Kini Wiyan dan Restu duduk bersisian. Membuat tatapan para sahabatnya sempurna tertuju pada keduanya.
“Bisa-bisanya kamu nyembunyiin ini dari kita, Wi,” seru Zara terdengar kecewa.
“Maaf. Aku bosan kalau banyak yang dekat denganku karena ingin dekat dengan Kak Restu. Aku muak dengan hal semacam itu.”
“Kamu berfikir kami begitu?” tanya Zara lagi.
Wiyan menggeleng.
“Maaf.”
Ana menghela nafas.
“Ya sudah, sekarang kita udah tahu kebenarannya, kan?” Ana berusaha menyudahi interogasi pada Wiyan.
Kinanti berdecak tak percaya. Hampir setahun Wiyan bisa menyembunyikan identisanya sebagai adik Restu.
“Memangnya sebanyak apa perempuan yang ingin dekat sama Kak Restu sampai kamu bosan, Wi?” tanya Kinanti.
Wiyan melirik Restu, kesal.
“Sejak SMP suka ada perempuan tiba-tiba menyapa aku, ngajak kenalan, traktir makanan, ujung-ujungnya nanyain Kak Restu. Teman-teman aku juga, sering banget main ke rumah demi ketemu Kak Restu. Mereka ga benar-benar ingin berteman sama aku.”
“Waw, ternyata diam-diam Kak Restu banyak penggemarnya,” kata Kinanti.
Yang dipuji biasa saja. Wajahnya tak berekspresi lebih.
Kinanti dan Zara masih sibuk menanyai Wiyan soal kemahirannya menyembunyikan identitas sebagai adiknya Restu. Namun Ana, ia menyadari sesuatu. Tentang ucapan Restu tempo hari, bahwa ia punya alasan atas kebaikannya selama ini terhadap Ana.
Terjawab sudah. Kebaikan Restu selama ini sebagai bentuk terima kasih karena Ana pernah menyelamatkan adiknya dari perundungan yang dilakukan Dessy Cs. Itu mirip seperti kebaikan yang Hesti berikan pada Ana.
Saat sedang memikirkan itu, mata Ana refleks melirik ke arah Restu. Dan keduanya bersitatap di saat yang lain sibuk menanyai Wiyan. Berbarengan, keduanya segera memalingkan wajah, mencari arah pandang sembarang.
“Wiyan,” seru sang ibu dari dapur, “bantu Ibu dulu, sini!”
“Iya, Bu,” jawab Wiyan seraya menarik tangan Zara dan Kinanti. “Ikut bantuin, yuk!”
Ana menatap protes pada Wiyan, kenapa ia ta tak diajak.
“Kak Ana temenin Kak Restu aja. Di dapur sempit kalau kebanyakan orang,” kata Wiyan seraya menarik tangan Zara dan Kinanti.
Beberapa detik lengang mengisi ruangan ini.
“Kak Restu, kakak yang baik, ya,” ujar Ana mengusir lengang. “Kak Restu mau nurutin maunya Wiyan buat ga bilang kalau kalian saudaraan. Padahal kalian sering ketemu di sekolah.”
“Kamu ga kecewa sama dia, kan?” Restu tak menggubris pujian Ana.
Ana menggeleng dengan senyuman.
“Kalau alasannya karena Wiyan risih, aku ngerti. Dulu, banyak murid laki-laki yang minta tolong ngasihin barang atau sekedar salam buat Kinanti. Aku juga ga suka. Kenapa ga bilang langsung ke orangnya. Dan aku jadi tahu alasan Kak Restu baik banget sama aku.”