Ana. Ia jadi lebih sering membaca buku di sela-sela waktu luang.
Bagi Hesti dan Zara, Ana sangat membawa aura positif untuk rumah ini. Tapi, yang tidak mereka sadari, justru Ana yang merasa ada hal lain di rumah ini, yang membuatnya merasa lebih nyaman.
Rutinitas Zara dan Hesti setiap sepertiga malam. Keduanya sering bangun untuk mendirikan sholat malam. Hal yang tak pernah Ana lakukan selama ini. Sisi agamis dari Hesti dan Zara terasa kental di sini. Kewajiban pada Tuhan tak pernah terlewatkan, membuat Ana juga terbawa soal itu.
Ana sering memperhatikan foto-foto di figura kamar dan ruang tamu. Foto keluarga Zara lengkap dengan ayah ibunya. Bahkan di usia lima tahun, Zara sudah mengenakan jilbab.
“Sejak kecil Ibu memang sudah ngajarin kami berjilbab,” kata Zara saat Ana bertanya soal itu di dapur.
Mereka sedang membuat risol mayo untuk besok dibawa ke sekolah. Kinanti juga ingin mencicipi risol mayo buatan Ana yang menurut Wiyan dan Zara sangat lezat.
“Saat lulus SMP, Ibu juga sempat bertanya kapan aku siap pakai jilbab. Tapi, kenapa aku berat banget, ya,” kata Ana. “Aku merasa, sikap aku ga menggambarkan seorang muslimah.”
“Maksudnya?”
“Kamu tahu sendiri, aku ini ketus, galak. Ga ada sisi lemah lembutnya. Kalau lihat kamu dan Wiyan, kayak cocok aja berjilbab.”
Zara tersenyum.
“Berjilbab, kan, bukan berarti kita ini sempurna. Bukan ciri istri kiayi, bukan ciri pinter ngaji atau ciri ibu haji. Tapi jilbab itu ciri kita berbakti sama Alloh. Itu yang Kak Hesti bilang. Kamu ga perlu jadi perempuan lemah lembut dulu buat berjilbab. Kalau menurut aku, nanti jilbab itu yang jadi pengingat kamu saat akan berbuat maksiat. Misalnya, kamu mau dugem, terus kamu berjilbab, kamu pasti mikir lagi, kan? Masa aku berjilbab tapi dugem?”
Ana mengangguk-angguk.
“Atau, aku lepas dulu jilbabnya terus dugem?” kata Ana berguran.
“Ana …” seru Zara, “bukan gitu konsepnya. Kalau niat kamu benar-benar berjilbab karena Alloh, Alloh pasti bantu kamu buat istiqomah.”
Ana terdiam sejenak.
“Jadi, kapan kamu mau pakai jilbab?”
Ana mendesis malu.
“Aku bener-bener belum siap, Zara. Bukan cuma mental, tapi juga yang lainnya.”
“Kalau soal jilbabnya, aku punya banyak.”
Ana berfikir.
“Nanti, ya. Aku coba pikirin lagi,” Ana tersenyum canggung melihat mata Zara yang begitu antusias mengajaknya berjilbab.
***
Pagi-pagi Ana dan Zara terlihat sumringah menenteng tas kecil berisi risol hangat yang akan ia berikan pada Kinanti dan Wiyan.
“Ana, aku ke toilet dulu, ya,” kata Zara yang dari perjalanan tadi menahan keinginan untuk buang air kecil.
Zara bergegas ke toilet, sementara Ana melanjutkan langkahnya menuju kelas.