Restu Kelana

Lail Arrubiya
Chapter #46

Kenapa Begitu Baik?

Ana merasa tak bisa pulang ke rumah Zara sekarang. Bagaimana bisa dia membuat malu Hesti dengan pulang di jam belajar. Dengan kondisi wajah berantakan. Ana duduk di hatle sekolah. Membiarkan angkutan umum yang menawarinya tumpangan berlalu.

Ana melihat luka cakar di lengannya, baru terasa perih sekarang. Tapi tak seperih hatinya yang kembali mengingat ucapan Dessy. Selain menyakitkan, Ana juga merasa ada andil dirinya yang membuat Abim nekat mengambil pekerjaan haram itu.

Sekuat hati ia tahan desakan perih di hatinya agar tak menangis. Tapi sulit. Sesak sekali sampai rasanya ia sulit bernafas.

Ana terisak sendirian di halte sekolah.

Tidak. Ana tidak sendirian sebenarnya. Ada Restu yang sedari tadi memperhatikannya. Sekarang, ia tak tahan melihat Ana menangis sendirian.

Restu mendekat dan duduk di dekat Ana.

Ana bergegas menyeka air matanya. Namun tidak dengan isaknya. Sulit menyembunyikan isak tangis yang perih.

“Kamu perlu ini?” tanya Restu seraya menyodorkan tisu pada Ana.

Ana menoleh, melihat ke arah Restu.

“Tisu ini dari Wiyan, dia nyuruh saya buat kasiin ini ke kamu.”

Padahal tatapan Ana bukan mempertanyakan dari mana Restu punya tisu itu. Ia mempertanyakan kenapa Rsetu harus ke sini.

Ana menerima tisunya. Menyeka sisa jejak air mata di pipinya.

“Kenapa kesini?” tanya Ana.

“Saya cuma ingin memastikan keadaan kamu.”

Ana menghela nafas, berusaha menahan desakan air mata.

“Padahal, semalaman aku sama Zara buat risol mayo itu. Supaya Wiyan dan Kinanti nyicipin makanan buatan kami. Mentang-mentang dia punya banyak uang, gampang banget ngeremehin jeripayah kami. Kakakku memang melakukan kesalahan, tapi bukan berarti dia jahat, kan?” suara Ana mulai bergetar. “Kak Abim ngelakuin itu karena aku. Demi aku dia nekat ngambil pekerjaan itu.”

Ana terisak.

“Harusnya Kak Abim ga mikirin aku. Harusnya aku yang berusaha lebih keras lagi. Aku … cuma jadi beban buat orang-orang di sekitar aku.”

Dada Ana sesak oleh berbagai perasaan sekarang. Marah, kecewa, sendu dan merasa bersalah. Semuanya bersatu mendesak Ana untuk diserukan.

“Sekarang, dengan semua kejadian ini, bukan ga mungkin aku gagal dapat beasiswa prestasi dari sekolah. Kuliah yang Ibu dan Kak Abim harapkan buat aku, belum tentu bisa tercapai.”

Isak Ana semakin terdengar.

“Ucapan Dessy memang keterlaluan. Kamu ga perlu dengerin dia. Semua ini bukan karena kamu beban. Tapi, Ibu dan Kak Abim sayang sama kamu. Jangan berfikir seperti itu. Ibu dan Kak Abim pasti sedih kalau tau kamu berfikir seperti itu.”

Ana masih terisak. Kali ini ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Rasa sesak itu semakin mengisi dada Ana. Tangisnya pecah.

Lihat selengkapnya