Dunia ini memang tempatnya ujian. Terkadang, harapan kita tak sejalan dengan kenyataan hidup. berbalik dari arah mata angin yang kita tuju. Tapi, hidup masih harus berlanjutkan? Maka jalani saja.
Ana tak mau terlalu lama larut dalam kesedihan karena gagal menjadi juara umum beserta beasiswa universitas impiannya. Ia tetap bekerja di kedai dengan sisa semangat yang berusaha ia pulihkan.
Yang lain mengerti, Ana sedang menata hati dan hidupnya. Membiarkan Ana dengan sisa semangatnya dan tak membahas lagi soal kegagalannya.
Dan sesuai janji Restu, ia berusaha mencari kampus yang menerima mahasiswa jalur beasiswa prestasi. Semalaman matanya awas mencari informasi di internet.
***
Sebenarnya, Hesti menawarkan diri untuk membiayai kuliah Ana. Tapi Ana menolak. Ia cukup tahu diri untuk menerimanya. Selama ini Hesti dan Zara sudah terlalu baik padanya. Mana mungkin ia harus menambah beban Hesti.
Malam ini, Restu datang sendiri. Memesan satu gelas kopi hitam gayo kemudian membuka laptopnya. Jemarinya mengetikkan sebuah keyword di mesin pencarian.
“An, Restu serius banget,” ucap Hesti saat Ana menunggu kopi untuk Restu dari bartender.
Ana hanya mengangkat bahu.
Segelas kopi hitam panas dibawa Ana perlahan ke meja Restu.
“Kopinya, Kak,” ucap Ana.
“Terima kasih.”
Ana beranjak pergi, tapi kemudian seruan Restu menghentikannya.
“Ana sini, dulu. Duduk!”
“Eh?”
Ana bingung, menurut saja apa kata Restu. Duduk di kursi sebelah Restu.
“Lihat, kampus ini menerima mahasiswa dari beasiswa bidikmisi. Kamu bisa ikut ini, Ana.”
“Ini kampus Kak Damar, kan?”
Restu mengangguk.
Ana ikut membaca persyaratan yang tertera di website kampus itu. Matanya berbinar seakan harapan itu masih bisa terwujud.
“Selesai kamu kerja, saya ambil dokumen yang diperlukan, ya? Batas pengirimannya besok malam.”
“Aku aja yang scan di warnet.”
“Sudah malam. Perempuan ga aman ke warnet malam-malam. Sudah, sana, selesaikan pekerjaan kamu. Saya tunggu kamu di sini. Bilang Kak Hesti, jangan usir saya.”
Ana tahu Restu sedang bergurau meski ekspresinya tak menggambarkan itu.
Ana kembali pada Hesti dengan mata yang berbinar.
“Restu nembak kamu?” tebak Hesti.
Binar itu tak hilang meski Hesti menggodanya.
“Bukan. Ada beasiswa lain yang bisa aku coba.”