Pagi-pagi sekali Hesti sudah pergi keluar untuk menemui petani kopi di kota lain. Ana dan Zara sedang sibuk di dapur. Pasalnya, Ana ingin membuatkan sesuatu untuk Restu sebagai ucapan terima kasih. Bermodal artikel yang ia baca di internet, ia dan Zara mencoba membuat bubur mutiara kesukaan Restu.
“An, ini udah mateng belum, sih?’ tanya Zara mengangkat sedikit bubur mutiara dengan centong sayur.
Ana menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Kayaknya belum. Waktu kita makan di rumah Wiyan, udah ga ada putih-putihnya gitu, kan?”
Sebenarnya Ana juga ragu. Ini pertama kalinya ia membuat bubur mutiara.
“Spesial banget, ya, sampai harus buatin bubur mutiara?” goda Zara.
“Ya, spesial. Kak Restu udah banyak bantu aku soal ini. Kata Wiyan dia sampai bergadang demi mencari informasi beasiswa.”
“Kamu masih ga merasa kalau Kak Restu perhatian banget sama kamu?”
“Iya, sih.” Ana beralih dari panci yang berisi bubur mutiara pada panci lain yang berisi santan kental yang sudah hangat. “Tapi aku tau itu cara dia berterima kasih karena aku udah pernah nolong Wiyan. Aku juga ngerasa ini berlebihan, tapi aku ga mau kepedean.”
“Kamu suka sama Kak Restu?”
Ana terhenti mengaduk santan yang mestinya tak perlu diaduk lagi.
Ana menggeleng.
“Aku ga mau mikirin hal semacam itu saat aku fokus ke pendidikanku. Terakhir kali aku coba menerima perasaan semacam itu, aku malah berantem sama Kinanti.”
“Tapi kali ini Kinanti ga suka sama Kak Restu, seperti dulu dia suka sama Kak Lana.”
“Zara, aku nyaman dengan hubungan kami yang seperti ini. Kalau ada perasaan lain, aku takut akhirnya ga bagus.”
Zara kembali mengaduk bubur mutiaranya.
“Aku tau, aku ga pantes ngomong gini karena aku belum pernah ngalamin diistimewakan lelaki, tapi aku rasa Kak Restu suka sama kamu lebih dari seorang yang berterima kasih. Dan kalau suatu hari kamu ngerasain hal yang sama, jangan ragu buat jujur sama hati kamu sendiri.”
Ana sedikit terkekeh, menghampiri Zara.
“Kamu lagi kenapa? Tumben dalem banget bahas hal semacam ini?”
“Entahlah, aku seperti nonton film Love Is Cinta setiap liat kalian berdua.”
Ana semakin terkekeh.
“Kamu ini.”
Ana mencari topik lain agar Zara tak lagi membahas soal hubungannya dengan Restu. Dalam hati Ana, apa yang Zara ucapkan tak sepenuhnya salah. Terkadang Ana juga merasa ada perhatian lebih yang Restu berikan untuknya. Tapi Ana selalu menyangkal. Ana akan menegaskan hatinya bahwa Restu hanya berterima kasih.
“Kak Restu jemput jam berapa?” tanya Zara setelah yakin kalau bubur mutiaranya sudah matang.
“Jam tujuh.”
Zara menengok jam dinding di ruang tengah dari bingkai pintu dapur.
“Ini udah jam tujuh kurang sepuluh, An,” kata Zara dengan santainya.
Ana terkesiap.