Dua hari Ana tak melihat Restu di sekolah atau pun di kedai. Ada rasa penasaran di hatinya tentang ketidakhadiran Restu, tapi tak pernah Ana utarakan pertanyaan itu selama dua hari.
“Ana, kamu ga penasaran Kak Restu kemana?” tanya Kinanti saat mereka semua sedang berkumpul di kedai petang itu.
Ana hanya mengangkat bahu.
“Dia sakit.”
“Oh? Sakit apa?” Ana sedikit tak menyangka kalau selama dua hari ini Restu sakit. Ia kira Restu sedang sibuk dengan kuliahnya.
“Katanya kena tipes.”
“Kita jenguk?” tanya Ana.
“Jangan!” sergah Wiyan.
Praktis semua mata menatap heran ke arah Wiyan.
“Itu, maksud aku … aku ga bisa ikut.”
“Kenapa?” tanya Zara curiga.
“Aku … ada urusan,” jawab Wiyan patah-patah.
“Kapan?” kini giliran Kinanti yang bertanya curiga.
“Ehm … kalian kapan jenguk Kak Restunya?” Wiyan balik tanya.
Makin saja yang lain curiga.
“Kamu kenapa, Wi? Ada yang lagi kamu sembunyiin dari kita?” tanya Ana.
Wiyan menggeleng ragu-ragu.
“Kamu bukan mau ketemuan sama cowok, kan?” tebak Zara.
“Nggak!” jawab Wiyan dengan cepat.
“Terus?” desak Zara.
“Pokoknya aku ga bisa ikut kalau kalian jenguk Kak Restu.”
Tak ada yang bisa mendesak Wiyan lagi untuk ikut menjenguk Restu.
Malam harinya, keberuntungan menghampiri Ana. Damar datang sendiri ke kedai. Memesan dua es kopi untuk dibawa pulang.
“Kak Damar, ehm … katanya Kak Restu sakit,” kata Ana basa-basi.
“Iya. Kamu udah tau?”
Ana mengangguk.
“Kamu mau jenguk? Dia pasti seneng kalau dijenguk kamu, bisa-bisa langsung sembuh,” ujar Damar bergurau.
Ana hanya mendengus.
“Di rawat di rumah sakit?”
“Udah balik ke rumah, sih, sore tadi. Memangnya kapan mau jenguk?”
“Ehm, belum tau. Dan kami ga ada yang tau rumah Kak Restu.”
“Oh, alamatnya?”
Damar memberitahu Ana alamat rumah Restu. Ana ingat nama perumahan ini sama dengan nama perumahan tempat tinggal Wiyan. Ana mengerutkan alis, mencocokkan kejadian tadi sore saat Wiyan menolak ikut menjenguk Restu.
“Jangan kaget, ya, kalau ke rumah Restu.”
“Kenapa?”